Jangan Kecewain, Ya!

tw // homophobic behaviour

Dengan heran, Fanya memandangi Nares yang kini tengah menunduk sembari menyesap Americano yang dipesannya beberapa saat lalu. Perempuan itu sedikit memiringkan kepalanya, berusaha mengintip ekspresi dari pria yang duduk di hadapannya.

“Nares, kamu ngajak aku ke sini mau bicara apa?”

Orang yang ditanyanya itu menaruh cangkirnya di atas meja. Kepalanya ia angkat, netranya menatap lurus pada Fanya. “Saya mau meluruskan satu hal.”

“Tentang?”

“Tentang apa yang Ayah saya katakan kemarin malam.”

Mendengar itu, senyum Fanya perlahan memudar. “Maksud kamu... tentang perjodohan kita?”

Tentu saja ia paham dengan maksud Nares. Memorinya tentang perbincangan antara keluarganya dengan keluarga Nares masih tersimpan rapi, mengingat hal itu baru berlangsung kurang dari satu hari yang lalu. Ia pun ingat jelas bagaimana ayah dari orang di depannya ini menawarkan perjodohan untuk mereka, dan penawaran itu langsung disambut hangat oleh kedua orang tuanya.

“Apa yang perlu diluruskan?” Ia kembali bertanya.

Kedua maniknya menilik tangan Nares yang kini mencengkeram cangkir minumannya erat. Sementara pria yang diberi bertubi-tubi pertanyaan itu kini menggigit bibir dalamnya pelan, ragu akan kata-kata yang ingin diucapkannya.

“Kamu gak setuju?” Tak kunjung mendapat jawaban, Fanya mulai tak sabar. Selang beberapa detik, orang di depannya mengangguk kaku.

“Kenapa?”

”... Saya punya perasaan untuk orang lain.”

Jawaban itu tentu tak memuaskan bagi Fanya. “Yang benar aja, Res? Gara-gara itu?”

Nares kembali mengangguk.

Fanya meneguk Latte-nya dengan anggun sebelum kembali bersitatap dengan Nares. “Cuma karena itu? Kamu pasti bercanda.” Gadis itu mendengus. “Omong-omong aku juga gak suka kamu ya, jangan geer,” ujarnya sebelum ia mendekatkan wajah eloknya pada Nares yang masih diam di tempat. “Tapi coba kamu pikirin benefit yang bakal kita dapat dari perjodohan ini. Ini mutualisme, Res! Yakin, kamu nggak akan nyesel kalau nolak ini cuma gara-gara perasaan bodoh yang bisa hilang kapan aja?”

“Memangnya kamu nggak masalah, kalau terikat dengan saya yang gak punya perasaan sama kamu?” Nares tak mengerti.

Di luar dugaannya, Fanya terbahak mendengar pertanyaan itu. “Res, ini kan udah biasa. Orang tua kamu, orang tua aku semuanya hasil perjodohan dan gak suka satu sama lain, tapi buktinya mereka bisa oke-oke aja tuh sampai sekarang.” Perempuan itu kembali meneguk minumannya. “Kalau misalnya kamu pengen pacaran setelah kita menikah, aku juga gak akan ngelarang, kok. Santai aja.”

Dahi Nares berkerut mendengar penuturan calonnya ini. “Kamu gak keberatan, saya yang keberatan. Maaf. Saya gak bisa menjalankan hubungan ini.”

“Memang orang yang kamu suka kayak gimana, sih?” Fanya tak paham. “Lebih cantik dari aku? Lebih kaya? Lebih bawa banyak keuntungan buat kamu? Perempuan mana? Coba, kalau kamu punya jawaban yang bisa bikin aku puas, aku rela lepasin perjodohan ini.”

”... Dia bukan perempuan.”

Fanya merasa rahangnya jatuh. Perempuan itu buru-buru memperbaiki raut wajahnya setelah menyadari ekspresinya yang memalukan. “Apa-Bentar, Ini gak seperti yang aku pikir, kan?” Ia menatap pria di depannya beberapa detik, tapi yang ditatap hanya balik memandangnya tanpa mengucap sepatah kata. “Kamu bercanda? Gak lucu, Nareswara.”

