Amara.

Happy ending

Introduction

Setiap pasang manusia punya kisahnya masing-masing sama halnya dengan Jo seirang pegawai perusahan multinasional dan wanita yang dikenalnya secara tanpa sengaja di bar malam itu yang kini menjadi kekasihnya, pasangan workaholic penuh cinta tapi tak henti ditanya kapan nikah ditengah padatnya tagihan.

Kisah selanjutnya hubungan segitiga rumit antara tiga manusia yang memberi nama acak hubungan ini friends with benefit bermula dari Jevano dan Ana hingga Jae, rekan serumah Jevano dan rekan kerja Jo yang sama-sama haus akan seks untuk melepas nafsu mereka. Tanpa perasaan, nyaris mustahil.

Hingga kisah terakhir oleh dua sahabat karib,yang terjebak hubungan aneh bernama sahabat. Luke dan Azra, sama-sama saling cinta tapi tanpa pengakuan. Rumit, memang.

Here we go!


Amara notes :

Konten ini kalo dibaca terpisah ya bisa beruntut pun oke. Gak masalah. Bentuknya ya bakal onetweet dan oneshot yang terselip beberapa kisah mereka. Bumbu kehidupan. Semoga kagak melenceng yee. Kalo ada masukkan silahkan isi sc apa cc atau dm juga oke kok kita bisa diskusi niih.

Hope you like it!

Rumit.

Luke sudah berdiri dua puluh menit diambang pintu kos sahabatnya, Azra. Mencecar dengan puluhan pesan singkat meminta segera dibukakan pintu.

Tak berselang lama pintu tersebut terbuka. Dua pasang manik itu bertemu sama-sama tak ingin mendahului siapa yang mengungkapkan perasaan.

Luke maju dua langkah mendekatkan tubuhnya ke Azra. Tangan satunya menutup kembali pintu kamar kos tersebut. Azra hanya terpaku dan takut-takut melangkah mundur. Pandangannya seperti dikunci oleh dua manik hitam sahabatnya. Tak berkutik ditambah setelah pembicaraan panjang mereka dalam pesan singkat tadi.

Azra memang mengenal Luke sejak lama, sahabat yang telah empat tahun mengenal awalnya tanpa rasa berjalan sewajarnya. Lama-lama Azra menaruh hati dengan Luke atas segala perlakuannya ke dirinya. Penuh tawa, hangat, bersahabat, serta emergency call bagi Azra yang jauh dari keluarga.

Luke masih menatap Azra lamat dengan senyum yang semakin mengembang. Ia sadar Azra ketakutan atau lebih tepatnya tak tahu harus bersikap bagaimana. Sejujurnya ia tak sanggup menahan tawanya, namun ia tak mungkin merusaknya.

Dipeluknya Azra secara tiba-tiba sebenarnya ia tahu kalau sahabatnya menaruh hati begitupun ia sendiri. Namun, ia takut akan merusak segalanya dan terjebak hubungan tak jelas pada akhirnya.

Azra berdiri kaku terkejut atas perlakuan Luke yang tiba-tiba, walaupun respon Luke dalam pesan singkat tadi sudah sangat jelas bahwa ia merespon baik. Pandangan Luke kepadanya seolah mengunci pergerakan dan akal sehatnya. Pelukan hangat yang lelaki ini berikan tak sanggup ia balas atau respon.

Luke kini mengecup lembut puncak kepala Azra tanpa ada sepatah kata yang keluar. Kini Azra turut tenggelam dalam suasana yang ada. Dipeluknya sahabat yang ia cintai dengan erat. Ia pejamkan pandangannya menikmati segala hal yang Luke lakukan kepadanya.

Kecupannya kini sudah memenuhi seluruh wajah Azra mulai mata, hidung hingga pipinya namun ia melewatkan bibir Azra yang sudah sangat canggung.

“Ra, kalo lo izinin gue lanjut, tapi kalo lo gak nyaman gue berhenti disini.”

Luke membisikan kalimat ini bersamaan dengan tiupan lembut ke telinga Azra. Wanita ini hanya mengangguk resah atas perlakuan yang ia terima. Luke tersenyum nakal. Kini pandangannya beralih ke bibir Azra. Dikecup tipis bibir hangat milik Azra perlahan hingga ia mulai mengulumnya perlahan.

Diawali dari hisapan bibir bawah dan atas secara bergantian kini lidah mereka sudah beradu saling mengabsen barisan gigi masing-masing. Sama-sama dimabuk kepayang, tangan Azra kini sudah mengalung dileher jenjang Luke. Kakinya ia jinjitkan untuk semakin memperdalam ciuman yang ada.

Tangan Luke kini sudah mulai meraba-raba bagian dalam pakaian yang Azra kenakan. Dibalik kaos tipis itu ternyata Azra tak mengenakan bra, semakin memudahkan Luke untuk merabanya dan meremas perlahan. Tangannya usil menyentil puting Azra yang sudah menegang.

'Hmmphhhmmm..'

Desah Azra tertahan pangutan mereka. Didorongnya perlahan Azra menuju single bed yang ada didalam kamar. Mereka jatuh perlahan tanpa melepas pangutan panas keduanya. Tangan Luke semakin liar meremas dada Azra dan menyingkap kaos tersebut melepasnya dari pergelangan tangan dan membiarkan menggantung dilehernya. Tangannya semakin liar meremas ditambah dengan pangutan yang semakin panas.

Azra yang berada dibawah cukup resah dengan menggerakkan kakinya kesegala arah. Vaginanya sudah gatal dan basah.

