🚢 89.
Jungkook beserta calon keluarga barunya udah nyampe di rumah Wonwoo. Tapi, karena insiden di mobil tadi, suasana jadi tegang tegang canggung gimana gitu. Jungkook sama Kak Taehyung juga nunduk terus, persis kayak tahanan. Mana baju mereka sama-sama warna biru. Tinggal kasih borgol aja di tangannya.
“Pak Kimbum, Dik Taehyung, Dik Myungsoo, silahkan diminum dulu airnya,” kata Pak Jinwoo, ayahnya Wonwoo.
“Air apa ini, Pak?” tanya Ayah basa-basi, agak kikuk juga gara-gara masih kepikiran tragedi Fake Taxi tadi.
“Air ketuban,” jawab Pak Jiwoo, “Ya air mineral lah, Pak.”
Jungkook dongak, terus protes, “Aku gak ditawarin minum, Om?”
“Noh, di sumur banyak air. Kamu timba aja sendiri sana,” sahut ibunya Wonwoo, Bu Somin.
Ternyata satu keluarga Jeon gak ada yang bener. Kayaknya Wonwoo doang yang masih bisa ditoleransi.
Posisinya mereka lagi duduk ngelingkarin meja gitu di sofa masing-masing. Wonwoo sama orangtunya hadep-hadepan sama Taehyung dan Ayah, sementara Jungkook duduk sendiri di sofa kiri, Kak Myungsoo di sebelah kanan.
“Baiklah, sebelum acara kita mulai, ada baiknya kita memanjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan karunianyalah-”
“Daddy, ih!” Bu Somin nepok paha suaminya, “Ngapain pembukaan gitu, sih? Emangnya mau pidato?”
Pak Jinwoo ngusap pahanya yang abis ditepok, terus nyengir dan natap Ayah, “Aduh, maaf, Pak Kimbum. Saya kebiasaan. Sering ngisi Tabligh Akbar soalnya.”
Pak Jinwoo-nya Masya Allah, tapi kelakuan keponakannya Naudzubillah. Apalagi yang di mobil tadi.
“Jadi bagaimana, Pak Kimbum?” ini ibunya Wonwoo ngambil alih, “Saya dengar-dengar, kedatangan Pak Kimbum ke sini hendak melamar keponakan saya untuk menjadi suami dari anaknya Bapak. Benar atau betul?”
“Benar, Bu Somin. Saya mau meminang Jungkook untuk menjadi pendamping hidup Taehyung. Walaupun saya baru bertemu dengan Jungkook kemarin, tapi saya yakin dia orang yang tepat untuk anak saya. Beberapa hari yang lalu Taehyung banyak cerita soal keponakan Anda. Dan dari cerita-cerita dia, saya langsung kasih restu. Makanya saya bela-belain tinggalin pekerjaan saya demi bisa datang ke Jogja dan menemui kalian,” jawab Ayah, abis itu ngambil gelas di meja hadapannya, terus minum.
“Kami, sih, terserah Jungkook-nya saja, Pak Kimbum. Dia sudah besar, sudah bisa menentukan pilihannya sendiri. Kami hanya diberi amanah sama orangtuanya Jungkook untuk memastikan kebutuhannya terpenuhi semua sampai nanti dia dapat pekerjaan atau menikah. Kalau Jungkook merasa anak Bapak memang yang terbaik, kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain merestui. Saya yakin pasti orangtuanya Jungkook bahagia, kok, punya menantu kayak Dik Taehyung ini,” kata Pak Jinwoo, yang diakhiri dengan noleh ke Taehyung, terus saling ngelempar senyuman, “Tapi jangan cepat-cepat, ya, Pak. Setidaknya tunggu Jungkook lulus dulu.Saya belum siap melepas keponakan saya ke alam liar. Jungkook sudah saya anggap sebagai peliharaan sendiri soalnya.”
“Ih, Om Jinwoo!” Si Adek cemberut sambil berkacak pinggang, abis itu noleh ke atas dan ke bawah sekalian senam SKJ.
Agak miris. Ternyata gak cuma temen-temennya, tapi keluarganya sendiri juga suka cengcengin dia.
“Maksud Om anak sendiri, Jung. Typo,” lanjut Pak Jinwoo, ngeles.
“Itu dia masalahnya, Om, Tante,” ini Kak Myungsoo yang angkat bicara, “Menurut kami, sebaiknya Taehyung dan Jungkook dinikahkan segera. Bahaya kalau masih dibiarkan seperti ini. Bisa-bisa mereka berbuat yang lebih.”
“Yang lebih? Maksudnya?” Wonwoo kepo.
“Coba lo liat leher sepupu lo itu,” jawab Kak Myungsoo.
Karena kebetulan yang paling deket duduknya sama Jungkook itu Pak Jinwoo, jadinya dia duluan yang ngeliatin leher keponakannya itu. Pak Jinwoo ngedeketin mukanya, terus nurunin kacamata beningnya sambil micingin mata.
“Astaga, Jungkook!” Pak Jinwoo heboh, “Kebiasaan kamu, tuh. Kalau mandi gak bersih. Itu daki masih pada bersilaturahmi gitu di lehermu.”