Nares menggeleng. “Orang yang saya suka tidak lebih cantik dari kamu, dia tampan dan manis. Dia juga belum punya penghasilan atau keuntungan yang sifatnya material untuk saya, di sisi lain banyak hal baik yang saya rasakan hanya dari dirinya... dan dia seorang laki-laki.”

“Seorang Nareswara? Suka laki-laki? Wah... orang tua kamu tahu?” Fanya bertanya. Tanpa menunggu jawaban Nares, gadis itu menjawab dirinya sendiri lebih dulu. “Gak mungkin lah, kalau tau pasti nasib kamu udah kayak... duh, siapa sih namanya? Yang diusir keluarganya?” Perempuan itu tampak berpikir keras. “... Mahesa? Dengar-dengar, dia juga suka laki-laki.”

Nares mengeraskan rahangnya mendengar itu. “Iya, keluarga saya belum tahu.”

Fanya mengetukkan jari-jari lentiknya di meja, matanya menatap Nares dengan jahil. “Hmm... ya udah deh, perjodohannya batalin aja. Nanti biar aku yang bilang ke Papa.” Perempuan itu mendengus. “Enak aja kamu yang bilang, seolah-olah aku yang ada kekurangan.”

Beban Nares seolah lepas begitu mendengar jawaban dari Fanya. “Terima kasih.”

“Harusnya kamu khawatir. Kalau pun gak ada aku, kamu selamanya tetap akan terkurung. Kalian tetap gak akan bisa bersama.”

”... Saya tahu.”

“Terus kenapa masih bersikeras berjuang untuk sesuatu yang pasti berujung sia-sia?”

Tanpa menunggu jawaban Nares, Fanya kembali membuka mulutnya. “Gak takut orang yang kamu suka itu malah menderita? Kamu tahu sendiri orang tua kita seperti apa.”

Nares tersenyum lirih. “Saya paham. Saya gak berniat untuk mengajak dia bersama. Saya cuma gak sanggup menikah dengan kamu di saat hati saya masih ada dengan dia.” Nares menatap lekat Fanya. “Itu gak adil, Fanya. Buat kamu, buat saya, buat dia.”

“Gak paham.” Fanya menggeleng-geleng, “Ya udahlah, gak peduli juga. Lagipula aku iya-in permintaan kamu cuma karena penasaran aja.” Perempuan itu menopang dagunya. “Pengen lihat apa yang akan terjadi kedepannya. Aku bakal tertawa paling keras kalau kamu bertingkah bodoh dengan mengaku di depan keluarga dan berakhir kehilangan segalanya. Tapi aku juga akan tertawa misal kamu ujung-ujungnya tetap menikah sama perempuan lain.” Ia mengulas senyum manisnya. “Yang pasti, kamu akan menyesal dengan keputusan kamu hari ini.”

Gadis itu mengambil tas yang ia taruh di kursi sebelah dan berdiri. “Udah, kan? Itu doang?”

Nares mengangguk. Ia ikut beranjak dari tempatnya duduk. “Terima kasih. Untuk perbincangan hari ini, boleh saya minta kamu untuk jangan bilang pada siapa-siapa?”

“Siap, dokter.”

Nares tersenyum. “Kita tetap rekan kerja, kan? Di luar semua kekacauan ini... kamu teman yang baik.”

“Tenang aja, iya kok. Aku gak akan minta Papiku berhentiin pekerjaan kamu.” Fanya tertawa. Gadis itu menggerakan kakinya beberapa langkah sebelum ia menoleh, memandang Nares.

Nares yang masih berdiri di tempatnya menatap Fanya heran. “Kenapa? Ada yang tertinggal?”

Fanya menggeleng. “Good luck! Aku tunggu dramanya! Jangan ngecewain, ya!”