Kalah Telak

Nares berjalan mondar-mandir di depan pagar rumah milik Reksa dengan panik. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah lebih dari tiga puluh menit ia berdiri di tempatnya, pun sudah belasan panggilan yang ia lakukan pada nomor anak itu. Bahkan, beberapa remaja yang menongkrong di pos ronda ujung perumahan mulai menatapnya penuh selidik.

Nares mengusap wajahnya yang basah karena peluh dengan frustasi. Sekali lagi, ia menekan tombol dengan tulisan call di samping nomor Reksa.

Satu detik… dua, tiga…

Pria berkemeja itu menajamkan telinganya. Dari sini, ia bisa mendengar ringtone khas handphone Reksa dari dalam rumah. Tak salah lagi, orang yang dicarinya berada di dalam sana. Nares menghela napasnya kesal sekaligus khawatir.

Kenapa masih tidak diangkat???

Ia menekan tombol itu sekali lagi.

Satu detik, dua, tiga, empat, lima, enam…

Diterima.

Deg.

Nares langsung menempelkan handphone itu pada telinga kirinya. “Reksa? Kamu bisa dengar saya?”

“…”

“Saya ada di depan rumahmu. Ayo bertemu. Katanya kamu mau bicara.”

“…”

Nares mengerutkan dahinya bingung karena tak kunjung mendapatkan jawaban. “… Reksa?” Panggilnya hati-hati.

Tak lama kemudian, suara tangisanlah yang menjawabnya. Hanya isakan kecil, tapi cukup untuk membuat Nares merasa pilu.

“Reksa? Kamu di sana?” Napasnya tercekat kala mendengar suara isakan dari ujung telepon mulai mengeras. “Kamu kenapa?” Tanyanya semakin cemas. “Kamu sakit?”

“S-sakit…”

Satu kata itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Nares kalang kabut. “Sakit di mana? Reksa, jangan putus teleponnya. Kamu bisa berjalan? Bisa buka pintu?”

Lea-leave me… alone.

“Bagaimana bisa?” Ia mengeratkan kepalan tangannya pada besi pagar. “Reksa, tolong, sekali ini saja dengarkan saya. Jangan keras kepala.” Nares memejamkan matanya lelah. “Buka pintunya. Saya mohon.”

Tak ada jawaban.

Nares berdiri pasrah di depan pagar. Entah berapa lama ia menunggu hingga akhirnya mendengar suara pintu yang dibuka. Sontak, pria itu melepas pegangannya pada pagar dan menegakkan tubuhnya. Dilihatnya laki-laki pujaannya itu mendekat dengan setelan rapi seperti hendak keluar. Indah.

Nares menaikkan pandangannya, matanya bersitatap dengan binar Reksa. Kedua netra anak itu sembab, bibirnya ia gigit agar tak ada isakan yang lolos dari sana. Sedetik kemudian, Reksa memutus tatapan mereka dan menunduk sedalam-dalamnya, menghindari pandangan Nares. Ia mendekat, bersusah payah membuka gembok pagar dengan tangannya yang bergetar.

Nares terdiam. Hatinya tercabik-cabik melihat pria di depannya hancur.

Siapa yang membuat Reksa-nya seperti ini?

Klek. Gembok berhasil dibuka.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Nares langsung membuka pagar itu dan masuk ke dalam, menghilangkan jarak antara mereka berdua. Alisnya sedikit tertekuk begitu mengendus bau alkohol dari tubuh Reksa, namun Nares langsung menghapus segala asumsi dalam otaknya. Ia menggenggam tangan Reksa khawatir. “Reksa, ada apa? Yang mana yang sakit? Bagian mana?”

Reksa mengangkat kepalanya dan menatap Nares dengan air mata yang tak berhenti mengalir di wajahnya. “Semua. Semuanya sakit, sakit lagi.” Adunya sambil menepuk dada kirinya. “Di sini, sakit, jauh lebih sakit.” Isakannya mengeras, menggema di malam yang sunyi itu. Tapi Reksa tak peduli. “Lebih perih dari yang dulu! Mas, tolong!” Ia kalut.

Nares terperangah. Ia mengangkat tubuh ringan itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Reksa menangis keras, mencengkeram kemeja Nares, menenggelamkan wajahnya di sela-sela leher pria itu, berhasil membuat kemeja putih yang dikenakan Nares basah dan kusut.

“Hei, hei…” Nares mendudukkan tubuhnya di sofa dengan Reksa di atas pangkuannya. “Reksa, tenang… Lihat saya.” Perintahnya. Pria itu menangkup wajah Reksa, menengadahkan kepalanya. “Semuanya akan baik-baik saja. Kamu ada saya. Jangan takut.”

Ah, begitu kata-kata itu keluar dari bibirnya, Nares merasa déjà vu. Hari itu, di hari kematian Jevan, ia juga mengatakan hal yang serupa pada orang di depannya.

