“M-maaf, ini... Kak Fanya, kan?” Tanya Reksa ragu.

Perempuan bergaun merah itu mendongakkan kepalanya dari buku menu. Reksa spontan meneguk liurnya begitu melihat wajah manis yang familiar. Sang pembeli sedikit mengerutkan keningnya, tapi itu malah membuatnya terlihat lebih anggun dan berwibawa. “Iya. Ini... siapa, ya?”

Reksa meremat jari-jarinya karena gugup. “Aku... Reksa. Kita pernah bertemu di apartemennya Mas Nares. Eh, benar, bukan? Kakak pernah mampir ke rumah Mas Nares dulu.”

Mendengar itu, Fanya menarik ujung bibirnya tanpa sadar. “Oh? Keponakannya Nares, ya? Ingat, dong. Kamu satu-satunya cowok yang menolak berjabat tangan sama aku.”

“Eh?” Kedua pipi Reksa sontak bersemu merah mendengarnya. “Maaf, waktu itu a-aku gak sopan.”

Fanya mengalihkan pandangannya dari Reksa kepada laki-laki yang datang bersamanya. “Sayang, bisa nggak kamu tunggu di mobil dulu? Aku ada perlu sama orang ini.”

Begitu laki-laki itu menghilang dari pandangan mereka berdua, Fanya kembali memusatkan perhatiannya pada Reksa. “Duduk sini.”

Reksa menggeleng. “Aku masih kerja, Kak.”

“Gak bisa ngobrol sebentar doang?” Perempuan berambut panjang itu memajukan bibirnya, membuat muka Reksa semakin memerah.

Cantik banget, batinnya.

“S-sebentar, Kak.” Reksa berlari kecil ke arah Juan, meminta persetujuan untuk beristirahat karena Lucas sedang tidak ada di sana. Begitu mendapat anggukan dari Juan, Reksa kembali berlari dan mengambil tempat duduk di depan Fanya.

“Kamu kelihatannya gak suka sama aku, kenapa hari ini tiba-tiba nyapa duluan? Kirain, kalau pun kita ketemu kamu bakal pura-pura gak lihat.”

Reksa menggaruk tengkuknya karena malu. “Enggak kok, Kak.”

Bohong.

Sejak pertama kali melihat perempuan di depannya, ia sudah tidak suka. Saking tidak sukanya, Reksa ingin membuang sayur yang dibelikan Fanya untuk Nares ke tong sampah depan apartemen.

Tapi, itu kan dulu.

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa kalau bukan karena Nares, Reksa pasti akan kabur ke belakang cafe untuk menghindari perempuan itu.

Bukan apa-apa, ia merasa canggung. Tak enak karena pernah berlaku tak sopan pada Fanya, tak nyaman karena perempuan di depannya ini sudah berganti status dari orang asing menjadi pacar Nares.

Fanya hanya tersenyum mendengarnya. “Kamu kayaknya pengen bicara sesuatu sama aku, ada apa?”

Reksa menggigit bibir bawahnya. “Anu, Kak, maaf, tapi yang tadi datang sama Kakak itu... teman Kakak, ya?”

Perempuan yang ditanyainya itu menggeleng. “Pacar.”

“E-eh?” Kedua mata Reksa membelalak karena kaget. “Kak Fanya udah putus sama Mas Nares?”

Sekarang, giliran Fanya yang bingung. “Hah? Apa?”

“Kak Fanya bukannya pacaran sama Mas Nares sejak... beberapa bulan yang lalu?”

“Siapa yang bilang begitu?”

“Mas Na-eh, bukan.” Reksa menggeleng. Nares memang pernah hampir memberitahunya, tapi pria itu berhenti sebelum kata-kata itu keluar dari bibirnya. Mungkin karena takut membuatnya sedih. “Aku pernah liat Kak Fanya dan Mas Nares kencan berdua, di cafe seberang.” Ujarnya. “Eh, tapi, gak sengaja, Kak.” Tambahnya, takut dikira penguntit.

Fanya tergelak. “Ah, itu.” Ia menyelidik pemuda di depannya. “Omong-omong, kamu kerja part time di sini?”

Reksa mengangguk.

“Buat apa? Keluarga kalian kan gak kekurangan.”

“Eh?” Reksa hening sejenak sebelum mengerti yang dimaksud oleh Fanya. “Ah, itu, aku bukan keluarganya Mas Nares.”

“Lah, terakhir kali aku ke rumahnya Nares, dia bilang kamu keponakannya.”

“Sebenarnya,” Reksa menjilat bibirnya karena gugup, “Aku keponakan temannya Mas Nares, dan beberapa saat lalu dititipin di rumahnya Mas Nares.”

“Oh...?” Fanya melebarkan senyumnya. Tubuhnya ia bungkukkan ke depan untuk mendekati Reksa. “Wah, jangan-jangan, kamu ya, orangnya?”

“A-apa?”

“Orang yang disukai Nares.”

Blank.

Kali ini, Reksa benar-benar nge-blank. “Hah?”

“Penasaran nggak, apa yang Mas Nares-mu itu bilang ke aku di cafe seberang?” Fanya tersenyum jahil sambil menunjuk cafe yang ia maksud lewat kaca jendela yang tembus pandang.

