Liburan

Tak terasa, sudah hampir dua bulan lamanya Reksa tinggal bersama Nares, dari awal liburan hingga kini liburan panjangnya akan berakhir dan Reksa akan disibukkan kembali dengan dunia perkuliahan. Dua bulan ini juga dimanfaatkan Nares untuk lebih dekat dengan Reksa, meskipun nyatanya dari awal pun mereka tak pernah merasa canggung satu sama lain.

“Mas, minggu depan aku udah mulai kuliah lagi.” Reksa menusuk lengan Nares, memulai pembicaraan.

Saat ini, mereka tengah duduk berdampingan di sofa sambil melakukan kegiatannya masing-masing. Nares sibuk membaca jurnal di laptopnya, sementara Reksa dari tadi asik memainkan handphone-nya.

Refreshing setelah berpusing ria memikirkan judul untuk skripsi, kata Reksa pada Nares yang mengernyit melihatnya terus bermain handphone sambil selonjoran.

Tanpa mengalihkan pandangannya laptop, Nares menjawab sekenanya. “Oh, iya...”

“Ih, Mas Nares ngeselin!” Reksa sontak mengerucutkan bibirnya. “Ada apaan sih, di laptop? Lebih menarik daripada ngobrol sama aku?!”

“Iya... AW, BERCANDA!” Nares refleks berteriak ketika lengannya dicubit oleh yang lebih muda. “BERCANDA, REKSA! ASTAGA!”

“Makanya, dengerin iih!”

“Iya-iya, apa?” Nares mengusap lengannya sambil menatap Reksa kesal. “Kamu ini gak ada hormat-hormatnya sama yang lebih tua!”

“Mas juga nggak menghargai yang lebih muda!”

Nares menangkup wajah Reksa yang masih cemberut dengan satu tangan. “Iya sayang... maaf, apa tadi? Kamu mau bilang apa?” Ia sengaja menggencet kedua pipi laki-laki di depannya sehingga ekspresi Reksa mirip Mrs. Puff si guru kesayangan Spongebob.

“Mussss! Lupwusin gwak!” (Mas! Lepasin gak!) Reksa melotot garang. Sayangnya, hal ini sekarang sudah tidak mempan untuk mengancam Nares. Toh semakin melotot bukannya semakin seram, malah semakin lucu!

Merasa sudah cukup bermain-main, Nares melepaskan tangannya, yang sontak langsung digigit oleh Reksa.

“Ih, udah ah! Reksa!” Nares spontan mendorong kepala Reksa dengan tangan lainnya. Tak keras, tapi cukup membuat Reksa berhenti dan tersenyum puas.

“Udah impas!” Ujarnya sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.

Nares mengomel, “Impas dari mananya! Saya nggak ngapa-ngapain kamu, lah kamunya gigit-gigit cubit-cubit. Mau saya laporin ke polisi? Kenapa saya jadi korban KDRT begini, coba?!” Ia menunjukkan bekas gigitan Reksa. “Mana ada air liurnya, pula!”

Reksa menjawab dengan cengengesan. Namun, melihat wajah Nares yang masih cemberut senyum cerianya perlahan memudar, berganti dengan wajah gelisah. “Mas... sakit, ya? Maaf...”

“Iya, lah!” Nares masih mengerutkan alisnya, “Ini juga bekas cubitan sepertinya akan jadi biru besok!”

Reksa terdiam, menggigit bibirnya. “Mas Nares jangan marah...”

Sadar akan perubahan nada suara Reksa, Nares langsung terpaku di tempat.

“Eh, enggak, Reksa, gak sakit.” Ia langsung merubah raut wajahnya menjadi lebih santai, tertawa dan memeluk Reksa yang masih menatapnya takut. “Cuma dicubit sama digigit kamu mah sama rasanya seperti digigit semut!” Ia mengelus rambut Reksa. “Saya tadi melebih-lebihkan, bukan beneran sakit.”

Merasa Reksa di dalam dekapannya masih terdiam, ia menepuk punggung yang lebih muda pelan, “Kamu kenapa, Reksa?” Tanyanya. Nares dapat merasakan Reksa menggeleng-gelengkan kepala.

Nares menghela napas pelan. Ia lupa kalau dibalik sosok Reksa yang selalu tampak ceria dan bahagia, sebenarnya anak ini cuma seorang penakut yang terlalu sensitif.

