Epilog

Di lobby rumah sakit.

“Nares, residen cewek yang tadi kayaknya naksir sama lo.”

Nares melirik perempuan yang tengah berbicara kepadanya. “Ya sudah, urusannya apa sama saya?”

“Ya… ngasih tau aja, siapa tahu lo nya gak peka. Tapi peka juga percuma sih, ckck. Kasihan dia, gak tahu kalau lo sukanya sama cowok.” Fanya tertawa sembari menepuk bahu Nares. “Tapi, Res, asli deh, kata gue lo menyerah aja. Masa udah lima tahun belum move on? Cupu banget!”

“Daripada waktu kamu habis buat ngejek saya, mending kamu cepat-cepat pulang dan urus anak kamu yang masih TK.”

“Ah, anjir, gak seru!” Gerutu Fanya. “Niat gue kan baik. Lo gak cape apa, tiap pertemuan keluarga atau kolega disindir terus? Udah dikenalin ke ratusan cewek, satu aja gak ada yang nyantol.”

Nares mengedikkan bahunya. “Saya gak peduli. Terserah mereka mau bilang apa. Tapi ini hidup saya, mereka gak bisa atur kapan saya menikah.”

Wow, you change a lot.

“Kamu bukan orang pertama yang bilang begitu.”

Fanya melunturkan senyumnya. Perempuan dengan jas khas dokter itu menepuk bahu rekan kerjanya. “I hope the best for you. Semoga lo bahagia, entah dengan “dia”, atau orang lain.”

Nares mengangguk. “Soon.

“Gue balik dulu, ya. Ini bocah gue udah rewel.” Ucap Fanya sambil menunjukkan foto anak sulungnya. “Lo juga jangan pulang kemaleman!”

“Iyaaa!”

Begitu sosok Fanya lenyap dari pandangannya, handphone Nares berdering. Tak perlu waktu lama, Nares menjawab panggilan itu.

”Res, gue ke rumah lo, ya!”

“Kali ini apa lagi?” Tanya Nares sambil membereskan barang-barangnya untuk bersiap pulang.

*”Ck, biasa. Masalah adopsi anak. Gue gak ngerti kenapa Chandra tiba-tiba dapet begini. Lo kalau jadi gue juga pasti bingung. Udah biasa hidup berdua dan baik-baik aja kena—”

“Stop.” Potong Nares. “Saya masih di rumah sakit, curhatnya nanti aja. Kalau kamu bicara di telepon semuanya yang ada saya harus dengerin dan gak bisa pulang sampai nanti subuh.”

”Ah, ya udah! Buru! Gue juga on the way sekarang!”

“Sampai jumpa.” Nares mematikan panggilan. Pria itu berjalan menuju mobilnya yang terpakir rapi di halaman rumah sakit dan masuk ke dalamnya. Begitu duduk, seperti biasa dokter spesialis anak itu menatap pigura kecil yang terpajang rapi di atas dashboard mobil sebelum menjalankan kendaraannya itu.

“Cantik.” Gumamnya tanpa sadar. “Reksa, apa kabar?”