Luke melepas pangutan mereka dan memandang wajah Azra lamat.

“Ra, ini kalo mau berhenti masih bisa.”

Azra menggeleng, tangannya liar mengusap penis Luke dari luar jeansnya.

“Kalo mau distop pastikan dulu dia gak bangun dan bawah gue gak basah.”

Seperti menerima lampu hijau untuk melanjutkan kegiatan, Luke kini mengeksplore area leher Azra mulai menjilati dan memberikan bekas yang samar. Antisipasi kissmarknya akan bertahan lama. Tangan kirinya mulai memasuki celana piama Azra, mengusap vagina itu dari luar menekan-nekan klitorisnya. Tangan kanannya masih sibuk dengan squishy kegemarannya kini.

Desahan tanpa henti keluar dari bibir Azra yang kini sudah membengkak. Tangan Luke semakin usil dengan menyibak celana dalam dan memainkan klitoris dari depan. Ditambah jari-jarinya hanya dipermainkan tanpa ada niat untuk dimasukkan. Nafsu Azra sudah diubun-ubun karena payudara sintalnya dihisap kuat-kuat dan putingnya dimainkan gigi-gigi Luke.

“Kalo lo terusan gak ada niat masukin, beneran gue gampar lo!.”

Azra sudah semakin resah sedang Luke masih asik bermain-main. Tangannya sudah sibuk menjambaki rambut Luke kesal.

'Jleb!'

Tanpa aba-aba Luke memasukan dua jarinya sekaligus kedalam liang vagina. Azra langsung menjambak keras rambut Luke hingga beberapa helainya rontok. Tidak sempat berteriak karena tangan kanan Luke tiba-tiba sudah membungkam mulut Azra. Luke tersenyum usil memandang wajah kesal Azra.

“LUKE ANJ—”

Bibir Azra kini dibungkam lagi kali ini dengan bibir Luke. Tanpa ampun dilumat habis-habisan. Dua jari yang ada didalam liang dibiarkan hingga Azra menunjukkan sinyal tanda siap.

Saat Azra sudah mulai resah dengan jari-jari yang ada dalam lubangnya, Luke kembali mengeluar masukkan dua jari tersebut. Kaki Azra semakin mengangkang lebar menikmati sentuhan yang ada. Mabuk kepayang.

Ciuman panas dan jari-jari sudah terlepas, kini Luke melepaskan kaos bagian atasnya dan jeansnya dengan cepat. Menyisakan boxer yang masih terpasang menutupi kejantanannya.

Azra pun turut melepas kaos dan celana yang ia kenakan. Sempurna telanjang. Wajahnya memerah malu karena Luke memandanginya seksama dari atas tubuhnya. Meneliti setiap inci ukiran ciptaan Tuhan.

“Ra, lo gila selama ini nyimpen hal indah sendirian.”

Azra hanya tersipu malu menghindari tatapan nakal Luke dan menutupi kedua dadanya waluapun juga percuma. Sedang Luke kini sudah sibuk didepan vagina yang sudah terbuka lebar. Meniup-niup perlahan dengan satu jari ia gunakan untuk memainkan klitoris. Sedang wanita itu sudah tak henti mendesah dan semakin menekan kepala Luke untuk segera mendekat kearah liangnya.

Dimulai dengan kecupan singkat didepan vagina dihadapannya hingga akhirnya lidahnya turut memainkan liang dibawahnya. Dihisapnya vagina Azra kencang kemudian ia aduk-aduk kembali dengan lidah panjangnya. Paha Azra tanpa sadar menghimpit kepala Luke untuk semakin masuk ke liangnya.

SHIT LUKE! Berhentilah bermain dan lakukan yang seharusnya!”

Azra merancau tanpa henti menyumpahi Luke tanpa henti.

You know juniorku belum basah, sayang. Hisap dia dulu.” Pinta Luke. Kini ia merubah posisi berbaring diatas kasur.

Azra merangkak kearah kejantanan Luke yang masih tertutup boxer. Ditariknya dalam sekali hentak dan kini kejantananyang besar dan padat terpampang dihadapannya. Pandangannya takjub, tangannya mengusap pelan ditambah dengan kecupan ringan diujung penis yang sudah sedikit basah oleh cum.

Perlahan ia masukkan kedalam mulut kecilnya. Ia tak pernah mencoba, hanya tau dari beberapa konten porno yang sengaja ia tonton. Menghisap, memutar hingga mengeluar masukkan penis Luke dengan lihai. Tangan Luke semakin menekan kepala wanita yang tengah mengulum penisnya ditambah dengan jambakan dirambutnya.

FUCK YOU, RA!

Luke langsung menarik Azra kembali berbaring dan memposisikan pahanya untuk terbuka lebar.

Azra hanya tersenyum nakal. Sahabatnya sudah penuh akan nafsu. Ia juga sudah tak sabar. Dikalungkan kedua tangannya ke leher Luke dan ia mulai mengulum kasar.

“Ra, ini bakal sakit. Jadi lo bisa cakar gue atau jambak gue.”

Azra hanya mengangguk tak sabar.

Luke mengarahkan penisnya perlahan masuk ke liang vagina Azra. Dalam sekali sentak. Kuku-kuku jari Azra menancap dipunggung Luke menahan rasa sakit.

'AAAHHHHH'

Lengguhan panjang keluar dari mulutnya. Sakit, pengalaman pertamanya. Lambat laun vaginanya berkedut meminta dipuaskan. Kakinya kini melingkar dipinggang Luke.