Bedanya, kali ini Reksa menggeleng histeris, berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Nares. “Gak, gak bisa… Gak bisa…” Ia menangis lagi, menyayat jantung Nares selapis demi selapis. “Gak bisa… gak akan baik-baik aja… hiks…”

“Ada apa?” Tanya Nares tak tahan. Ia tak tahu hal apa yang terjadi pada orang di pangkuannya, ia tak paham dengan apa yang terjadi hingga membuat Reksa-nya hancur lebur.

Namun lagi-lagi, yang menjawab hanyalah gelengan kepala dan isakan yang semakin kencang. Nares akhirnya memutuskan untuk kembali membawa Reksa ke dalam pelukannya, membiarkan laki-laki itu menangis bebas di pundaknya.

Matanya menelusuri ruangan itu.

Berantakan sekali. Nares baru sadar, meja di depannya penuh dengan kaleng beer. Perhatiannya terpacu pada Reksa dan hanya Reksa sehingga ia tidak menyadari apa-apa sampai detik ini. Ia menggigit bibirnya tak mengerti sembari melirik orang di dalam pelukannya.

Sebenarnya ada apa? Apa masalah percintaan? Apa Lucas menyakiti kesayangannya ini?

Nares mempererat dekapannya pada Reksa yang tak kunjung berhenti menangis. Pria itu menemani Reksa dalam diam, hingga akhirnya isakan itu perlahan menghilang.

“Reksa?” Bisiknya. Nares perlahan melonggarkan pelukannya. Rupanya, anak itu tertidur, entah karena pengaruh alkohol yang mulai bekerja atau karena energinya yang terkuras sehabis menangis. Sementara satu tangan menopang tubuh Reksa agar tetap tidak terjatuh dari pangkuannya, satu tangan yang lain ia lepaskan untuk mengusap wajah Reksa. Jari-jari Nares menelusuri paras manis itu, menghapus jejak-jejak air mata dari pipi yang memerah. Setelahnya, ia kembali mendekap Reksa erat-erat. Tubuhnya ia senderkan pada sofa, matanya terpejam.

Semesta, tolong biarkan dua insan ini beristirahat. Sebentar saja. Sebentar saja sudah cukup.


Nares terbangun kala merasakan pergerakan di atas tubuhnya. Ia sontak membuka mata, dan maniknya langsung bertubrukan dengan milik Reksa yang masih sembab. Reksa tampak kaget dengan mulut terbuka sebelum pria itu kembali diam. Tanpa ia sadari, lagi-lagi air matanya terjatuh membasahi pipi, membuat hati Nares kembali terkena imbasnya.

Pria itu kembali mengusap air mata yang menghiasi paras orang di pangkuannya. “Kenapa menangis lagi? Apa masih sakit?” Tanyanya dengan suara serak akibat baru bangun. Reksa mengangguk. “Sakit. Sakit banget.”

“Apa Lucas?” Tanya Nares hati-hati, tak ingin menyinggung laki-laki di depannya. Reksa mengerutkan keningnya sembari menggeleng, “K-kenapa menyinggung Kak Lucas?”

Nares sontak tergagap. “Eh… Tidak, bukan… saya kira masalah percintaan… kalian pacaran… jadi… ah, maaf…” Ia menggigit bibirnya. “Kalau begitu, siapa? Siapa yang buat Reksa sedih?”

Reksa menatap ke dalam mata Nares dalam hingga yang ditatapnya itu tersentak. “A-apa?”

Apa saya? Nares bertanya dalam hati, tapi tak berani menyuarakannya.

Seperti yang dilakukan Nares padanya tadi, Reksa mengusap wajah Nares. Ia mengelus pipi hingga bibir itu, membuat orang yang diusapnya membelalakan mata karena bingung.

Reksa menggigit bibirnya. “Mas, benar-benar, sekali pun… gak pernah jatuh cinta sama aku?”

Genggaman Nares pada pinggang dan wajah Reksa langsung terlepas karena terperanjat. “Reksa, apa kamu mabuk karena alkohol?”

Masih dengan air mata yang mengalir, Reksa terkekeh. “Alihin pembicaraan lagi.”

“…”

“Cium aku.”

Nares meneguk air liurnya. “…Apa? Nggak bisa, Reksa.”

“Kenapa?”

“Kamu… punya pacar.”

“… Aku gak punya. Kak Lucas bukan pacarku.” Bantah Reksa, sedikit kesal. Mendengar fakta itu, Nares kembali terkejut.

Tak peduli dengan kekagetan orang di depannya, Reksa kembali menyuarakan keinginannya. “Mau cium.”

“… Tetap gak bisa. Kamu tadi minum alkohol. Sekarang, kamu gak sadar dan besok kamu pasti akan menyesal.” Tutur Nares.

