Mendacious : break up.

Jinendra menghela napasnya berkali-kali kala kakinya menapaki jalanan yang beberapa waktu lalu selalu ia datangi. Tangannya perlahan memegang pagar besi di hadapannya dan membukanya.

Lagi-lagi Jinendra harus menahan rasa kalut dalam hatinya saat matanya menatap lurus rumah yang dulu ia tinggali bersama Felixiano dan Bundanya. Ia segera melangkah dan membuka kunci rumahnya.

Hal pertama yang Jinendra lihat ketika ia masuk ke dalam rumah itu adalah ruang tamu yang berisi barang-barang yang sengaja ditutupi kain putih. Seprcik kenangan masuk ke dalam kepalanya, mengenai Lixiano dan dirinya yang sering kali duduk bersama sambil menyalakan ac di sana.

Ia tersenyum kecut. Rindu.

Semakin kakinya melangkah masuk semakin banyak kenangan yang kembali dalam kepalanya. Membuat matanya terasa panas juga hatinya yang terasa sesak.

Kakinya berhenti di depan kamar dengan pintu bercat coklat dan gantungan bertuliskan “Felixiano” tergantung di sana. Ia memutar knop pintu dan membukanya.

Bau debu menguar, membuat hidung Jinendra terasa gatal. Matanya menatap lurus ruangan kosong di depannya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam.

Jinendra berhenti di depan sebuah kotak hitam yang ada di pojok ruangan, sejujurnya kotak itu Felix titipkan padanya untuk dikembalikan pada seseorang. Namun ego Jinendra yang cukup tinggi membuatnya belum memberikan kotak itu.

Setelah sebulan kotak itu dibiarkan berdebu di kamar ini, hari ini Jinendra akan mengembalikannya pada pemiliknya.


“Kak aku di bawah.”

Abian turun tergesa setelah membaca pesan dari Jinendra. Ia segera membuka pintu rumahnya ketika ia sampai di pintu depan.

“Ji?” Mata Abian menatap lurus pada kotak hitam yang Jinendra bawa. Kemudian ia mengambil alih kotak hitam itu, “Ini apa?”

Yang muda tidak menjawab, ia hanya mengikui Abian masuk ke dalam rumah.

Abian membawa Jinendra ke dalam kamarnya. ia menyimpan kotak hitam yang Jinendra bawa di atas kasur. Setelahnya ia mempersilakan Jinendra duduk di sisi lain ranjang dan ia mengambil tempat di sebelahnya.

“Kamu mau ngomong apa, Ji?”

Jinendra tersenyum kecut.

“Ayok putus, kak.”

Abian sepenuhnya tahu bahwa kalimat lengkap itu akan keluar dari mulut mungil laki-laki tupai itu, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini.

Ia juga sepenuhnya mengerti bahwa ini adalah salahnya. Salahnya yang tidak bisa mengerti dirinya sendiri dan mengamil keputusan yang cukup membuat orang di sektarnya sakit.

“Oke, let's break up.”