Luke yang panik takut akan reaksi Azra kini sudah meraup bibirnya mengulum kasar dengan satu tangan sebagai tumpuan dan tangan lain untuk meremas payudara Azra. Dikeluar masukkan penis besarnya dari liang vagina Azra. Perlahan dengan tempo sedang. Masih sempit.

“Aahh ... Ra, sumpah sempit banget lo.”

“Cepe–ttt ... gue gak ta—ha—n. Tusuk yang da—lem.”

Luke memompa kejantanannya dengan brutal meski sempit. Vagina Azra sudah menjadi candu baginya. Tanpa ampun melahap kejantannya yang besar. Ia juga tak luput menghisap dada sahabatnya seolah bayi yang kehausan.

“Vagina lo lapar banget seneng banget ditusuk gini, Ra.”

Azra tak menyahuti hanya merancau tiada henti. Vaginanya sudah candu dengan penis besar Luke, menumbuk sempurna g-spotnya. Membuat ia mabuk kepayang.

“Lukkkkk—aaahhhhh... jangan lo gihgiit puting—nyhaaaa ntar le—pas goblok... gue mau keluar in-i.”

“Puting lo kaga-k bisa copot bego ... dada lo candu, Ra. Nikmat. Lu-bang lo aaah... mantap jangan keluar du-lu gue belum ..”

Semakin brutal Luke memompa tubuhnya, menumbuk semakin keras. Pecapainnya sudah dekat.

“Luuukkkeee .. jangan keluar dal—Arghh”

Luke menyentak liangnya dan kemudian melepas tiba-tiba cairannya menyemprot ke perut hingga dada Azra. Sensual. Tak hanya itu sahabatnya juga menyemprot cairannya keluar squirt.

“Haaah haaah haaah...”

Luke jatuh memeluk Azra erat.

“Ra, sumpah lo seksi banget gue mau makan lo tiap detik tanpa henti.”

Azra tak mampu menjawab lelah sudah akibat pergumulan tanpa henti ini. Tangannya mengusap surai hitam sahabatnya yang berantakan.

Luke terguling ke sisi kanan Azra. Memeluk pinggang rampingnya. Terlelap dengan dengkuran halus.

Azra berusaha bangkit namun tak mampu memilih turut terlelap sebelum suara notifikasi handphone mengganggunya. Milik Luke.

Whatsapp. 23.15 Renata : sudah tahukan besok kita bahas pertunangan?

Pergumulan panas dengan desah yang saling sahut antara keduanya. Ditutup dengan tanda tanya besar dikepala Azra. Pertunangan apa?

Dia yang kusebut Kakak.

Izinkan aku menceritakan sebuah kisah tentang seseorang dengan pundak setegak Menara Eiffel, hati sedalam Palung Mariana dan kepala sekeras gunung. Terlalu berlebihan memang aku menggambarkannya, tapi inilah caraku menggambarkan ia, kakakku.

Malam itu kutemukan ia menangis dalam mimpinya. Entah apa yang terjadi hari itu dan entah apa yang menghujam pikirannya. Namun, paginya kutemukan ia tersenyum menyapa seisi rumah seolah tak ada yang terjadi sebelumnya.

Tengah malam di hari berikutnya, ketika kuterbangun, ia datang terlambat dari pulang kerjanya dengan pakaian yang berantakan; penuh keringat. Lagi-lagi keesokan paginya kutemukan ia di dapur dengan pakaian kerja lengkap ditambah celemek yang melengkapi tubuhnya. Memasak untuk kami.

Masih beberapa hari yang lalu, ia pulang sedikit terlambat; bukan tengah malam. Kulihat ia tak lagi mengendarai sepeda motornya, berjalan terseok-seok dengan lengan baju yang tergulung berantakan. Menatap kami, tersenyum lebar dengan tangan yang penuh dengan kresek makanan untuk makan malam. Peluhnya penuh di sekujur tubuh.

Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan. Apa yang ia rasakan. Hanya menebak apa yang ada dalam pikirannya. Kami tak dekat. Kami hanya bertemu saat pagi dan petang, bertegur sapa sejenak sebelum ia kembali tenggelam dalam kesibukannya.

Hari ini, ia pulang dengan basah kuyup kehujanan. Matanya memerah. Bekas tangis terlihat walaupun ia berusaha tutupi dengan bekas-bekas hujan.

“Kak, apa yang terjadi?”

Aku berdiri di ambang pintu memandangi ia ke atas dan ke bawah. Ia hanya tersenyum melepas sepatunya yang basah.

“Tidak ada apa-apa, Dik. Kakak hanya kehujanan.” Ujarnya sebelum ia masuk ke kamar mandi.

Selang beberapa saat ia keluar. Kusodorkan teh hangat di hadapannya.

“Entah aku, adik, ataupun bunda yang sedang sekarat; tak akan tahu perasaan Kakak jika Kakak tak berbicara tentang keluhmu.”

Ia terdiam. Menatapku lamat, mengajakku duduk bersama di teras.

“Dik, bukan Kakak tak mau mengatakan apapun padamu. Tapi, jika luka yang kudapat di luar kubawa ke rumah; Kakak akan semakin terpuruk dengan hidup.”

Pandangannya menerawang ke depan. Beberapa kali ia mengembuskan napas. Sedang aku hanya sanggup mengeryitkan dahi. Lagi-lagi tak dapat menebak arah pikirnya.

“Malam itu Kakak menangis dalam tidur saat bermimpi hidup berkecukupan, tetapi sendiri; tanpa kalian. Keesokan harinya, saat kulihat kau, adik dan bunda yang bernafas ringan; kuucap syukur tiada tara. Karena walaupun berat, Tuhan masih memberi secercah harapan-Nya lewat kalian.”

