Liburan

Jadi, setelah perdebatan singkat di grup, Eli memutuskan untuk berangkat sehari lebih awal bersama anak dari teman ayahnya, sementara Chandra nebeng bersama Reksa di mobilnya Nares, begitu pun dengan Mahesa. Alasan pribadinya, untuk menghemat bahan bakar. Alasan kerennya, untuk mengurangi polusi.

Mereka sudah berjanji akan berkumpul di minimarket seberang apartemen (karena selain penghuni apartemen tidak dapat masuk ke dalam) lalu berangkat pukul delapan pagi untuk menghindari macet. Namun, bukan Chandra namanya kalau bisa datang tepat waktu. Muka Reksa sudah masam bercampur garang begitu Chandra menunjukkan dirinya di pukul delapan lima belas.

Sorry, gue ditahan sama Ibu Negara dulu, tadi! Gak bisa kabur!” Itu adalah hal pertama yang Chandra ucapkan begitu melihat Reksa tengah melahap roti sambil menatapnya tajam. “SUMPAH, SA!”

“Gue kan udah bilang jangan sampe telat!”

“Ssst, jangan ribut-ribut. Kalian gak malu, dilihatin pembeli lain?”

Keduanya spontan menoleh ke pria kasat mata yang ternyata duduk di sebelah Reksa sedari tadi. Siapa lagi kalau bukan Nares?

“Eh, selamat pagi Mas!” Chandra langsung membungkuk sembilan puluh derajat.

“Santai saja, Chandra, ya?” Nares mengulurkan tangannya yang kemudian langsung disambut oleh pemuda yang baru datang itu, “Saya Nares. Panggil Kakak atau nama langsung juga gak apa-apa.”

“Oh, iya, siap, Kak! Maaf telat, hehe. Tadi saya disuruh jemur baju dulu sama si Mama.”

“Gak apa, teman saya juga ngaret, nih.” Nares menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. “Apa kita tinggalkan saja, ya?”

Tepat saat itu, pintu minimarket kembali terbuka, menampilkan Mahesa yang datang dengan napas ngos-ngosan. “Sorry guys, tadi gue susah banget dapet Gojek-nya... eh, LAH, CHANDRA?!” Mahesa melongo, jari telunjuknya refleks menunjuk pemuda yang sama terkejut dengan dirinya. “Ngapain di sini?”

“Lah, Kak Mahesa?! Aku kali yang harus nanya.” Chandra melotot. “Iya tau latihan gue masih jelek banget nilainya, tapi gak harus ngikutin sampe ke sini juga, kali! Ya Gusti, ieu téh abdi hayang liburan, lain diajar Inggris.”

(Ya Tuhan, ini tuh aku pengen liburan, bukan belajar Inggris).

“Siapa juga yang ngikutin lo? Geer banget, orang gue mah diajak main sama Nares.” Ia menepuk dada sobatnya yang malah asik menghabiskan sarapan tanpa peduli dengan keributan yang sedang terjadi.

“Bentar-bentar, apaan sih?” Reksa menepuk bahu Chandra bingung. “Kalian saling kenal?”

“IYA!” Chandra mengangguk heboh. “Dia guru Inggris gue, anjir!”

“Sejak kapan lo belajar Inggris?”

Kedua pipi Chandra sontak memerah. “Baru sebulanan. Kan Inggris gue ancur, tapi harus lulus TOEFL biar bisa wisuda. Ya udah lah gue cari guru, terus kebetulan nemu dia di Twitter.” Ujarnya, menunjuk Mahesa.

”... Oalah, gue baru inget. Pantes selama ini muka lo gak asing.” Mahesa menepuk dahinya. “Gue pernah lihat lo di depan TSM waktu jemput Reksa dulu.”

Chandra mengerutkan alisnya. “Gue gak inget apa-apa, ih.”

“Ya sudah, berarti bagus dong kalau sudah kenal. Gak usah canggung-canggung lagi.” Nares akhirnya bersuara. “Omong-omong, kalian sudah makan? Kalau sudah kita langsung berangkat saja, sebelum makin siang.”


Nyatanya, bukan hanya itu kejutan di hari ini.

Begitu mereka sampai di vila, Nares memutuskan untuk memakirkan mobilnya sementara ketiga orang lainnya keluar lebih dulu sambil membawa barang mereka masing-masing. Mereka disambut oleh dua pemuda yang tampaknya memang sudah menunggu entah sejak kapan. Eli pun langsung menghambur ke arah dua temannya.

“Akhirnya nyampe juga!” Gerutunya.

“Iya nih, agak padet tadi.” Jawab Reksa.

Eli lalu mengalihkan pandangannya pada Mahesa. “Halo, Kak. Salam kenal! Aku Eli.”

Pria yang lebih tua itu langsung memasang senyum ramah, “Halo, gue Mahesa. Temennya Nares. Pake lo-gue juga gak apa, gak usah kaku. Kita pernah ketemu juga, kan? Di TSM.”

“Ah, iya-iya, inget. Omong-omong ini Jinar, sembilan belas tahun.” Eli menarik lengan lelaki yang ada di sebelahnya. “Temennya bokap gue. Hehe.”

Ketiga orang itu tengah saling berkenalan ketika Nares datang menghampiri. Jinar membelalakan matanya, “Lah... Kak Nares?”

Reksa memutar bola matanya. “Jangan bilang kalau kalian juga saling kenal...”

Nares meneguk ludah. “Jinar sepupu saya.”

Kebetulan macam apa ini...


“Kamar-kamarnya di lantai atas, lewat tangga sini.” Eli mendadak menjadi tour guide untuk keempat orang yang baru datang. “Di lantai dua paling enak sih, pas ada enam kamar. Satu orang satu kamar, tiap dua kamar ada teras yang terhubung. Tapi terserah kalian mau pilih kamar yang mana, misal gak mau rame-rame di lantai atasnya juga masih ada, kok. Gue sama Jinar udah ambil dua yang paling deket tangga, hehe.”

“Gue di paling ujung aja, deh.” Ucap Reksa. “Masih kosong, kan?” Tanyanya, dijawab dengan anggukan oleh Eli.

“Saya di sebelah kamar Reksa.” Nares langsung membuka suara sebelum diserobot Chandra.

”... Ya udah, gue sisanya aja.” Ucap Chandra merengut. Padahal kan enak, kalau bisa sebelahan sama Eli atau Reksa. Tau-taunya malah kehalang sama tiga cowok lain.

“Gue juga.” Ujar Mahesa. “Tidur di mana juga sama aja.”

“Ya udah, mau masukkin barang-barang dulu? Kalau udah turun aja ke bawah buat makan siang. Gue udah pesen makanan duluan tadi, abisnya kalian gak nyampe-nyampe.”