Hancur

Sama seperti hari-hari sebelumnya, Reksa gabut. Saat ini, dia sedang makan siang bersama Eli di TSM sambil menunggu Chandra datang. Rencananya mereka mau main di Trans Studio bareng, tapi yang mengajak malah ngaret lebih dari satu jam.

“Sa, ngelamun mulu.” Tegur Eli. Makanannya sudah hampir habis, tapi makanan Reksa masih utuh, dianggurkan pemiliknya. “Masih galau?”

“Iya, kepikiran.”

“Kenapa gak mau nanya langsung, sih?”

“Takut.”

Eli menghela napas. Jawabannya selalu sama.

Baru ingin mengomel, tiba-tiba layar handphone Reksa menyala, menampilkan sesuatu yang menarik.

“Anjir, Sa...”

“Hm?”

“Om Jevan nge-chat lo tuh.”

“HAH?” Reksa buru-buru meraih handphone-nya. Matanya terbelalak melihat notifikasi yang masuk dari Jevan.

“ELIIIII DEMI APA BENERAN DONG!”

Reksa buru-buru membuka handphone-nya dan mengarahkannya pada Eli.

“Li gue takut, bacain dong dia bilang apa! Bukan tentang transfer duit kan? Dia akhirnya ada rencana pulang, kah?”

“Bentar... coba gue baca dulu...” Eli mendekatkan dirinya pada layar handphone, namun raut wajahnya seketika berubah. Napasnya tercekat usai ia membaca pesan itu.

“Sa?”

“Iyaa?”

“Keluar dulu sini.” Eli merebut handphone dari tangan Reksa dan segera menariknya keluar dari dalam restoran. Reksa buru-buru mengambil barang bawaannya dan mengikuti langkah Eli.

“Kenapa, Li?” Reksa kebingungan. Tapi pertanyaannya tak digubris oleh yang lebih muda.

Begitu Eli menarik dirinya ke dalam toilet, Reksa tak tahan lagi.

“Eli, lo kenapa sih anjir?”

Eli tetap bergeming dan menarik Reksa ke salah satu bilik.

“Sa...” Ia menatap sahabatnya lekat-lekat. “Maaf, gue rasa lo lebih baik ga melihat pesan ini di dalem sana. Di sana terlalu rame...”

“Emangnya kenapa, sih?!”

“Janji sama gue, jangan teriak. Jangan nangis.”

Eli menyerahkan handphone yang sedari tadi ia genggam kepada sang empunya.

Reksa menatap barang miliknya lekat-lekat, membaca pesan itu kata demi kata.

Seketika, dunianya hancur.