Lagi-lagi ia tersenyum. Sangat aneh, siapa yang tak ingin hidup berkecukupan saat semua arah menekan.

“Kemudian, Kakak beberapa kali mengalami gagal target di tempat kerja. Kakak harus lembur mengulang seluruh laporan yang ada. Perusahaan rugi ratusan juta karena gagal target ini. Kata siapa Kakak tak ingin mati saja hari itu, tetapi saat pulang kulihat lampu belajarmu menyala. Kakak tersadar satu hal, bahwa dunia akan tetap berjalan walaupun Kakak pergi. Tak ingin merusak susunan mimpi yang kamu susun, Kakak harus bangkit lagi.”

Ya, malam itu aku menghabiskan malam untuk mengulang pekerjaan rumah dan mengulang materi untuk ujian esok. Resiko mahasiswa beasiswa, nilai turun esoknya jangan harap tunjangan akan aman.

“Saat sore itu kakak pulang tanpa sepeda motor, jalan terseok. Hari itu Kakak bertemu dengan rentenir yang menagih utang yang ayah tinggalkan. Tak ada uang yang bisa kuserahkan, motor satu-satunya terpaksa kuberikan. Tak apa, karena Kakak masih sanggup berjalan serta uang gaji yang turun setelah ini masih cukup untuk kita makan.”

Masih teringat kenangan tentang ayah. Bukan hal buruk, namun ayah pergi tanpa kata hari itu dan kembali dengan kabar duka kepergiaanya bersama rentetan hutang. Bunda yang sudah memburuk semakin memburuk hari itu.

“Dan hari ini. Kakak dipecat dari pekerjaan. Hujan deras mengguyur tubuh Kakak saat meninggalkan kompleks perkantoran itu. Kakak menangis, meratapi mengapa tak bisa menjadi manusia yang diandalkan oleh kalian. Mengapa? Kakak terus menerus bertanya. Dunia tak adil bagi kalian.”

Aku hanya terpaku. Tanpa suara.

“Dik, Kakak memang punya masalah. Pikiran rumit selalu mengelilingi Kakak. Tapi, jika Kakak ingat masih ada tiga nyawa yang sedang menanti Kakak penuh harap ... Bagaimana bisa Kakak menyingkirkan semua demi ego Kakak? Kalian yang menyadarkan Kakak bahwa dunia pasti berputar, ntah perlahan atau bahkan patah-patah tapi Kakak percaya ia tak akan berhenti sebelum kakak pergi.”

Kini aku semakin tahu, pundak kokohnya bukan hadir karena tiba-tiba, tapi karena beban yang ia panggul sendiri. Keras kepalanya bukan karena egonya tapi karena hujaman keras realita yang ada. Serta hatinya yang dalam adalah berkah dari Tuhan untuknya, untuk selalu menguatkan dirinya dan asa-asa yang ia panggul.

Segitiga.

Jevano dan wanita diboncengannya kini meninggalkan kompleks apartemen. Dua sejoli ini menyusuri jalanan dengan sepeda motor hitam milik Jevano. Posisi wanita kini memeluk Jevano erat dari belakang.

“Brengsek, dada sintal lo bisa kagak munduran gausa nempel punggung?”

Jevano menggerakkan badannya kesal karena risih Ananda, atau biasa disebut Ana, yang memeluk erat tubuhnya sehingga punggungnya bersentuhan langsung dengan dada sintal Ana. Bukan risih, lebih tepatnya Jevano merasa panas dan hormonnya semakin memuncak. Karena Ana hanya mengenakan kaos hitam tipis dengan sport bra serta cardigan sebagai luaran. Paha mulusnya juga diumbar dibalik rok merah pendeknya.

“HAHHAHAHAHA, jangan bilang lo horny lagi, Jev?”

Ana tertawa dibalik helmnya. Tangannya nakal mulai meraba bagian perut datar Jevano dari luar secara sensual. Ana selalu begitu. Wanita kelebihan hormon.

Sepuluh menit sebelum meninggalkan apartement tadi kegiatan ciuman panas mereka terganggu oleh pemberitahuan mendadak pihak pengelola bangunan untuk perbaikan saluran air. Jevano dan Ana yang sudah beradu lidah dengan panas tiba-tiba melepaskan pangutan mereka dan memutuskan pindah ke sharing house yang Jevano tempati. Karena akhir pekan sering kosong tanpa penghuni.

Ana yang tahu Jevano sedang dalam posisi hard turn on tidak membiarkan teman lelakinya begitu saja. Sepanjang jalan tangannya nakal menggoda Jevano, walaupun jelas-jelas Jevano tak nyaman ingin mengubah posisi.

Sepuluh menit perjalanan, mereka telah tiba di halaman rumah bersama Jevano. Kosong, tak ada satupun kendaraan yang terparkir disana. Ana turun dari motor kemudian melepas helmnya. Tiba-tiba Jevano menarik pergelangan tangan Ana kasar menuju pintu rumah. Dengan terburu ia membuka pintu rumah. Saat sepenuhnya terbuka diraupnya bibir ranum Ana dan disudutkannya ke pintu. Tanpa ampun ia lahap. Ciumannya semakin panas dan kini Ana mengalungkan kedua tangannya dileher Jevano. Tak luput juga satu kakinya naik ke pinggang Jevano, posisi cukup sensual ditambah rok pendek Ana terangkat menampilkan paha putihnya.

“Kalo terusan goda gue tau sendiri akibatnya, An.”

