Buku Harian Jevan

22 September 2018 Hei, buku baru, izin coret-coret kamu, ya! Saya minta maaf dulu kalau kedepannya kamu jadi penuh dengan tinta hitam. Tapi jangan terlalu khawatir, tulisan saya gak begitu jelek, kok.

ps: Tolong jangan tertawakan saya yang sudah besar tapi masih tulis buku harian.

24 September 2018

Kayaknya Nares habis kesurupan. Pagi tadi, dia menelepon, ajak saya main keluar. ANEH BANGET KAN?! Setelah lulus SMA, setiap diajak nongkrong bareng yang lain anak itu pasti menolak. Alasannya ujian, ujian, ujian. Giliran sudah jadi sarjana, alasannya ganti jadi koas, koas, koas. Saya kira dia masih sedih karena gagal masuk sekolah memasak, ditambah stress karena materi kedokteran, yang rumornya, menyeramkan itu. Tapi sekarang, saya boleh asumsikan kalau dia sudah ikhlas, bukan?

28 September 2018

Di kantor tadi, ada yang menelepon. Waktu diangkat, yang terdengar hanya suara orang yang sedang menangis. Tadinya hampir saya matikan karena saya kira itu penipuan. Tapi dia menyebutkan namanya. Antareksa Gantari.

Dia bilang, mamanya jadi korban tabrak lari. Sekarang kondisinya kritis.

Ya Tuhan.

Sekarang, saya sedang berada di dalam bus menuju ke Bandung. Semoga Kak Thalia baik-baik saja.

30 September 2018

Kakak meninggal. Saya sudah beritahukan berita ini di grup keluarga, sayangnya tidak ada yang peduli. Bahkan Ibu sekalipun.

Pemakamannya sepi sekali, hanya ada saya, Reksa, dan beberapa orang temannya. Ah, Nares juga datang mampir sebentar, membawakan makan siang untuk kami berdua.

Sekarang, bagaimana nasib anak yang kini tengah tertidur karena kelelahan menangis ini?

1 Oktober 2018

Besok saya sudah harus kembali ke Jakarta karena jatah cuti sudah hampir habis, tapi Reksa masih ngotot tak mau ikut saya. Dia bilang, dia sudah jadi mahasiswa baru di salah satu universitas di sini. Dia bilang, dia sudah besar. Bisa urus diri sendiri.

Anak zaman sekarang memang keras kepala, ya?

2 Oktober 2018

Subuh tadi, saya masih berusaha mengajaknya untuk ikut saya. Bagaimana saya bisa tenang, membiarkan anak berumur delapan belas tahun tinggal seorang diri tanpa pengawasan siapa-siapa?

Reksa tetap menolak. Dia tanya, kalau saya bawa dia ke Jakarta, nanti dia tinggal di mana? Saya tentu jawab di rumah keluarga ibunya, di tempat tinggal saya. Reksa hanya menanggapinya dengan gelakan. Di detik itu, saya menyadari apa yang baru saja keluar dari mulut saya memang sebuah lelucon.

“Om, emangnya aku diterima di sana?”

Rupanya anak ini tahu lebih banyak dari yang saya kira.

Saya mau cepat-cepat kumpulkan uang, beli rumah untuk Reksa.

5 Oktober 2018

Sudah tiga hari berlalu, dan Ibu masih mengungkit-ungkit masalah lama itu. Mengungkit Kak Thalia, mengungkit Reksa. Kakak bahkan sudah tiada, tapi masih diejek-ejek. Saya muak. Kak Hendra juga diam saja. Apa dia tidak muak, adik perempuannya dibicarakan layaknya sampah?

21 Oktober 2018

Hari ini minggu ketiga. Sudah tiga minggu saya bolak-balik Jakarta-Bandung setiap akhir pekan untuk menjenguk anak itu.

Lelah memang, tapi tidak apa. Semuanya hilang kala melihat senyum anak itu hadir begitu ia lihat saya berdiri di depan pagar rumahnya.

16 Desember 2018

Kalau dulu saya yang mencari-cari Nares, sekarang kebalikannya. Sudah kedua kali di bulan ini dia protes karena saya menolak diajak main.

Duh, bagaimana? Saya punya malaikat kecil yang perlu ditemani tiap weekend.

24 Desember 2018

Besok tanggal merah, saya ingin jenguk Reksa, tapi ditahan Ibu dengan dalih acara keluarga.

Saya semakin ingin kabur.

Apa senangnya ikut acara keluarga kalau keluarga itu sendiri lebih jahat dibanding orang asing.

6 Januari 2019

Hari ini Ibu memaksa saya berkenalan dengan gadis pilihannya. Namanya Aurel. Cantik memang, tapi membosankan. Nongkrong dengan Nares atau mengurus Reksa jauh lebih menyenangkan daripada terjebak di kencan buta yang canggung ini.

