Keesokan harinya

Reksa langsung berlari keluar begitu mendengar suara pintu pagar dibuka. Tampak Nareswara dengan jas putihnya keluar dari mobil.

Dokter muda itu tersenyum kecil melihat Reksa yang masih berbalut piyama kelonggaran, menatapnya dengan mata bengkak yang dipaksakan terbuka lebar.

“Mas Nares beneran dokter, tah?”

“Kamu kira kemarin malam saya mengarang?” Nares menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.

Reksa hanya menjawab dengan cengengesan.

Nares menepuk-nepuk kepala yang lebih muda, “Reksa sudah sarapan?”

“Udaaaah, dong. Nasi gorengnya enak banget!” Jawab Reksa sambil mengacungkan kedua jempolnya, membuat Nares tergelak.

“Syukurlah kalau kamu suka. Reksa mau mandi sekarang? Kalau mau, saya siapkan pakaiannya dulu.”

“Ada yang gak kelonggaran buat aku, gak?” Tanya Reksa, penuh harap.

”... Gak ada, Reksa. Lagian bukannya baju longgar enak, ya, adem?”

Reksa cemberut. “Ya iya, tapi kalo longgarnya cuma sedikit! Kalau kaos Mas Nares di aku gedenya sampe aku miring dikit bahunya keekspos! Giliran aku nunduk dikit satu badan langsung keliatan!”

“Itu sih kamunya yang terlalu kecil...” Nares langsung membungkam mulutnya begitu melihat pelototan Reksa. “Ya sudah, nanti tinggal pake hoodie saya aja biar aman. Dijamin, badan kamu tertutup rapat.”

“Sama aja! Nanti aku kayak make jubah! Lagian Jakarta kan panas, Mas mau aku meleleh di dalem hoodie?”

Nares menepuk jidatnya. Serba salah.


Pada akhirnya, Reksa tetap mandi dan memakai kaus kedodoran yang disodorkan oleh Nares. Baru selesai pakai baju, ia langsung dikagetkan lagi oleh yang lebih tua.

“Kamu udah siap? Kita berangkat ke Bandung sekarang, yuk, Reksa.”

“Hah?” Reksa melongo, kenapa orang yang satu ini banyak sekali kejutannya. “Tiba-tiba? Sekarang? Mas gak perlu siap-siap dulu? Apa Mas cuma nganter aku dulu?”

“Rencananya, sih, mau sekalian pindah sekarang, kalau kamu gak keberatan.”

“Lho? Mas Nares emangnya udah punya tempat tinggal di Bandung?”

Nares mengangguk. “Saya punya satu unit apartemen di Bandung.”

”... Serius?” Reksa menatap orang di depannya tak yakin.

“Iya, Reksa.”

“Gila,” Reksa spontan bertepuk tangan, “Mas Nares keren banget. Masih muda udah sesukses ini.”

”... Itu... hadiah, pemberian dari keluarga. Bukan hasil kerja keras saya...”

”...Oh...” Reksa tertawa canggung. “Anu... lahir di keluarga yang hebat juga salah satu bentuk kesuksesan, Mas, hehe. Eh iya, omong-omong, emangnya Mas udah siap kalau berangkat sekarang? Barang bawaan? Baju? Udah disiapin?” Tanya Reksa untuk mengalihkan pembicaraan.

Nares mengangguk. “Saya sudah packing tadi pagi, waktu kamu masih tidur.”

“Oh...” Reksa manggut-manggut, padahal dalam hati berseru panik.

Kalau Nares packing tadi, berarti dia lihat cara Reksa tidur yang nggak banget, dong, secara Reksa numpang tidur di kamar Nares. Mana tadi bangun-bangun ngiler banyak, lagi! Malu banget! Udah meng-hak milik kasurnya sampe si empunya terpaksa tidur di luar, eh, ngotorin seprainya juga! Rasanya Reksa mau tenggelam aja.

“Reksa?” Nares mengayunkan tangannya di depan wajah Reksa, membuat pikiran-yang-tidak-begitu-penting Reksa buyar dalam sekejap. “Gimana? Apa kamu masih mau istirahat? Atau pengen keliling Jakarta dulu?”

Reksa menggeleng. “Gak usah deh, Mas. Lebih cepet pulang lebih bagus. Tapi, pekerjaan Mas di sini, gimana?”

Nares tertawa. “Kamu ini banyak sekali khawatirnya. Tenang saja, Reksa, sudah saya urus. Pagi tadi saya ninggalin kamu yang masih tidur kan untuk resign dari rumah sakit.”