Ciumannya kian brutal ditambah tangannya meraba perut dan bagian dada Ana. Diremasnya keras dada sintal Ana.

“Jev ... berhenti dulu ... bang-sat.”

Ana berusaha melepas pangutan mereka. Tubuhnya sudah lemas, Jevano kini beralih ke leher jenjang Ana meninggalkan kissmark yang banyak disegala penjuru.

“Kenapa kurang keras gue ngeremesnya?”

Goda Jevano dengan pandangan nakal dan tangan yang makin keras meremas dada Ana. Tangan satunya sudah ia gunakan meraba paha dalam Ana.

'Aaahhh...'

Desahan sensual Ana semakin memenuhi ruangan.

“Gendong, please. Tusuk gue tanpa ampun, Jev. Gue capek dimainin terus.”

Ana sudah lemas tak berdaya, gairahmya memuncak. Semakin erat tangannya dikalungkan ke leher Jevano dengan sigap tubuhnya digendong dengan model koala. Ciuman yang berhenti dilanjut kembali sepanjang perjalanan mereka dari pintu ke sofa ruang tamu.

Jevano duduk bersandar disofa dengan Ana diatasnya. Pusat tubuh mereka bersentuhan. Jevano yang sudah sangat keras serta Ana yang basah dibalik celana dalam hitamnya yang terlihat jelas setelah rok pendeknya tersingkap sempurna.

Ana kembali menggoda dengan menggoyangkan pinggulnya menggesek penis Jevano dari balik jeans. Jevano yang sibuk meremas dan mengulum payudara Ana kini ia lakukan semakin keras.

“Jeeevvv ... berhenti main-main!”

Ana sudah dipuncak nafsunya, ingin sesegera mungkin menghimpit penis Jevano dalam vagina kebanggaannya.

“Ya keluarin dong, mr. J sudah nunggu masuk kandang tuh.”

Senyum nakal Jevano tercetak jelas. Tangannya masih sibuk meraba paha bagian luar Ana tanpa berniat memainkan didalamnya.

Ana sudah kepalang kesal tangan Jevano segera ia arahkan ke inti tubuhnya yang basah cairan nafsu. Kemudian tangannya sibuk melepaskan sabuk jeans milik Jevano. Sudah tidak sabar dia.

Jevano mengelus kemaluan Ana dari balik celana hitamnya. Menusuknya dari balik celana menggoda klitoris Ana. Tak lupa remasan di bokong sintal Ana.

Ana semakin resah desahan panjang ia keluarkan ditambah dengan tubuhnya yang tak henti begerak kesana kemari menahan. Kejantanan Jevano sudah sepunuhnya keluar, penis panjang berurat favoritnya sudah ia genggam dengan erat. Dielus pucuk kemaluannya serta dimainkannya dua bola kembar yang ada.

Jevano turut mabuk kepayang atas yang dilakukan Ana. Disingkapnya celana dalam Ana kesamping dan ditusuknya dua jari panjangnya masuk. Mudah seklai masuk karena Ana sudah sangat basah dan licin. Dikeluar masukkan jari oanjang tersebut dengan jempol yang digunakan untuk memainkan klitoris Ana.

Ciuman mereka kian ganas. Remasan Ana ke penis Jevano juga kian kuat.

“Jeeeevvv... masukin sekarang.” Pinta Ana dengan suara penuh desah.

Tanpa aba-aba Jevano mengeluarkan dua jarinya dan mengangkat Ana menuntun kejantanannya masuk ke liang kenikmatan.

'Breeshhh...'

Masuk sempurna. Ana masih meringis dengan masuknya penis tersebut. Walaupun sudah sering namun milik Jevano ukurannya bukan main-main.

'Aaahhhh...'

Desah mereka bersamaan saat Ana tanpa sengaja menggerakkan pinggul dan mengetatkan vaginanya.

“Ekhem ... Jevano.”

Puncak kenikmatan mereka terganggu oleh interupsi sebuah suara. Jevano mengangkat kepanya dari peepotongan leher Ana dan mendapati teman serumahnya menonton adegan panasnya.

Jevano terdiam namun wajahnya tidak menunjukkan kepanikan. Ia tersenyum nakal ke lelaki didepnnya.

“Hai Kak Jae!”

Ana tak tahu harus berbuat apa ia menenggelamkan wajahnya ke perpotongan leher Jevano. Awkward moment. Pikirannya sudah berterbangan kemana-mana takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Lelaki yang dipanggil Jevano dengan Kak Jae mendekat ke arah mereka. Duduk disebrang Ana dan Jevano. Tanpa suara hanya tersenyum tipis.

“Bagaimana kalo bertiga? Sepertinya wanitamu cukup mampu.”

Jae memandang sensual Ana. Ana menengok kearah Jae walau kesusahan. Entah kemana perginya rasa malu barusan ia justru tertarik dengan tawaran Jae.

“Boleh! Aaaahhh...”

Antusiasme Ana tanpa sadar memutar penis Jevano yang didalamnya. Jae yang awalnya duduk kita bangkit.

Jevano yang mengerti apa yang harus dilakukan kini memutar posisi Ana menjadi doggy style. Mengendarai ana adalah pose favoritnya. Karena ia bisa menampar bokong sintal Ana.

Jae kini berdiri dihadapan Ana. Melumat bibir ranum Ana yang sudah habis dilumat Jevano sebelumnya. Satu tangganya sibuk merapikan rambut panjang Ana satu lagi ia gunakan untuk melepaskan kejantanannya mengocok perlahan sebelum penis itu berdiri tegak. Dihadapkan penis itu masuk kedalam mulut hangat Ana yang kini penuh. Penis besar dan berurat sudah masuk sepenuhnya ke mulut Ana. Digerakkan lidahnya dengan brutal seiring sodokan Jevano yang semakin keras.