Kak Myungsoo nepok jidat. Jauh-jauh dateng dari Turki cuma buat ngeliat Sirkus Keluarga Jeon.
Wonwoo yang ngerti apa maksud Kak Myungsoo langsung bangkit dari duduknya, terus jalan ngelewatin belakang sofa tempat dia duduk buat nyamperin Jungkook dan merhatiin lehernya yang ternyata ada beberapa tanda keunguan di sisi kirinya. Si Adek cuma bisa nunduk sambil mainin ujung bajunya.
“Oh, ini,” kata Wonwoo, santai, “Yang ginian sebenernya biasa aja. Malah masih mending, cuma dikit.”
“Iya, emang biasa aja. Yang gak biasa itu, mereka ngelakuinnya di mobil. Ada gue sama Ayah di depan.”
Wonwoo yang tadinya santuy, langsung jadi kaget, “Buset, Jung!? Ternyata lo nekat juga, ya??”
“Memangnya kalian ngapain di mobil?” tanya Bu Somin sambil natap Kak Taehyung.
“Saya mabuk darat, Tante. Kalau lagi mabuk begitu, saya harus ciumin bau yang lain. Jadi saya inisiatif hirup aroma leher Jungkook. Tapi saya malah khilaf dan keterusan. Maaf, Om, Tan. Saya yang salah,” jawab Kak Taehyung, berusaha setenang mungkin walau sebenernya dia agak panik, takut pacarnya yang bakalan kena marah abis ini.
“Khilaf apa doyan? Hayooo,” bukannya ngamuk keponakannya udah ternodai, Pak Jinwoo malah ngegodain.
“Maafkan anak saya, Pak Jinwoo,” kata Ayah, “Maka dari itu, untuk menghindari kenekatan dan kekhilafan yang lainnya, ada baiknya kita segera menikahkan mereka. Kalau menunggu Jungkook lulus, itu artinya masih satu tahun lagi. Terlalu lama, Pak.”
“Tapi bukannya mereka berpacaran baru-baru ini ya, Pak? Pasti mereka belum terlalu mengenal seluk beluk satu sama lain,” sanggah Bu Somin, “Bukannya saya gak merestui. Justru saya setuju sekali kalau Jungkook menikah sama Dik Taehyung. Hanya saja, dalam pernikahan itu, kita harus benar-benar mengenal pasangan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”
“Saya setuju sama istri saya. Tapi saya juga setuju sama Pak Kimbum. Saya takut Dik Taehyung sama keponakan saya berbuat yang macam-macam. Itu sama saja saya tidak bisa menjaga amanah adik saya untuk menjaga anaknya dengan baik,” timpal Pak Jinwoo, “Oleh karena itu, bagaimana kita tes pengetahuan Dik Taehyung seputar Jungkook? Begitu juga sebaliknya. Kalau bisa jawab semua, kita nikahkan mereka segera. Tapi kalau salah satu saja, kita tunggu sampai Jungkook lulus. Setuju?”
Para hadirin yang ada di sana ngangguk semua. Seketika sofa yang didudukin Kak Taehyung berubah jadi kursi panas ala-ala kuis Who Wants to be a Millionaire. Dia benerin posisi duduknya jadi tegak dengan punggungnya yang nyender di senderan sofa.
“Baik, Dik Taehyung. Om beri beberapa pertanyaan,” Pak Jinwoo natap Si Kakak yang ada di hadapannya dengan serius, “Jungkook waktu lahir, yang keluar apanya dulu?”
“Tangannya, Om. Gaya renang.”
“Ari-arinya dikubur di mana?”
“Di halaman belakang rumahnya di Bogor. Pas di bawah kandang ayam.”
“Pas lahir, dia nangis atau enggak?”
“Enggak, Om. Malah teriak minta dimasukin lagi.”
“Jungkook kecil hobinya apa dan sering main di mana?”
“Sering berenang di irigasi sawah. Hobinya nyemilin padi.”
“Terakhir. Waktu SD, dia pernah melihara apa? Terus dikasih nama apa?”
“Melihara laron, Om. Dikasih nama Larasati.”
Wonwoo, Pak Jinwoo, sama Bu Somin saling berpandangan gak percaya. Info-info tadi yang tahu cuma orang-orang terdekat Jungkook karena merupakan rahasia negara. Bahkan kayaknya temen-temennya juga pada gak tahu. Tapi ini Kak Taehyung tahu semua, bahkan detail juga. Jawabinnya juga cepet dan lugas.
“Bagaimana Pak Jinwoo? Anak saya sudah cukup meyakinkan, bukan? Saya rasa Jungkook tidak perlu dites hal yang serupa. Pasti dia juga tahu banyak hal tentang anak saya. Benar begitu, Jung?” Si Ayah noleh ke Jungkook di akhir kalimatnya, terus disambut sama dia pake anggukan.
“Kalau begitu, kapan mereka akan dinikahkan? Tunggu Dik Taehyung lulus?” tanya Bu Somin.
Ayah ngegeleng, “Bukan.
Tapi minggu depan.”
“HAH!!!???” semuanya, kecuali Ayah, kaget berjamaah.