Mendacious : Neverending Jealousy

Felixiano baru saja menutup pintu rumah ketika ia mendengar dengan jelas suara Bunda berteriak dari ruang tengah. Ia sempat mengernyit bingung apa yang membuat bundanya begitu marah sebab ia sadar betul bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan.

Dengan jantung yang berdebar, Felix memberanikan dirinya untuk melangkahkan kaki ke arah suara. Kala ia sampai di ruang keluarga ia melihat Jinendra duduk di sofa sembari menundukan kepala, sementara Bunda berdiri di depannya dengan wajah yang terlihat murka.

Felix mengalihkan pandangannya saat Bunda melirik ke arahnya. Ia sempat bertukar tatap dengan Jinendra sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berbalik. Ia tidak tahu duduk permasalahan antara Bunda dan Jinendra, mungkin ini hanya kesalahpahaman, dan Bunda Jinendra tidak akan sampai hati memperlakukan Jinendra seperti dirinya.

“Bunda, Jiji juga pengin bebas kaya Fe.”

Langkah Felix terhenti kala namanya disebutkan.

“Apa yang Bunda lakuin ke Jiji selama ini juga engga adil, Bunda.”

Plak!

Felix memejamkan matanya kala suara tamparan itu terdengar nyaring, rasanya pasti sangat perih.

“JINENDRA! Kamu dan Felixiano itu berbeda. Makanya Bunda perlakuin kalian dengan beda, Bunda tahu apa yang terbaik buat kalian. Bunda cuma minta kalian nurut aja.”

Hening.

Felix masih tidak berani memutar tubuhnya, pun ia tidak berani untuk melangkah pergi dari tempatnya sekarang.

“Kita emang beda, Bunda. Tapi tetep aja Bunda terlalu engga adil!”

“JINENDRA!”

Dan teriakan kedua membawa keberanian Felix untuk memutar tubuhnya. Ia segera masuk ke ruang tengah dan menarik lengan Jinendra, membawa kembarannya dengan paksa dari sana.


Jinendra duduk di meja yang berada di depan mini market sambil menggoyang-goyangkan kakinya mengusir kebosanan. Beberapa kali ia melirik ke arah mini market tempat kembarannya yang sedang membeli entah apa di dalam.

Tidak lama kembarannya keluar dari sana dengan membawa sebungkus camilan dan dua kotak susu.

Jinendra menatap Felix yang sibuk menancapkan sedotan pada susu full cream miliknya, kembarannya itu juga sibuk membukakan sebungkus roti untuknya.

“Kenapa?” tanya Felix ketika ia sadar Jinendra tidak melepaskan pandangan darinya.

Yang ditanya tidak menjawab, ia hanya mengambil roti di hadapannya dan menyuapnya sedikit demi sedikit. Jujur ia memang lapar setelah tadi ia tidak sempat makan apa pun sebab terlalu panik menerima pesan dari Bundanya.

Felix terkekeh pelan, ia juga ikut menyantap roti miliknya. “Gue tahu lo masih marah sama gue, tapi gue engga bisa biarin lo sendirian.”

Jinendra diam. Jujur saja egonya masih di atas awan, ia tidak ingin memaafkan Felixiano begitu mudah. Rasa cemburunya masih sangat tinggi.

“Btw, makasih ya, Ji.”

“Hah?”

“Makasih udah bilang sama Bunda kalau perlakuan dia sama kita engga adil.”

Jinendra membeku.

“Gue selalu mikir, kalau jadi lo pasti enak banget ya? Bunda sayang sama lo. Lo anak sempurnanya Bunda.”

Jinendra menggeleng, “Jadi gue engga seenak yang lo kira, Fe. Semua yang gue lakuin udah diatur sama Bunda, gue capek.”

Felix tersenyum simpul, ia menepuk bahu Jinendra. Keduanya saling bertatapan sebelum akhirnya Felix menghamburkan dirinya dalam pelukan kembarannya.