Mendacious : this is what it is ...

“So what is this?” tanya Abian sambil menunjuk kotak yang Jinendra bawa sebelumnya.

That's all yours.”

Abian mengernyit, heran.

“Actually Lixiano said that I should give it to you.”

Mata Abian membulat sejurus kemudian ada senyum kecut yang timbul di bibirnya, “Sorry, Ji.”

Jinendra menggeleng, “Kak, lo udah denger rumor soal gue, Fe dan Bunda kan?”

Yang lebih tua mengangguk.

“Rumor itu salah. Sejujurnya Fe ...”

Ada jeda sejenak, laki-laki tembam itu terlihat menahan tangisnya.

“Mungkin lo pikir Fe pergi karena lo, tapi sejujurnya bukan lo alasannya kak, Bunda selalu siksa Fe buat kesalahan kecil yang dia lakuin. Patah tulang itu bukan karena jatuh, tapi karena dia nahan pukulan bunda. Belasan tahun Felix selalu kena hukuman itu dari bunda, gue tahu punggungnya engga pernah bersih dari bekas cambukan atau pukulan.

Dan alasan kenapa gue memilih buat nurutin permintaan Fe buat nolak lo adalah itu. Felixiano engga pernah menerima cinta dari bunda, sedikit pun, Bunda selalu salahin dia bahkan untuk semua prestasi yang dia raih. Gue pengen Felixiano juga dapetin sayang dari orang yang dia sayang, tapi sialnya, gue juga sayang sama lo.”

Jinendra terkekeh, “Gue ngerti lo kecewa sama Felixiano. Tapi gue juga salah, kak.”

Abian menggigit bibir bawahnya, terlalu banyak informasi yang ia terima. Bekas luka di punggung Felix, patah tangannya, semua alasan-alasan kecerobohan yang sering laki-laki kecil itu ucapkan adalah kebohongan?

Ada kekecewaan yang timbul dalam hatinya, ia mengerti kalau ini adalah sesuatu yang sangat pribadi untuk dibagi padanya, tapi bukankah mereka sudh berjanji akan membagi beban bersama?

“Sehatusnya dia masih bisa di sini sampai kelulusan, tapi karena gue...”

“Bukan salah lo, Jinedra.”

“Gue harusnya jujur sama dia soal perasaan gue dari awal, bukan malah diem dan cemburu waktu dia berhasil bikin lo buka hati.”

“Gue bilang itu bukan salah lo!”

Abian menarik pergelangan laki-laki itu dan membawanya dalam peluk. Sesaat setelahnya isakan mulai terdengar dari yang lebih muda membuat rasa bersalah menggelung di dalam dada Abian. Tangannya mengelus pelan punggung laki-laki virgo itu.

“Gue juga salah, Ji. Kita semua salah, Fe, Lo dan gue. Dan semuanya udah terjadi, engga ada gunanya kita salah-salahan.”

Dalam beberapa saat keduanya larut dalam haru. Yang muda semakin mengenggelamkan kepalanya di dada yang lebih tua. Sementara yang tua berusaha menenangkan yang muda.

“Lo masih sayang banget sama Fe, kan, Kak? Maafin gue.”

“Ji, gue yang harusnya minta maaf, gue kesannya mainin lo. Gue sadar kalau gue sayang Felixiano tapi gue malah jadian sama lo.”

Jinendra terkekeh.

“Kak?” Pelukan itu dilepas secara sepihak oleh yang lebih muda, meninggalkan jejak-jejak air mata di kaus polos yang Abian kenakan.

Dengan pipi yang masih basah dan bibir yang masih bergetar, Jinendra memaksakan dirinya untuk tersenyum, ia mengangkat jari kelingkingnya ke udara, “Can we be friends?”

Abian termenung sejenak, matanya fokus pada jari kelingking Jinendra. Ia menganggukan kepalanya berkali-kali sambil mengaitkan jari keduanya. “Of course!”