12 Februari 2019

Aneh. Ibu marah-marah, mengata-katai Reksa. Suruh saya tak usah urus anak itu lagi.

Kalau bukan saya yang urus, nasibnya bagaimana?

17 Februari 2019

Reksa akhir-akhir ini sibuk sekali, ya? Saya ajak main, menolak terus. Katanya ada kerja kelompok. Kalau begitu untuk apa saya datang ke sini, Reksa-nya saja pergi keluar.

10 Maret 2019

Untuk pertama kalinya, saya bertengkar dengan Reksa. Ternyata selama ini dia bukan kerja kelompok, tapi bekerja mencari uang.

Untuk apa? Bukannya dia punya saya? Butuh ini itu bilang saja, apa sesusah itu?

Sudah berbulan-bulan, apa saya masih dianggap orang asing?

23 Maret 2019

Hari ini hari ulang tahunnya.

31 Maret 2019

Ini minggu ketiga saya tidak pulang ke Bandung, tapi Reksa sepertinya tidak peduli. Ya sudah, untuk apa saya pikirkan nasibnya di sana?

Lebih baik terima ajakan Nares ke bar dekat kantor.

14 April 2019

Saya cerita banyak tentang Reksa pada Nares. Saya kira dia akan dukung saya, nyatanya malah berpihak pada anak itu.

Cih.

24 April 2019

Reksa tahu dari mana saya ulang tahun? Kemarin malam dia kirim pesan, tapi saya baru baca pagi ini. Balas sekarang, sudah telat, ya?

5 Mei 2019

Saya mengaku kalah. Saya hari ini pulang ke Bandung. Sudah hampir tiga bulan, gimana kabar anak itu?

27 Juli 2019

Nares hari ini menginap di rumah saya, sepertinya sedang ada masalah. Padahal besok seharusnya saya pergi ke Bandung.

Apa saya ajak dia saja, ya?

Ngaco kamu, untuk apa bawa Nares ketemu Antareksa? Haha.

6 Agustus 2019

Minggu depan Nares berulang tahun, kado apa yang cocok, ya?

11 Agustus 2019

Masih belum nemu hadiah yang pas, hufft. NARES, KAMU SUKANYA APA?

13 Agustus 2019

Untuk Nares: Happy Birthday, Nares. Tadi malu bilang waktu ketemu kamu, takutnya kamu malah tertawakan saya yang cringe. Tapi dari lubuk hati terdalam saya harap kamu selalu bahagia. Nares, kamu berhak bahagia. Semoga kamu suka bukunya, ya?

ps: Mukanya kesal banget waktu buka kado dari saya. Kumpulan buku cerita berisi dongeng anak-anak. Dia merenggut, mengira saya sengaja membelikannya barang itu untuk membuatnya naik pitam. Padahal, saya cuma berharap buku dongeng itu bisa membuatnya terlelap dengan nyenyak di malam hari. Insomnia itu melelahkan, saya tahu.

19 September 2019

Hari ini, saya dan Nares makan soto langganan kami di pinggir rumah sakit. Nares hampir menyemburkan sotonya saat saya bilang ingin beli rumah.

“Untuk Reksa?” Tanyanya dengan mulut penuh dan mata melotot.

Ya... bukan juga, sih. Sudah lama saya ingin keluar dari rumah Ibu, kabur dari tatapan menuntut Kakak-Kakak. Tapi dipikir-pikir lagi, rasanya menyenangkan kalau bisa bawa Reksa main ke Jakarta tanpa perlu risau dia harus menginap di mana.

20 September 2019

Nares janji temani saya pilih-pilih rumah di area dekat kantor, tau-taunya baru mau berangkat dia malah ditelepon rumah sakit. Yaah, gagal.

28 September 2019

Saya dan Reksa mengunjungi mamanya hari ini, ke pemakaman. Kali ini, dia sama sekali tidak menangis.

Rupanya, Reksa sudah tambah besar dan tegar, ya?

ps: Kenapa saya bicara seperti orang tua umur 50 tahun...

21 November 2019

Akhirnya, nemu rumah yang cocok. Kecil sih... tapi budget saya cuma bisa dapat yang seperti ini :“)

Beli jangan? Apa lebih baik menabung lagi?

22 November 2019

Galauuuuu, saya tanya ke Reksa dia malah ikut bingung.

24 November 2019

Oke, keputusan akhirnya adalah beli. Tinggal di gubuk juga lebih baik daripada tinggal di rumah Ibu.