Ia bingung. Mengapa Reksa tiba-tiba jadi seperti ini?

Di tengah tangisannya, kini Reksa malah tertawa. “Tahu darimana? Mas, stop buat asumsi sendiri.”

Nares mengacak rambutnya frustasi. “Reksa, apa yang salah sama kamu? Kita sudah pernah bicara… tentang ini, bukan?”

“Yang itu gak lagi berlaku.”

“Maksudnya?”

“Gak berlaku lagi, karena yang kamu bilang ke aku semuanya bohong.”

Nares tersentak. “A-apa?”

Ini pertama kalinya Reksa memanggilnya tanpa formalitas.

Tanpa embel-embel Mas.

Di sini, saat ini, hanya ada dua insan yang saling berbicara dari hati ke hati, tanpa mempedulikan status, tanpa memerhatikan gender.

Bukan lagi Mas Nares dan Reksa keponakan Jevan.

Hanya Nareswara dengan Antareksa. Reksa menatap bibir Nares, ia semakin merapatkan tubuh mereka berdua yang tadinya sudah tak berjarak.

Nares tentunya sadar dengan apa yang akan Reksa lakukan.

“ANTAREKSA!” Bentaknya, hingga orang di pangkuannya tersentak kaget. Nares menangkup kedua pipi orang di depannya, “Sebenarnya, ada apa? Kamu kenapa?”

“… Aku cape. Kamu bohong terus.” Reksa menunduk, membiarkan air matanya jatuh membasahi tangan Nares. “Karena kamu bohong, aku sakit. Karena kamu bohong, aku seperti orang bodoh berbulan-bulan dan baru tahu sekarang. Seharusnya semua permasalahan beres. Tapi, belum ada dua jam sejak aku senang… hancur. Ternyata sama saja. Gak bisa. Gak akan bisa. Ternyata, dari awal semuanya udah salah.” Reksa menahan isakannya, “Tapi untuk hari ini… untuk detik ini, aku ingin egois.”

“Apa maksud kamu?” Nares benar-benar merasa bodoh. “Saya gak ngerti apa yang kamu bicarakan.” Nares dapat merasakan tubuhnya menegang seiring dengan wajah Reksa yang semakin mendekat.

“Aku cuma mau egois sekarang. Tolong jangan ada kebohongan lagi.” Reksa mulai terisak lagi. Dengan panik, Nares menghapus air mata yang mengalir di pipi Reksa. Mengambil kesempatan, Reksa dengan sigap menangkap lengan milik Nares, “Tolong jawab aku jujur. Kamu suka, kan, sama aku?”

“… Saya pergi. Kita bicara beso—” Nares mendorong Reksa resah.

“Pengecut. Aku benci kamu.”

“…Apa?” Nares terpaku. Ia menatap pria itu tak percaya. “Kamu bilang apa?”

“Kamu pengecut. Pecundang. Aku benci kamu. Antareksa benci Arsa Nareswa—Umh…”

Tak membiarkan Reksa berkata lebih lanjut, Nares menyatukan bibirnya pada milik Reksa. Ia melumat bibir Reksa lembut. “Jangan bilang itu. Jangan, jangan benci saya lagi.” Tegasnya di tengah perpagutan mereka.

Nares menyerah. Pernah ia berpikir, tak apa jika ia jadi pengecut. Tak apa ia dibenci, asal Reksa aman dan bahagia. Nyatanya, sekarang Nares malah menjilat ludahnya sendiri. Ia tak mampu. Nares tak sanggup mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Reksa, dan ia rela melakukan apa saja agar jantungnya berhenti berdenyut nyeri.

Maka, ia turuti keinginan Reksa.

Neuron-neuron pada otaknya berteriak padanya agar ia segera berhenti, tapi kali ini, Nares enggan jadi penurut. Ia patuhi instingnya, ikuti kata hatinya.

Nares mengaku kalah telak.

You love me, don’t you?” Reksa masih tak menyerah. Di tengah cumbuan mereka, ia kembali bertanya.

Nares tidak langsung menjawab, ia menggigit bibir bawah Reksa pelan, membuat laki-laki itu mengerang. Hingga akhirnya, Reksa mendengar bisikan itu.

Kata-kata yang ia nantikan.

“Iya. Saya cinta kamu.”

Reksa menangis, dan Nares pun dapat merasakan air matanya mendesak keluar. Ia memejamkan matanya erat sambil tetap memagut orang di depannya.

“Lagi.”

“Apa?”

“B-bilang lagi.”

“Saya cinta kamu, Reksa.”

Norma, aturan, ajaran keluarga, Nares ingkari semuanya. Biar ia jadi orang durhaka, biar dia jadi manusia hina. Tak apa, dosanya ia tanggung sendiri.

Melawan dunia?

Nares akan mencoba untuk berani.

Untuk dirinya, demi Reksa-nya.