Mendacious : the calamity

Felixiano menatap kembarannya yang duduk tepat di kursi sebelahnya. Kembarannya itu sibuk memasukan barang-barang miliknya di atas meja ke dalam tas sekolahnya sebab bel pulang sudah berbunyi dua menit lalu, dan sang guru baru saja keluar dari ruang kelas. Tangan Felixiano menopang daunya di atas meja, matanya masih memeprhatikan Jinendra tanpa mengatakan sepatah kata.

Merasa diperhatikan, Jinendra menghentikan aktivitasnya, ia menutup tas sekolahnya dan mengikuti Felixiano menopang dagunya di atas meja. Keduanya saling bertatapan.

“Apa?” tanya Jinendra pada Felixiano yang mulai menampilkan senyuman jahil.

Yang ditanya terkekeh pelan, “Lo kok engga cerita sama gue?”

Jinendra mengernyitkan dahinya, bola matanya berputar bingung, “Cerita apa, Fe?”

Tidak menjawab, Felix hanya menggedikan bahunya sambil terus menampilkan senyuman jahil pada kembarannya itu. Matanya melirik ke arah sekitar melihat satu per satu teman-temannya keluar dari kelas.

“Itu loh, soal Kirino.”

Kerutan di dahi kembarannya itu semakin terlihat jelas, “Kirino?”

“Iya, Ji. Kirino nembak lo, kan?”

Raut wajah Jinendra berubah masam, ia menghela napasnya, “Iya tadi pagi.”

“Terus, lo terima engga?”

Yang ditanya menggelengkan kepalanya, tangannya mengamit jaket yang ia simpan di senderan kursinya.

“Engga lo terima?”

“Engga tahu, Fe. Belum gue jawab.”

Felix menganggukan kepalanya berkali-kali, “Kenapa?”

“Engga tahu, gue engga tahu jawabannya.”

“Kalau menurut gue terima aja, Ji.”

Jinendra menghela napasnya, “Kenapa lo selalu minta gue terima Kak Ino, sih, Fe?” tanyanya pelan.

Yang ditanya tersenyum kecil, ia mengusak rambut Jinendra, “Soalnya gue tahu kalau Kirino itu beneran sayang sama lo. He will protect you. Dan kalau gue lihat hubungan lo sama Kirino emang deket banget kan akhir-akhir ini? Lo juga pasti suka sama dia, kan?”

Jinendra terkekeh, “Lo tuh sok tahu Fe.”

“Hm?”

“Masih kurang apa lo minta gue buat nolak Kak Bian dulu? Masih mau ngatur gue harus sama siapa?”

Felix mengernyit, ia bingung dengan perkataan yang keluar dari mulut kembarannya itu. “Ji?”

“Gue sayang sama Kak Bian, Fe! Gue sukanya Kak Bian dari dulu. Tapi lo tiba-tiba minta gue nolak dia dan sekarang lo minta gue buat terima Kak Ino. Lo tuh maunya apa, Felixiano?”

Felixiano hanya menatap Jinendra tidak percaya, mulutnya hanya sanggup terbuka dan tertutup tanpa tahu apa yang harus ia katakan.

clap, clap, clap

Tepukan tangan kencang terdengar dari arah pintu, “Jadi gitu, Felixiano?”

Kedua laki-laki virgo itu sontak menatap ke arah suara, di depan kelas sudah berdiri Abiandra sambil menatap sinis ke arah Felix. Sementara yang ditatap tidak mempu berkata-kata.

“Kak Abin...”

Hazelnya menatap Jinendra, “Ji, lo engga pernah bilang,” bisiknya pelan.

“Licik ya?”

Felixiano susah payah ia menelan ludahnya sendiri. Kala mulutnya siap untuk melemparkan penjelasan, matanya menangkap tatapan Abiandra yang terlihat kecewa bercampur benci? entahlah tatapannya terlalu menusuk tidak dapat didefinisikan, tatapan yang sama dengan tatap yang bundanya beri setiap kali ia masuk ke dalam ruangan itu.

Seketika nyali Felixiano ciut, ia menundukan kepalanya. Ada rasa sesak dalam dadanya, entah karena Abian atau karena rasa bersalahnya pada kembarannya. Semuanya terlalu abu-abu.

“Fe?”

Detik berikutnya Felixiano memilih untuk berlari dan keluar dari kelas meninggalkan dua orang lain yang sama-sama terluka.