25 Desember 2019

Hari ini saya ajak Reksa main ke Jakarta setelah misa natal bersama di Katedral. Katanya, ini kali pertama dia berkunjung ke ibukota. Anak itu senang sekali.

Tadinya saya mau ajak Nares, tapi dia memilih tidur.

Ckck, padahal kapan hari dia bilang ingin bertemu Reksa. Dasar labil.

26 Desember 2019

Kemarin malam, Reksa menginap di rumah kecil saya. Dia sempat protes sih, hahaha, karena kasurnya terlalu sempit. Akhirnya jadi dempet-dempetan.

Untung badan Reksa kecil, bisa dibayangkan kalau Nares yang menginap...

...

Kalau Nares yang menginap, sudah saya tendang duluan dia.

Hahaha.

1 Januari 2020

Pergantian tahun kali ini saya lalui bersama Nares. Tiba-tiba saja kemarin malam dia mampir membawa beer. Saya kira dia ingin minum karena sedang senang, nyatanya sebaliknya. Nareswara pintar sekali berbohong, senyumnya bisa menipu mata.

Tapi dia lupa kalau daya tahannya pada alkohol tidak begitu bagus, hahaha.

...

Nares, jadi dokter itu sulit, ya?

2 Januari 2020

Ibu marah-marah karena saya tidak ikut makan malam dengan keluarga kemarin.

Saya juga ingin marah.

Ibu ingat saya hanya kalau menyangkut acara keluarga, nama keluarga.

Saya ini anaknya atau bukan?

9 Februari 2020

Reksa kurus sekali, wajahnya juga lesu. Pasti kelelahan karena kuliah, ya?

Note: Besok pagi jangan lupa tanya Nares, vitamin apa yang perlu dikonsumsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

21 Maret 2020

Lusa Reksa berulang tahun. Ah, saya paling payah dalam memilih kado. Anak itu sedang butuh apa, ya?

23 Maret 2020

Lucu. Matanya membola kala melihat kado dari saya.

“Om... ini handphone?”

Ya menurut kamu saja apa...

25 Maret 2020

Reksa jadi sering mengirimi saya pesan setelah dibelikan handphone baru. Giat menanyakan fitur A sampai Z. Hahaha, bagus deh, berarti dia senang dengan hadiahnya, kan?

13 April 2020

Hari ini Reksa ajak saya jalan-jalan keliling perumahannya dengan sepeda. Ini pertama kalinya juga dia ajak saya makan bubur di depan komplek, yang ternyata, enak sekali.

Omong-omong, harganya hanya lima ribu. Benar-benar tidak masuk akal.

23 April 2020

Hari ini hari ulang tahun saya, tapi rasanya sesak sekali. Ibu dan kakak-kakak menyanyikan lagu ulang tahun dan membeli kue besar, tapi kenapa tatapan mereka membuat saya merasa kecil?

Gosh, I need Nares.

16 Mei 2020

Sepertinya saya sakit...

19 Mei 2020

Reksa bilang wajah saya terlihat suram hari ini.

Ah, kelihatan, ya?

Reksa, saya takut. Saya harus bagaimana?

8 Juni 2020

Bukan sekedar sakit ringan lagi, sepertinya saya sudah gila. Tuhan, tolong.

12 Juni 2020

Saya pergi ke psikolog hari ini. Sialnya, bertemu Kak Hendra. Kenapa dia bisa ada di sana?

Omong-omong, psikolognya bilang ini bukan penyakit.

Lalu ini apa?

Kenapa harus saya?

15 Juni 2020

Hari ini saya pulang ke rumah Ibu. Tapi kenapa Kakak menatap saya seperti itu?

20 Juni 2020

Dia tahu. Dia tahu dari mana?

24 Juni 2020

Takut.

28 Juni 2020

Nares ajak saya kumpul bersama teman yang lain, tapi saya takut. Bagaimana jika ada yang sadar?

9 Juli 2020

Nares spam chat lagi. Dia bertanya apa ada yang salah dengannya.

Bukan.

Saya yang salah.

Saya harus jawab apa?

20 Juli 2020

Nares memaksa ingin datang ke rumah. Saya bilang saya ada di Bandung.

Reksa, maaf. Om pinjam nama kamu untuk berbohong. Maaf.

10 Agustus 2020

Ingin rasanya pindah ke Bandung. Setiap ada Reksa, rasanya semua ketakutan saya hilang.

Tapi, mana bisa?

13 Agustus 2020

Hari ini, Nares berulang tahun. Tapi nomornya masih saya block. Nares, maaf, saya takut.

21 Agustus 2020

Apa Kakak sebenci itu sama saya? Kenapa dia menerror saya? Kenapa dia terus-terusan mengancam akan memberitahukannya pada Ibu? Untuk apa?