“Kamu tadi mau bicara tentang apa?” Ia melepaskan pelukannya, menatap Reksa yang masih menunduk. Reksa kembali menjawab dengan gelengan.

Aduh, Nares harus gimana?

“Kalo enggak, saya bales gigit kamu deh, supaya kita impas. Gimana?”

Reksa sontak mengangkat kepalanya, menatap Nares dengan mata bulat yang sedikit berair. “Hah?”

“Siniin, tangan kamu.” Ujar Nares, dengan wajah berlagak tegas dan alis bertaut, tapi berhasil membuat Reksa tersenyum kecil sambil mengulurkan tangannya. Sedetik kemudian, ekspresinya kembali berubah karena Nares ternyata tidak main-main ketika bilang akan mencubitnya.

“MAS! SAKIT!”


“Jadi, kamu mau bilang apa tadi?” Tanya Nares yang kini telah memegang laptopnya kembali. Reksa mendengus, sia-sia pertempurannya tadi kalau ujung-ujungnya ia tetap kalah sama benda persegi panjang bermerek buah apel itu.

“Aku minggu depan udah kuliah lagi, Mas Nares kapan cari kerja? Masih pengangguran, ya?” Tanyanya ceplas-ceplos. Nares langsung melotot dibuatnya.

Di satu sisi, senang karena tampaknya Reksa sudah kembali senang. Di sisi lain, agak terheran-heran dengan mulut tak terfilter Reksa. “ENAK SAJA!”

“Abisnya dua bulan ini Mas Nares nganggur di rumah, tuh.” Celetuk Reksa tanpa dosa.

“Saya lewat jalur orang dalam, jadi punya banyak privilege.” Ujar Nares. Reksa berdecak, mengira pria ini hanya main-main, padahal memang begitu kenyataannya.

“Beneran, kok, nanti waktu kamu sudah mulai kuliah lagi saya juga akan mulai kerja.”

Reksa hanya bisa menggeleng-geleng. “Kalau gitu, liburan kan tinggal seminggu lagi. Main, yuk?”

“Main? Main monopoli?”

“Iih bukan, maksud aku liburan! Refreshing! Main keluar, jalan-jalan.”

Nares menurunkan laptop dari pangkuannya, memfokuskan kedua maniknya pada Reksa. “Emangnya mau main ke mana, Sa?”

Sadar Nares mulai tertarik, mata Reksa langsung berbinar. “Ke Lembang! Kebetulan temen aku, Eli, papanya punya villa di Lembang. Terus aku sama Chandra diajakin gitu.”

“Lah, kalau begitu saya mengganggu kalian, dong?”

Reksa menggeleng heboh. “Enggak! Justru sengaja, Eli bilang makin rame makin bagus. Mas juga bisa ajakkin temen-temen Mas, siapa gitu, biar ada temennya juga.”

Nares tampak berpikir. “Tapi saya gak punya teman di Band... eh, ada, sih...” Ujarnya ragu. Mahesa kemarin sempat bilang mau pindah ke Bandung, tapi setelahnya mereka tidak pernah membahas ini lagi, sampai-sampai Nares bingung sendiri apa temannya yang satu ini hanya bercanda saja. “Saya tanya teman saya dulu, deh, buat memastikan apa dia bisa ikut. Boleh?”

Reksa mengangguk. “Mas sendiri gimana?”

“Kamu mau saya ikut?” Tanya balik Nares, membuat Reksa gelagapan sesaat. Tapi akhirnya ia kembali menganggukan kepala, “Iya! Mau Mas Nares ikut!”

“Ya sudah, kalau begitu saya ikut.” Nares tersenyum sambil mengacak rambut Reksa. “Berapa hari?”

“Tiga hari dua malam, berangkat lusa, hehe.”

“Udah direncanakan matang-matang, belum? Bagaimana perginya, apa saja jadwalnya, dan barang apa saja yang harus dibawa?”

“Eum, belum! Lagian ini cuma liburan santai aja, Mas. Paling di villa juga cuma rebahan...”

“Yah, kalau gitu, sih, saya lebih baik di rumah aja.”

“Iya-iya, ini hamba sekarang juga rencanakan jadwalnya dengan para hamba lain, baginda.” Reksa cemberut. “Yang penting, Mas Nares fix ikut, ya! Gak boleh berubah pikiran!”

“Iya, sayang...”

“JANGAN MANGGIL SAYANG SEMBARANGAN!”

“Ih, kan benar, kamu kesayangannya Jevan.”

”...”