Gak Becus

“Makasih Kak Nares, Reksa.” Ujar Chandra pada Nares yang masih duduk di kursi kemudi. Ia dan Mahesa baru saja turun dari mobil dan kini tengah menunggu Gojek di depan minimarket. Yep, sesuai rencana, mereka pulang siang hari ini dan Nares kembali mengantarnya ke tempat awal mereka berkumpul untuk pergi ke Lembang.

“Sama-sama.” Balas Nares sambil menyunggingkan senyumnya yang khas. “Apa gak apa-apa, kalau saya tinggalkan kamu dan Mahesa berdua di sini?”

“Lo kira kita masih anak kecil apa? Hus hus sana pergi. Nanti gue minta supir Gocar-nya anter dia balik dulu, baru gue pulang. Dijamin aman.” Omel Mahesa yang berdiri di sebelah Chandra sambil menenteng barang-barang milik mereka.

“Ya sudah, kalau begitu kami duluan, ya.”

Nares menaikkan kaca jendela mobil dan segera menginjak gas setelah melihat anggukan kedua orang temannya. Suasana di dalam mobil yang tadinya lumayan ramai karena kehadiran Mahesa dan Chandra kini mendadak sunyi. Untungnya jarak minimarket dan apartemen sangat dekat, sehingga Reksa dan Nares tidak perlu tersiksa oleh hawa canggung ini lama-lama.

Begitu si pengemudi memberhentikan kendaraannya di tempat parkir, Reksa yang sedari tadi hanya diam lantas menahan lengan Nares yang tadinya hendak segera keluar dari mobil. Laki-laki yang lebih dewasa itu sontak menoleh ke arahnya bingung sambil melepaskan genggaman yang lebih muda. “Kenapa, Reksa?”

”... Mas mau cuekin aku sampai kapan?”

Mereka berdua saling bersitatap, hingga akhirnya Nares yang lebih dulu menyerah. Pria itu membelokkan kepalanya ke sisi lain, menghindari tatapan Reksa. “Sejak kapan saya cuek sama kamu?”

“Sejak tadi pagi.”

“Saya bersikap seperti biasa, kok.”

“Apa karena pesan yang aku kirim kemarin?” Reksa masih memandangi Nares. “Apa Mas Nares marah?”

“Saya bersikap seperti biasa, Reksa. Kamunya saja terlalu banyak berpikir macam-macam.” Nares bersikukuh.

Reksa menghela napas. “Mas, aku gak sebodoh itu.” Ia memelintir ujung kaosnya. “Kalau memang Mas Nares gak nyaman sama yang aku bilang tadi malam, aku minta maaf. Itu cuma dare, kok.”

Berhasil, batin Reksa. Nares kini mau melihatnya.

“Seperti yang aku bilang, Mas Nares udah mau biayain aku aja aku udah berterima kasih banget. Mana mungkin aku berani mikir yang macam-macam?”

Nares akhirnya menunjukkan senyumnya pada Reksa, membuat remaja itu kembali menghembuskan napas karena lega.

Nares menghempaskan punggungnya pada sandaran jok mobilnya. “Reksa, saya kaget.” Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. “Saya nyaris terkena serangan jantung kemarin malam.”

Reksa terdiam beberapa detik sebelum terkekeh. “Emangnya setakut itu, ya, disukai sama aku?”

Nares langsung mengangguk.

“Kena-”

“Tunggu, Reksa. Ada pesan masuk.” Sela Nares sambil mengambil handphone-nya. Reksa mau tak mau menelan kembali pertanyaannya bulat-bulat.

Entah selang berapa menit, Nares akhirnya mengangkat wajah dan menaruh handphone-nya. “Kamu tadi mau bilang apa?”

“Enggak. Bukan apa-apa.”

“Omong-omong, nanti rekan kerja saya mau datang ke rumah.” Ujar Nares.

“Oh... Mas mau aku sembunyi di kamar?”

“Eh, kenapa harus sembunyi?”

Reksa menggaruk rambutnya. “Nanti kalau teman kerjanya Mas Nares tanya aku siapa Mas Nares jawab apa?”

Nares tertawa. “Jawab apalagi? Ya keponakan saya, dong.”

“Oh... Ya udah.”

Mereka kembali terdiam.

“Reksa...” Nares berdeham. “Saya minta maaf, pagi ini sudah... seperti itu.”

Kedua sisi bibir Reksa terangkat, tapi matanya tak ikut tersenyum. “Gak apa-apa.”

“Saya cuma bingung... karena... kamu tahu...” Nares mengacak rambutnya. “Apa pun alasannya, seharusnya saya gak kasih kamu silent treatment. Saya bingung gimana...”

“Gak apa-apa, Mas Nares.” Potong Reksa. “Mas Nares masih betah duduk di sini? Aku naik duluan ya ke apartemen, pengap banget di tempat parkir.”

Ia segera membuka pintu mobil, meninggalkan Nares yang masih terdiam di tempatnya.

Nares menatap tubuh kecil Reksa yang semakin menjauh dari jangkauannya sambil menenteng ransel yang tak ringan.

Laki-laki itu mengeratkan pegangannya pada setir mobil. Apanya yang tak apa-apa?

Senyum Reksa tak lagi mencapai netranya, dan kedua mata yang biasanya berbinar indah kini meredup. Tak ada lagi sinar yang Nares dambakan.

“Nares brengsek.”

Ia lagi-lagi lupa, sosok Reksa yang biasanya ceria seperti tanpa beban pun punya sisi rapuh. Nares lupa, Reksa paling takut melihatnya marah. Reksa takut ditinggalkan.

Silent treatment? Bisa-bisanya tadi dia melakukan hal itu pada Reksa. Lagipula kemarin pun anak itu sudah bilang kalau dia hanya bercanda dan semua yang dikirimkannya pada Nares hanyalah kebohongan semata, kenapa pula dia menyimpannya dalam hati?

“Jevan, maaf.” Gumamnya. “Saya gak becus.”