Tangan Jae ia gunakan untuk menjambak rambut Ana. Karena Ana sangat terlihat sensual dengan dada sintal yang mengayun seiring sodokan keras Jevano dan Jae.

Desahan keduanya semakin keras saat Ana mulai mengetatkan vaginanya dan mulutnya. Orgasmnya semakin dekat. Kedua tangan yang ia gunakan untuk menumpu sudah meremas keras sofa ruang tamu. Kuku cantiknya patah perlahan. Tapi semua tak setara kenikmatan yang ia terima.

” Jev, lebih keras. Dia mau lebih keras. Bentar lagi sama-sama keluar.” Ujar Jae dengan jambakan rambut Ana yang makin keras.

“Bentar, Kak. Dikit lagi!.”

Jevano semakin brutal menusuk serta menampar bokong sintal Ana. Bersamaan dengan pelepasannya.

“An, gue gak pake kondom; jadi keluar diluar aja.”

Jevano mengeluarkan penisnya yang meledak akan cairan putih spermanya. Kemudian ia jatuh terduduk. Jae dengan sigap menggantikan posisi Jevano, menusuk keras vagina binal milik Ana. Ana yang lemas kini kembali turn on. Ditambah Jae mengendarainya dengan sangat brutal ditambah remasan dada yang tanpa ampun.

Jevano menikmati wajah penuh peluh Ana. Sungguh sensual teman seks-nya. Rambut acak-acakan sperma di punggung, kaos hitam yang mengalung di leher bersama branya, rok yang tersingkap ke perut, ditambah leher penuh kissmark.

Jae masih belum sampai ke pecapaiannya. Ia merubah posisi ke Ana yang diatasnya. Menaik turunkan Ana secara acak sedang wanita itu hanya sibuk merancau dan mendesah penuh nikmat.

Payudara yang memantul dihadapan Jae kini ia raup dan dikecup hingga meninggalkan puluhan kissmark hingga pundak dan lehernya.

Jae mabuk kepayang. Tanpa sadar akhir pekan yang suntuk ia habiskan dengan bercinta panas. Pelepasan Jae sudah diujung, dilepaskannya dari Ana. Entah energi dari mana Ana yang lemas tau-tau meraup penis tersebut dan membiarkan sperma Jae meluap memenuhi mulutnya. Tidak terduga tapi sangat menggoda di mata Jae.

Kini mereka bertiga terkapar di ruang tamu, diatas sofa yang bisa diubah menjadi tempat tidur. Posisinya Ana ditengah dengan melepas seluruh pakaiannya. Jevano yang usil kembali memasukkan penisnya kedalam liang vagina Ana. Tapi hanya didiamkan, ia lanjut tidur. Ana juga sudah tak berdaya dipeluk dari belakang oleh Jae. Penis nya digenggam oleh tangan hangat Ana.

Mereka tidur dengan damai setelah pergumulan panas mereka. Inilah awal mula segitiga.

Penghujung Jalan.

Dua insan kini saling tatap, larut dalam satu permasalah. Mencoba membuka tabir-tabir luka mereka. Pembicaraan ini sudah dimulai. Tangan tanda jabat tangan masih menggantung di udara, belum mendapat respon.

“Ica, mahasiswa akhir yang baru saja tahu bahwa lelaki yang kupuja sepanjang hari ternyata suami orang.”

Disambutnya tangan Taeyong, berjabat tangan singkat. Mengakhiri jabatan yang menggantung di udara. Senyum miris terpampang di wajah mereka.

“Kita sama-sama manusia yang terluka oleh sesuatu hal yang orang bilang indah dan memabukkan. Cinta.”

Taeyong menekankan setiap kata yang ia ucapkan. Sarkas. Terasa kebencian dari intonasi suara yang ia keluarkan.

“Ya, benar. Namun, bukan cinta yang kupersalahkan. Tetapi, logika yang kuagungkan dalam kelas-kelas mata kuliahku yang kusesali. Jelas marah, aku dapat menganalisa ratusan lembar jurnal internasional. Tapi, mengapa aku masih menyangkal cinta yang salah? Hingga kumenyangkal ratusan fakta yang terpampang.”

Ica menutup pernyataannya dengan tawa miris.

“Hahahahaha, tepat sekali. Bukan salah cinta, tapi manusia yang tak bisa memaknai isyarat-isyarat yang telah disampaikan. Pengkhianatan, torehan luka dari kata, serta fakta-fakta yang jelas-jelas nyata adanya; tapi kita menyangkal.”

Taeyong memandang langit sore yang menanungi mereka.

“Begitulah, ketika hancur baru sadar; apa saja yang sudah tertinggal di belakang.”

Giliran Ica yang kini turut memandang langit.

“Tapi, dari luka hati yang ada ini aku belajar; makna hidup sejatinya ada pada diri sendiri. Bukan orang lain,” ucap Taeyong dengan senyum hangat menatap Ica.

“Mengapa?” Tanya Ica acak. Ia masih mengamati susunan dengan latar belakang matahari yang kian rendah

“Karena ketika kau titipkan kebahagiaanmu atas orang lain. Maka, saat kau dikecewakan kamu tak berhak marah; karena ia juga punya dunia yang harus dibangun dan bahagiakan juga.”

Taeyong meraih kameranya kembali, kini ganti memotret Ica yang tengah berfikir.