18 September 2020

Kak Hendra bilang saya hina. Padahal tanpa perlu diberi tahu pun saya sudah sadar.

28 September 2020

Hari ini, dua tahun sejak kematian Kak Thalia.

Sama-sama Kakak, kenapa mereka berbeda? Kenapa Kak Hendra sebenci itu sama saya?

Saya harap bukan Kak Thalia yang dikubur di bawah sana, tapi dia.

4 Oktober 2020

Kemarin, Nares datang ke rumah. Rasanya bersalah sekali, melihat wajahnya yang kusut. Dia tetap bersikeras untuk bertanya kenapa saya menjauhinya.

Saya jawab saya hanya sibuk, dan dia tertawa.

Jawaban yang buruk, ya?

9 Oktober 2020

Saya datang ke bar.

Dengan Nares.

Ya Tuhan, sudah lama sekali, ya?

Kalau saya pendam rasa ini dalam-dalam, semuanya akan baik-baik saja, bukan?

Saya tidak mau kehilangan dia.

16 November 2020

Setiap kali Nares mengajak bertemu, saya tidak bisa menolak.

Dia sudah memikul banyak beban, saya tidak mau jadi salah satunya.

Tapi, saya takut.

20 November 2020

Sial. Pertemuan keluarga lagi. Kak Hendra dengan tatapan menghakiminya lagi.

Rasanya ingin mati saja.

3 Desember 2020

Reksa bertanya kapan saya mampir. Ah, sudah lewat beberapa minggu rupanya. Kok saya bisa sampai lupa dengannya?

Jevan, fokus.

19 Desember 2020

Padahal hanya berjalan-jalan dengan Reksa di mall, tapi rasanya seram sekali. Orang-orang asing itu menatap saya seolah saya ini hina.

Apa hanya perasaan saya saja?

Mereka tidak tahu. Kenapa saya harus takut?

29 Desember 2020

Nares lagi-lagi mengajak saya bertemu. Seperti biasa, saya bercerita tentang Reksa dan Reksa. Dia tampak tertarik.

Dia tidak sadar, kan?

Orang lain di bar ini tak ada yang sadar, bukan?

Ya Tuhan, sejak kapan saya jadi sepenakut ini?

2 Januari 2021

Hari ini saya dan Nares ke bar itu lagi. Sialnya, ada pasangan gay lewat. Entah apa yang merasuki saya hingga saya bertanya tentang pendapatnya.

Nares tidak bilang dia jijik. Dia hanya diam, berkata bahwa itu bukan urusannya.

Tapi saya yakin baginya itu menjijikan.

Saya sendiri merasa saya menjijikan.

9 Januari 2021

Apa Kak Hendra menyuruh orang mengikuti saya?

Darimana dia tahu kalau Nares orangnya?

Untuk apa? Kenapa dia sejahat ini?

23 Januari 2021

Semuanya sudah saya blokir. Nomor Kak Hendra, Ibu, Nares. Hanya tinggal nomor Reksa.

Saya rindu Reksa.

Tapi saya takut. Apa saya masih pantas menjenguknya?

Apa kata orang jika tahu dia memiliki paman yang sakit jiwa?

8 Februari 2021

Saya tidak sanggup melihat orang-orang itu di kantor. Pandangannya seolah-olah menghakimi saya dari ujung rambut hingga kaki.

Faresta Jevan, kamu memang sudah gila, ya?

Jelas-jelas mereka tidak tahu soal itu.

27 Februari 2021

Saya resign. Ini keputusan yang tepat, kan?

23 Maret 2021

Tadinya saya berencana ke Bandung hari ini, merayakan ulang tahun Reksa. Tapi Ibu dan Kak Hendra mampir.

Apa mau mereka?

Ini satu-satunya tempat di mana saya merasa aman. Dan sekarang mereka hadir.

Saya harus sembunyi di mana lagi?

Ibu bilang hidup saya tidak berguna.

Ibu, saya juga merasa begitu.

5 Mei 2021

Reksa bertanya, kapan saya pulang ke Bandung.

Tidak tahu.

Apa Bandung menyediakan tempat untuk orang gila seperti saya?

14 Mei 2021

Saya tidak sanggup lagi. Ucapan Kak Hendra terus terngiang-ngiang di kepala.

18 Mei 2021.

Reksa, maaf. Nares, maaf.

20 Mei 2021

Besok saya mampir ke Bandung. Tapi bukan untuk bertemu Reksa.

Untuk Reksa, kalau kamu membaca ini, saya minta maaf. Om Jevan minta maaf atas segalanya. Maaf saya ingkar janji, maaf saya meninggalkan kamu. Maaf karena saya sudah menjadi orang paling hina di muka bumi ini. Maaf.

Om menyerah.