— Is it blessing or curse?

Beberapa orang pernah menanyakan “Kematian itu bentuknya seperti apa?”, biasanya aku hanya akan terkekeh dan berkata ia laki-laki dewasa dengan wajah tampan yang selalu datang dengan kereta kuda. Setelahnya aku akan mendapat tawa dari mereka.

Padahal aku mengatakan hal yang sebenarnya.

Masih sangat terpatri dalam memoriku saat itu usiaku tigabelas tahun, ibu mengajakku bermalam di rumah nenek. Malam itu hujan turun deras, Ibu menyuruhku tidur lebih cepat, dan seperti anak baik pada umumnya aku menurut.

Ibu tidak memelukku malam itu, aku tidur sendirian.

Dalam tidurku, aku menemukan diriku sendiri berdiri di depan sebuah nisan besar tidak bernama yang berada di tengah-tengah hamparan bunga lili putih. Aku ketakutan, sungguh, meski pun bunga-bunga di sekitar makam ini tampak cantik, dan membuatnya tidak menyeramkan tetap saja sesuatu dalam diriku merasa sangat tidak nyaman.

Aku langsung menjauh dari makam itu, sambil mencari jalan keluar dari padang bunga cantik itu. Namun berkali-kali aku berlari, aku selalu kembali pada nisan tadi. Aku berjongkok mengatur napasku yang tersenggal, lalu mulai menangis kencang sambil memanggil ibuku.

Sejurus kemudian aku mendengar suara kaki kuda yang mendekat, kupikir ibuku datang menjemput dengan kuda milik paman. Aku segera berdiri dan mengusap air mataku. Sayangnya ketika aku menatap ke arah suara, aku malah menemukan kereta kuda megah berwarna hitam dengan corak api berwarna emas dan tiga ekor kuda hitam gagah yang menariknya berhenti di dekatku.

Pintu kereta kuda itu terbuka seolah menyuruhku untuk masuk ke dalamnya. Maka dengan tergesa aku berlari dan naik ke dalam kereta kuda itu.

Sesaat setelah aku masuk ke dalamnya, pintu kereta itu tertutup kencang.

“Anak malang. Kamu tersesat, Felix?”

Mataku membulat kala menatap laki-laki tampan di depanku, ia bahkan tahu namaku.

“Kenapa kamu tahu namaku?” tanyaku kala itu yang langsung mengundang tawanya.

“Aku tahu nama semua orang, semuanya tercatat dalam buku kerjaku.”

Aku mengernyit bingung dengan jawabannya. Laki-laki itu terlihat aneh, “Memangnya kamu siapa?”

“Aku kematian.”

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali, sejujurnya aku tidak ingin percaya pada laki-laki itu. Tapi di satu sisi pemampilannya tampak sedikit meyakinkan, ditambah ada celurit dengan gagang panjang yang tersandar di sebelah laki-laki tampan ini.

Eh tunggu— kalau benar laki-laki ini adalah kematian, maka—

“Apa aku sudah mati?” tanyaku dengan jantung yang bertalu kencang.

Laki-laki yang mengaku kematian itu tertawa, “Belum, waktumu untuk hidup masih sangat panjang. Kamu hanya tersesat di wilayahku,” katanya. Lalu ia menepuk kursi kosong di sebelahnya, “Kemari, duduk, aku antar kamu pulang.”

Aku menelan ludah susah payah, lalu duduk di tempat yang ia tunjukan padaku.

“Kamu tidak takut?”

“Tidak. Kamu bilang aku belum mati, dan aku masih bisa hidup lama. Jadi aku tidak takut padamu.”

Kematian tertawa, “Baik, kamu memang anak yang unik. Sekarang kamu bisa turun.”

Aku mengernyit lagi, tidak ada satu menit kereta kuda itu berjalan ia sudah menyurhku untuk turun. Apa benar ia mengantarku pulang?

Pintu kereta kuda itu terbuka lebar. Aku melirik keluar, dapat kulihat pekarangan rumah nenekku yang penuh dengan bunga. Ia benar-benar mengantarku pulang.

“Terima kasih,” kataku sambil turun dari sana.

Laki-laki itu tersenyum lebar, “Selamat tidur, Felix.”

Sejak terbangun dari mimpi aneh itu hidupku jadi mengerikan.

Nenek membangunkanku pagi itu, ketika aku menatap matanya aku dapat melihat bayangan nenek yang terbaring di rumah sakit dengan dokter yang menuduk pasrah dan monitor yang menunjukkan garis lurus. Aku sungguh terkejut, kupikir itu hanyalah sebuah mimpi buruk, hingga aku mencubit diriku sendiri, mencakar tanganku, sakitnya sangat terasa tapi aku tidak pernah bangun.

Kuceritakan semuanya pada Ibuku, ia hanya tersenyum dan mengelus kepalaku berkata bahwa semuanya hanya imajinasi.

Aku mempercayainya.

Hingga seminggu setelahnya, nenek meninggalkan kami dengan keadaan yang sama seperti apa yang kulihat pagi itu.

Aku menangis kencang ketika nenek dimakamkan. Setelah acara pemakaman selesai, Ibu menghampiriku dan memelukku.

“Kamu diberkati, Felix,” bisiknya.

Setelahnya ia melepas pelukan dan mengelus pipiku. Matanya menatap tepat mataku, dan semua bayangan kematian ibuku terekam jelas di kepalaku. Kucoba mengalihkan pandanganku pada ayah, bayangan lain muncul. Kualihkan lagi pada orang-orang di sekitarku, bayangan-bayangan itu benar-benar ada di kepalaku.

Rasanya sangat menyakitkan, pusing, mual bercampur jadi satu.

Jadi, menurutmu apakah ini berkat atau kutukan?