“Yah benar. Aku terlalu memusatkan semestaku padanya. Kini, saat ia pergi semua runtuh bersama cintaku. Membusuk sudah.”

Ica menatap kosong jalanan dihadapannya. Sepi seperti dunianya yang hancur.

“Hatimu tak membusuk, Ica. Ia hanya butuh istirahat. Sama sepertiku. Menikmati kembali waktu-waktu yang kubuang dan kuganti dengan waktu untuk semakin mencintai diri. Memotret contohnya. Mengabadikan setiap peristiwa yang ada.”

Taeyong menatap lembut wajah Ica. Meyakinkan hidupnya kan baik saja.

“Aaah, benar. Kupikir sudah saatnya menuntaskan lara. Bagaimana jika kita bangkit dari sini dan pergi menuju sebuah tempat yang kusebut dia surga dunia?”

Ica berkata dengan semangat. Kali ini tasnya sudah rapi, bahkan jaket yang tadi ia genggam sudah ia kenakan dengan rapi.

“Hahahaha, aku suka semangatmu. Lara yang kamu tanggung memang belum sembuh, tetapi tubuhmu sudah menuntunmu ke sebuah perjalanan baru. Yuk, kubawa kmau kemana saja, Ica. Asal kamu bahagia.”

Taeyong kini turut bangkit dari duduknya. Mengalungkan kembali kamera yang ia bawa sebelum Ica tiba-tiba memintanya.

“Boleh kupinjam?”

Tangannya terulur berusaha menggapai kamera. Taeyong mengangguk, menyerahkan kameranya.

“Terima kasih, pria baik.”

Senyum Ica merekah. Tampak seolah tidak terjadi apapun sebelumnya.

Mereka kini menyusuri taman, tertawa riang bersama. Melupakan tangis yang lalu. Mengabadikan momen dengan riang gembira.

Langit semakin gelap ditambah mendung mulai menyebar keseluruh langit. Ica masih melanjutkan memotret di atas sepeda motor. Kini mereka menuju tempat yang Ica sebelumnya katakan. Sebuah bukit tepi kota yang ia sebut surga.

Namun, keberuntungan tak berpihak pada mereka. Gerimis mulai menyeruak. Membasahi tubuh mereka sedikit demi sedikit. Ica berusaha melindungi kamera milik Taeyong. Mendekapnya erat.

“Ca, sebentar lagi nyampe; ngebut boleh ya?!!” Taeyong berusaha bersuara menerobos hujan. Setengah berteriak meminta persetujuan Ica.

“Iyaaa!! Gapapa!! TAEYONG PRIA BAIK, TERIMA KASIH SUDAH MEMBUAT HARIKU BAHAGIA!! KITA HARUS BAHAGIA SAMPE—” teriakan Ica terputus oleh suara dentuman keras. Gulungan tanah dan pepohonan yang tumbang bergulir menghujani mereka. Taeyong berusaha sebisa mungkin menghindari. Naas tubuh mereka kini tertimbun tanah dan pohon-pohon tumbang akibat longsor. Tak ada lagi suara maupun hembusan nafas keduanya. Hanya suara petir dan hujan saling bersaut. Tak lama suara sirine ambulan serta mobil tim sar memadati area tersebut.

Ya mereka ditemukan telah meninggal. Dalam rengkuhan bumi. Walaupun dihujani kepanikan di detik-detik terakhir hayatnya, mereka menghiasi dengan senyum dan tangan yang saling bertaut menguatkan.

Benar, kisah mereka telah berakhir. Dalam akhir hayatnya mereka telah melepas satu ikatan simpul luka dalam hati mereka. Pergi dalam kedamaian. Bahagia dalam definisi yang abadi. Tak lagi ada luka-luka yang menuntun mereka kekesedihan. Kini kisah mereka abadi, bersama rengkuhan bumi yang memeluk mereka erat.

Terima kasih kawan, sudah membaca kisah ini dengan perasaan yang tenang nan hangat. Semoga membawa hal baik bagi kalian.

amara.

Sisi lain.

Lelaki itu masih memotret pemandangan yang ia temukan. Daun-daun yang gugur. Barisan lampu taman hingga pergerakan awan.

Ia masih menantikan sesosok insan yang tengah menangis di dekatnya. Tanpa berusaha merusak momen sedihnya, lelaki itu berusaha melakukan hal lain. Memotret. Rutinitas mingguan yang ia lakukan di tengah menuntaskan perasaannya yang kandas.

Mereka dipertemukan tanpa rencana sebelumnya. Lelaki itu sejujurnya masih tak mengerti apa yang terjadi. Ia hanya berusaha menghargai wanita di hadapannya. Menghargai tangis-tangis yang ia luruhkan, walaupun ia sendiri dianggap tukang ojek.

Pandangan mereka kini saling beradu. Dalam diam saling menyelami bola mata masing-masing seolah menebak apa yg sebenarnya terjadi.

“Siapa kamu?” Ujar wanita itu.

Dengan tangan masih memeluk jaket dan sisa-sisa airmata; ia menanyakan pertanyaan itu.

“Apakah sudah membaik?” Bukannya menjawab pertanyaan, lelaki tersebut justru mengajukan pertanyaan lain. Memastikan keadaan.

“Oh, sedikit. Jadi, kamu siapa? Mengapa disini?” Wanita tersebut menunjuk ragu lelaki di hadapannya. Takut.

“Aku bapak yang kau pinta membawamu pergi dari depan kafe. Satu jam yang lalu, mungkin.”