Jinendra tersenyum lebar. Ia terkekeh di antara sesak yang ia rasakan setelah menangis cukup lama. “Lo harus buka kotak itu, Kak. Lixiano ninggalin itu buat lo, katanya 'tolong kembaliin sama pemiliknya.' Gue salah karena nyimpen kotak itu terlalu lama, harusnya sebelum lo ajak gue sama-sama gue kasihin itu ke lo.”

Abian menghela napas, ia mengalihkan pandangannya pada kotak hitam yang berdiri kokoh di atas kasurnya.

Tangan-tangan kokohnya mulai membuka tutup kotak itu, kerutan di jidatnya tampak kala matanya menangkap beberapa barang yang sangat ia hafal ada di dalam sana. Ia mengambil barang itu satu per satu.

Ada satu buku besar berisi bungkus bengbeng yang ditempel di setiap lembarannya, lengkap dengan notes kecil tertulis tanggal dan penjelasan mengenai kapan dan mengapa Abian memberinya bengbeng itu.

Ada hoodie yang ia berikan pada Lixiano ketika pacarnya itu mencuri hoodie miliknya. Bau khas laki-laki berambut pirang itu menguar, memaksa masuk ke indera penciuman Abian. Perasaan hangat mulai menjalar di dalam dadanya, perasaan yang sama setiap kali ia melihat Felixiano dan menggenggam tangannya. Ah ia rindu.

Semakin ia buka semua barang-barang yang pernah ia berikan pada Felixiano membuat hatinya semakin menghangat, kepalanya juga penuh dnegan ingatan-ingatan manis yang pernah mereka lalui sebelumnya. Rasanya terlalu menyakitkan.

Barang terakhir yang ia keluarkan adalah gelang hitam yang entah kapan ia berikan pada laki-laki itu. Kotak hitam itu kosong sekarang, sama seperti dirinya, kosong, tanpa Felixiano ataupun kenangan manis mereka.

Tangan Jinendra mengamit buku berisi bungkus bengbeng yang sebelumnya Abian keluarkan, “Hahaha ya tuhan, ini yang dia buat setiap kali gue liat dia cuci bungkus bengbeng di wastafel? Gue kira dia punya projek kerajinan tangan.”

Abian ikut tertawa, “Gue engga pernah tau dia bisa simpan beginian.”

“Kak, mungkin buat kak Bian semua ini hal sepele, tapi kadang kalau cinta semuanya jadi punya makna sendiri.”

Yang tua terkekeh pelan. Matanya kembali memperhatikan barang-barang yang berserakan di atas kasurnya. Ia hapal semuanya, tapi rasanya ada yang kurang.

“Gue bantu beresin, ya?”

Abian mengangguk. Jinendra mulai mengambil satu per satu barang dan memasukannya kembali ke kotak. Mata Abian terpaku pada pergelangan tangan Jinendra, ada sebuah gelang dengan liontin infinity yang pernah ia berikan sebelumnya.

“Gue punya inisial lo di leher gue, dan lo juga punya inisial gue di leher lo.”

Matanya mengerjab, “Ji, bentar!”

Abian mengamit satu per satu barang di sana, memeriksa semuanya, mencari satu lagi benda yang pernah ia berikan pada Felixiano.

“Nyari apa, Kak?”

“Kalung!” Abian menunjukan kalung yang masih ia kenakan pada Jinendra, kalung emas dengan liontin bulat yang berukir huruf 'f' di sana.

Jinendra mengernyit, “Kayanya engga ada di sini kak.”

Abian masih mengacak barang yang Felix berikan padanya di atas kasur, “Lo yakin di kamarnya engga ada yang ketinggalan?”

Yang ditanya mengangguk, “Kalung itu engga pernah Fe lepas, Kak. Terakhir di bandara gue inget dia masih pakai kalung di lehernya.”

Kalimat yang Jinendra ucap membuatnya berhenti, ia terduduk di ujung kasur.

“Emang kenapa sama kalung itu, Kak?”

“Kalung itu tanda kalau gue buka hati gue buat dia, dan buat dia dirinya ke gue.”

Dalam beberapa saat hening mendera.

“Ji, kalau kalung itu masih Felixiano pakai, gue masih ada harapan buat ketemu dia lagi kan? Gue masih bisa perbaikin semuanya kan?”