Mendacious : What it should be ...

Abian tersenyum canggung kala matanya menangkap Jinendra yang baru keluar dari kelasnya. Jinendra membalas senyum itu dengan tidak kalah canggung, beberapa hal yang terjadi di antara mereka sebelumnya membuat keduanya menjadi sedikit renggang. Ini adalah pertama kalinya mereka berhadapan dan berbicara langsung.

“Eum... Kak Bian mau ngomongin apa nih?” tanya Jinendra saat keduanya berjalan menuju parkiran.

Abian menggaruk tengkuknya yang terasa tidak gatal, “Anter lo pulang dulu deh, ya? Biar ngomongnya enak.”

Lawan bicaranya hanya menganggukan kepala dan mengikuti langkah Abian menuju ke parkiran untuk mengambil motor. Setelahnya mereka langsung menuju rumah Jinendra yang sebenarnya cukup jauh dari sekolah mereka.

Di perjalanan tidak ada satu pun dari mereka yang mau membuka topik pembicaraan, keduanya larut dalam pikirannya masing-masing.

Setelah berkilometer mereka tempuh, akhirnya mesin motor Abian dimatikan. Jinendra turun dari motor dan membuka helm yang ia kenakan. Abian juga melakukan hal yang sama.

“Makasih kak. Ayok masuk dulu sebentar,” kata Jinendra sambil membuka kunci rumahnya.

Sementara Abian masih berdiri di dekat motornya sambil mengatur napasnya. Ia sedikit gugup dengan apa yang akan ia sampaikan kepada Jinendra.

“Masuk kak,” ujar Jinendra mempersilakan Abian untuk masuk ke dalam rumah.

Yang lebih tua langsung saja mengikuti Jinendra masuk ke dalam rumah. Setelahnya Jinendra mempersilakan Abian duduk di ruang tamu.


Sepuluh menit.

Selama sepuluh menit mereka duduk berhadapan tidak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Tidak Abian, tidak juga Jinendra. Atmosfer di sekitar keduanya terasa sangat canggung.

“Eumm Kak Bian mau ngomong apa?”

Akhirnya Jinendra memberanikan dirinya untuk bertanya pada Abian.

“Eum.. Ji.”

Mata Jinendra menatap Abian dengan saksama, begitu juga dengan Abian.

“Gue tau mungkin kesannya gue buru-buru dan agak kurang sopan, tapi gue rasa gue harus ngomong ini sama lo.”

Jinendra mengernyit bingung, “hah? kenapa kak?”

“Lo tau kan gue sayang sama lo?”

Mata Jinendra sempat membulat. Ia sedikit terkejut dengan yang diucapkan oleh Kakak Kelasnya itu.

“Tapi kak...”

“Gue cuma mau ambil kesempatan lagi, gue mau kembaliin semua yang harusnya jadi punya kita, Ji.”

“hah?”

“Lo masih sayang sama gue kan?”

Bimbang melingkupi Jinendra. Ada rasa senang yang melingkupi dirinya tapi di sisi lain ia merasa sangat bersalah pada kembarannya.

Tapi bukan salahnya kan kalau ia memang masih sangat menyayangi Abiandra?

“Um... iya kak.”

“Kalau gitu lo mau kan jadi pacar gue?”