Lelaki tersebut meletakkan kamera di sisinya, menatap jam tangan untuk memastikan berapa lama mereka di sana.

“Ah, maaf. Sungguh tak tahu malu aku. Berapa harus kubayar?”

Wanita tersebut panik merogoh acak saku-sakunya. Mencari remahan rupiah yang tersisa untuk menutupi rasa malunya.

“Hahahaha, tak usah. Bayar saja dengan kisahmu, akan kubagi juga dengan kisahku. Bagaimana jika kita mau dengan duduk mendekat dan berkenalan?” Ujar lelaki tersebut. Ia kemudian bangkit bersama kamera yang ia genggam. Mendekat ke kursi di hadapan wanita tersebut.

“Bisa begitukah? Maaf membuang waktumu percuma,” wanita tersebut membenarkan posisi duduknya kembali. Menatap lelaki dihadapannya penuh rasa bersalah dengan mata yang masih sembab.

“Tidak, tidak ada yang percuma dalam mendengarkan kisah manusia. Mungkin lukaku dan lukamu bisa saling sembuh setelah sama-sama dibagi. Kenalkan aku Taeyong, mahasiswa akhir yang gagal menikah karena beda status sosial.”

Lelaki itu, Taeyong, menjulurkan tangan kedepan. Tanda damai memulai perkenalan.

Berawal Dari Sini

Ica keluar dengan terburu dari dalam kafe. Masih dengan jaket di lengan, laptop yang belum sepenuhnya masuk ke dalam tas dan ponsel di tangan. Wajah merah penuh emosi serta sisa-sisa air mata di pelupuk mata.

Seluruh pengunjung kafe memandanginya. Perdebatan dalam percakapan ponsel yang ia lakukan tentu dapat didengar seluruh penjuru kafe.

“Kasian dia wanita muda tak tahu malu memohon ke lelaki,” celetuk salah satu pengunjung.

“Masih muda, kasian. Habis waktunya untuk lelaki yang ternyata suami orang,” bisik pengunjung yang lain.

Rumit.

Ica sesegera mungkin membenarkan tasnya, menutupi muka dengan jaket yang ia bawa. Berlari tak tentu arah menerobos beberapa kerumunan orang di depan kafe.

“Pak, tolong bawa saya pergi.” Ucap ica asal tanpa memandang seseorang di hadapannya. Ia langsung menaiki sepeda motor itu tergesa.

Lelaki itu awalnya terkejut, kemudian hanya diam menjalankan kendaraannya pergi.

Ica masih terisak di atas boncengan. Lelaki itu hanya menatap Ica sekilas dari spion sisi kiri tanpa suara tanpa isyarat. Mereka menyusuri jalanan tak tentu arah. Melalui banyat deret gedung-gedung. Udara menyapu hangat siang itu, menyapu air mata Ica; menerbangkan anak rambutnya acak.

Tanpa sadar mereka berhenti di taman tepi jalan. Ica turun dari kendaraan dengan tatapan linglung kemudian berjalan ke arah kursi di dekat mereka. Memeluk kembali jaketnya.

Lelaki itu masih terdiam. Memarkirkan kendaraannya dan berjalan ke sisi lain kursi. Menjaga jarak, itu yang lelaki itu lakukan.

Ica masih menangis, pikiran kalutnya terbang ke segala sudut dan menghujamnya semakin keras. Pikirannya kacau berusaha menolak kenyataan pahit yang ia dengar.

Sedang lelaki itu masih terduduk dengan kamera di tangan, memotret acak pemandangan yang ada. Berusaha tak terlihat sedang menantikan suatu hal.

Dua puluh menit berlalu, tangis Ica mereda. Wajahnya masih memerah dengan garis airmata yang masih membekas di pipi cantiknya.

Pandangannya beradu dengan pandangan lelaki di sampingnya.

“Siapa dia?” batin Ica.

Gundah.

Dalam tiap tarikan nafas yang berusahaku tiup, terdapat satu beban yang turut kutarik. Yang tak mau turut larut saat ku hembuskan nafas berikutnya.

Semakin menumpuk sedikit demi sedikit. Memadatkan relung hati.

Seperti memikul batu besar dalam dada, yang tak sanggup kubawa walaupun tak bisa kuletakkan.

Berat. Memang. Munafik bila kukata ini ringan.

Mengulang hari dengan hal yang sama, memikul berat yang semakin menjadi. Semua seakan siap meledak tiap detiknya.

Semua menunggu tuk diledakkan. Dalam mega-mega amarah atau tsunami air mata.

Aku hanya ingin memulai dari terima kasih atas beban dalam kalbuku. Yang menemani setiap tarikan nafasku.

Berlanjut dalam syukurku untuk setiap beban yang masih terpikul.

Hingga tahap akhirku bisa menerima beban, menjadi bagian dari diriku. Menjadi elemen penyokong tubuh-tubuh rapuh ini melapaui badai-badai kehidupan.

((KONTEN MINUS MINUS))

PANAS?!

Screenshot-20210521-004325-Me-Mi-Message Screenshot-20210521-004356-Me-Mi-Message

((KONTEN MINUS MINUS))

Sex Education part 1

Semua perlu komunikasi, terlebih jika ini sex. Semua harus sama-sama setuju dengan langkah-langkah yang dilakukan. Sehingga sama-sama suka dan sama-sama nikmat. Disini juga disinggung jika vagina bisa elastis, memang benar jadi gaada namanya vagina melar dll, Big No!.

Screenshot-20210521-003000-Me-Mi-Message Screenshot-20210521-003009-Me-Mi-Message