“Hoo... ya udah, deh! Ayo pulang ke Bandung!”


Ting... Ting... Ting...

“Mas, itu handphonenya bunyi terus dari tadi.” Reksa mengingatkan. “Mumpung lagi lampu merah, cek dulu, siapa tau penting.”

Nares mengangguk kecil, “Oh, ini si Mahesa.” Ujarnya pada Reksa (yang sebenarnya tidak ingin tahu).

“Yang kemarin nganterin kita, ya?”

“Iya.”

“Ooh...”


“Mas, lampunya udah ijo lagi.”

Nares spontan meletakkan handphone-nya, kembali fokus menyetir.

“Apartemen Mas Nares di mana letaknya?” Tanya Reksa, mencari topik demi memecah keheningan di antara mereka. Nares melirik Reksa yang duduk di sebelahnya, “Di Sudirman.”

“Eh?” Reksa membelalakan kedua maniknya. “Di tengah kota? Keren! Enak banget kemana-mana!”

“Iya sih, tapi percuma. Toh saya selama ini jarang ke Bandung.”

“Tapi kan setelah ini sering.” Ujar Reksa. “Mas Nares ada rencana cari kerja di sini, kah?”

Nares menjawab dengan anggukan sambil sesekali menengok GPS. “Ada, dong. Kan saya juga butuh makan. Omong-omong, ini udah sampai Bandung, rumah kamu di jalan mana?”

”... Aduh, rumah aku masih jauh banget, Mas, malah kayaknya masuk ke kabupaten. Kalau enggak, Mas antar aku sampai apartemennya Mas Nares aja, nanti aku panggil ojek online. Daripada ngikutin GPS terus nyasar ke mana-mana dulu.”

“Ya sudah, deh... Ini juga udah jam makan siang, kita makan dulu aja nanti di apartemen saya.”

“Eh? Memangnya ada bahan makanan?”

“Eh iya... gak ada...” Nares menggaruk tengkuknya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya masih memegang setir mobil.

“Ya udah deh, Mas. Gimana kalau mampir ke mall aja, ngisi perut dulu? Sekalian beli bahan makanan ke supermarket biar Mas Nares gak repot lagi nanti. Kebetulan itu di depan ada, tinggal belok kiri.”


“Enak gak?” Tanya Nares was-was begitu Reksa menenggak suap pertamanya.

“Enak, kok! Lebih enak daripada soto kemarin.” Ucap yang lebih muda, membuat Nares langsung tersenyum lebar sambil menyendokkan lebih banyak lauk dan sayur ke piring Reksa. “Makan yang banyak, kalau gitu...”

Melihat yang lebih tua tidak ada niatan untuk berhenti, Reksa buru-buru menahan lengan Nares yang masih ingin memasukkan lebih banyak makanan ke piring kecilnya, “Cukup, Mas... kebanyakan ini mah...” Reksa tertawa.

“Ya sudah deh,” Jawab Nares sambil cemberut. Mereka lalu melanjutkan sesi makan malam dengan hening. Reksa fokus melahap makanan di depannya, sementara Nares tampak memikirkan sesuatu.

“Mas, kenapa gak dimakan?” Tanya Reksa begitu menyadari orang di depannya ini sedari tadi tidak menyentuh hidangan miliknya.

“Oh... enggak, saya lagi mikir...”

“Kenapa?”

“Nanti kamu pulang saya antar aja, ya? Sudah mulai genap begini.”

“Gak usah deh, Mas. Lama kalau pake mobil, jalan ke rumah aku masih jauh banget, apalagi biasanya macet banget apalagi jam-jam segini. Nanti Mas nyampe sini lagi bisa-bisa udah tengah malem.”

“Sejauh itu?” Nares membelalak tak percaya, dibalas dengan anggukan Reksa.

“Kalau universitas kamu letaknya di kota, Sa?”

Reksa mengerutkan alisnya. “Iya, Mas. Kenapa?”

“Jauh, dong, dari rumah?”

“Iya, sih, tapi kalau pagi gak begitu kerasa karena belum macet-macet banget.”

“Dekat dari sini, nggak?”

“Hmm...” Reksa meletakkan sendoknya, tampak berpikir sebelum kembali mengangguk. “Lumayan. Jalan kaki setengah jam menit nyampe. Sebenernya, apartemen Mas letaknya di tengah kota, jadi mau ke mana juga jaraknya gak akan terlalu jauh.”

Nares sedikit menggigit bibirnya, “Kalau gitu, gimana kalau kamu tinggal di sini aja?'

“HAH?” Reksa langsung melotot, membuat nyali orang di hadapannya ciut. “Eh... itu, maksud saya... ya... kalau kamu mau, kebetulan kan di sini ada dua kamar juga.”

Reksa memandang Nares sangsi. “Yang bener, Mas? Mas mau dua empat per tujuh tinggal sama orang yang baru dikenal?”

“Saya sih, percaya sama kamu.” Ujar Nares. “Gak tahu kalau Reksa mau percaya sama saya atau belum.” Ia terdiam, memandang wajah di depannya. “Maksud saya, biar kita sama-sama lebih mudah. Satu tahun ini, saya inginnya benar-benar jadi sosok Paman yang bisa diandalkan buat kamu. Kalau tinggal serumah kan lebih mudah komunikasinya.”

Melihat Reksa belum tampak luluh, Nares menambahkan. “Benefitnya buat kamu, pertama lebih gampang ke mana-mana, terutama kampus. Bisa hemat waktu, biaya transportasi, dan energi. Kedua, alasan keamanan.” Nares bergidik ngeri mengingat berita penculikan yang ditontonnya beberapa hari lalu, “Tinggal sendiri kan rawan... Oh iya, kalau kamu sakit juga saya jadi bisa jagain.”

“Kok benefitnya banyakan yang buat aku, sih?”

“Karena itu juga termasuk ke benefit saya. Kemauan saya kan memastikan yang terbaik untuk kamu.”

Reksa menepuk jidatnya, heran. Bisa-bisanya Mas Nares se-totalitas ini cuma gara-gara surat wasiat...

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, emang sih, Reksa untung banyak kalau pindah ke sini!

“Aku sih dengan senang hati,” Ujarnya jujur, “Asal Mas Nares jangan ngerasa terbebani.”

“Gak akan, Reksa.” Nares membalas wajah khawatir Reksa dengan senyumnya. “Saya senang kalau kamu bersedia.”

“Ya udah, tapi aku juga gak mau pindah secara gratis gini. Berasa kayak apa aja...” Reksa bergidik. “Gimana kalau tugas rumah semuanya aku aja yang kerjain?”

“Kamu semester depan sudah mulai sibuk urus skripsi, kan?”

“Ya iya sih... tapi bisalah atur waktu. Sesibuk-sibuknya gak akan sesibuk Pak Dokter, hehe...” Reksa memamerkan giginya.

“Kalau ada waktu senggang lebih baik buat istirahat atau main sama teman, Reksa...”

“Jadi gak boleh?” Reksa memanyunkan bibirnya.

Untuk kesekian kalinya pada hari ini, Nares menciut. “Senyamannya kamu saja, deh. Berarti abis ini saya antar kamu ke rumah untuk mengemasi barang bawaan lalu kita ke sini lagi, ya? Oh iya, kamu masih ada uang jajan, belum?”

“Hah?” Reksa menatap Nares bingung sambil melahap sesendok nasi. “Ada, kenapa?”

“Kalau sudah habis jangan sungkan. Bilang sama saya. Saya masih bingung lebih baik kasih kamu uang per bulan atau per ming—eh? Reksa, gak papa?” Nares langsung panik melihat Reksa yang tersedak.

“Uhuk! Uhuk!” Reksa mendorong Nares yang hendak menepuk punggungnya. “Jangan deket-deket du—uhuk!”

Ia menatap pria dewasa yang melihatnya cemas itu dengan tatapan penuh dendam. Beri tempat tinggal, beri uang jajan... nanti aja bilangnya, napa? Jangan bikin kaget terus kalau lagi makan! Reksa kan butuh waktu untuk mencerna satu-satu, baik makanannya maupun perkataan Nares yang selalu penuh kejutan.

Setelah berhenti terbatuk-batuk, Reksa mengambil alih air minum yang disodorkan Nares kepadanya. “Mas, jangan ngomong lagi kalau aku lagi makan!” Ancamnya. “Ambil barang akunya juga besok aja, ya kali kita ngomong panjang lebar ujung-ujungnya tetep berangkat ke rumah aku dan kejebak macet berjam-jam.”

”... Oke, Reksa.” Jawa Nares patuh.

“Udah deh, sekarang fokus makan dulu masnya, itu makanan di piring keburu dingin.”

Nares baru ingin menjawab ketika handphone-nya berdering. Senyumnya langsung memudar kala melihat isi pop-up notification.

“Mas, kenapa?” Tanya Reksa yang menyadari perubahan raut wajah Nares, sementara itu yang itu yang ditanya hanya menggeleng kecil. “Kamu lanjut makan dulu aja, saya balas pesan dulu.”

“Oh, oke.”