Reksa tidak menjawab karena bingung, tapi Fanya melanjutkan kata-katanya tanpa disuruh. “Dia nolak perjodohannya sama aku. Karena suka sama laki-laki.”

Reksa rasa, saat itu juga tubuhnya langsung kaku.

Perjodohan?

Suka laki-laki?

Bentar, dia tidak salah dengar, bukan?

Apa ini?

Informasi baru tersebut terngiang-ngiang di benaknya. Banyak yang ingin Reksa tanyakan pada orang di hadapannya, tapi tak ada yang bisa keluar dari mulutnya.

Tak peduli dengan reaksi Reksa yang jelas-jelas syok, Fanya melanjutkan. “Iya. Katanya dia udah ada perasaan sama orang lain, makanya gak mau dijodohin. Aneh, kan? Tadinya aku gak terima, cuma dia bilang orang yang dia suka saat itu laki-laki. Makanya aku langsung iyain aja. Ngapain juga nyangkut sama orang yang jelas-jelas preferensinya bukan cewek kayak aku, itu mah sampai kapan pun gak akan kegapai.” Omelnya di depan Reksa yang masih terdiam. “Sebalnya, aku tunggu-tunggu sampai sekarang, masih belum ada kabar tentang dia atau cowok yang dia suka. Aku kira sepulang dari cafe waktu itu dia bakal langsung ngacir cari cowoknya, ngajak pacaran, kek, atau minimal confess. Kalau enggak, pengorbanan aku sia-sia, dong! Padahal aku pengen lihat dramanya mereka. Pasti seru, liat circle orang tua kami meledak gara-gara hal ini.”

Reksa hanya bisa menatap kosong wajah cantik yang masih asik bercerita padanya. Otaknya seolah memberikan sinyal merah karena kelabakan dalam mencerna semua hal ini.

“Bukan kamu orangnya?” Fanya mengernyitkan dahi. “Kayaknya kamu gak tau apa-apa, berarti bukan, ya? Aneh, gak kepikir lagi selera Nares kayak gimana. Waktu di rumahnya aku lihat dia lembut banget sama kamu, kirain kamu.”

“A-ah?” Reksa menggeleng. “Bu-bukan.”

Fanya menopang wajah manisnya dengan dagu. “Hmm, kalau begitu, menurut kamu siapa?” Tanyanya penasaran. Ia menikmati sekali raut muka Reksa yang berubah setiap detik. Kaget, panik, gelisah, bingung.

Reksa menggeleng tanpa suara.

Dia tidak tahu.

“Padahal di rumah sakit juga dia gak deket sama siapa-siapa.” Fanya menambah. “Kamu penasaran nggak, Sa, sama orangnya?”

Reksa ingin menjawab, tapi ia rasa lidahnya kaku.

“Aku jujur penasaran banget, pengen tahu seleranya Nares kayak gimana.”

“Kak, Kakak bicara ini ke aku, gak apa-apa?” Tanya Reksa akhirnya. Di balik semua kekagetannya, ia tak nyaman dengan bagaimana Fanya membeberkan rahasia Nares padanya. “Ini privasi Mas Nares...”

“Loh, tadinya kan aku kira kamu juga tau. Makanya ngajak ngobrol.” Fanya memasang raut tak bersalah pada mukanya. “Kalau pun nggak tahu, gak apa-apa, kan, aku kasih tau? Kamu gak akan bocorin ke siapa-siapa juga, kan? Lagian Nares percaya lah, sama kamu. Kalian kan dekat. Buat apa dia nutup-nutupin hal kayak gini sama kamu.” Fanya tertawa. “Yah, kecuali kalau kamu ternyata orang yang dia suka itu.”

...

“Bercanda, hehe. Mana mungkin, kan?” Lanjut Fanya. Ia menahan tawa kala melihat ekspresi orang yang digodanya itu. “Udah sih, aku cuma mau bilang itu aja. Intinya aku sama dia nggak pacaran. Waktu itu juga bukannya kencan. Dia ngajak keluar buat minta aku batalin perjodohan kami.” Perempuan berambut panjang itu menepuk pundak Reksa, “Jangan salah paham.” Tambahnya sebelum kembali tertawa. “Eh, by the way, aku mau pesan latte aja, ya. Udah gih, gak ganggu kamu kerja lebih lama lagi.”

“I-iya...” Reksa memaksakan dirinya untuk berdiri dan menyeret kakinya ke arah Juan. “K-kak Juan, maaf... aku boleh izin istirahat dulu di belakang?”

“Eh, kenapa?” Juan bingung. “Kamu kenapa kelihatannya lemas banget? Mukamu pucat, Sa.”

Reksa menggeleng.

Juan menatapnya dengan khawatir. “Kalau enggak enak badan, kamu pulang duluan aja, deh. Lagian cafe juga gak lagi rame, tinggal nunggu setengah jam terus tutup. Aku sendiri bisa, kok.”

“T-tapi...”

“Biar aku yang bilang ke Lucas. Udah sana.” Juan berinisiatif melepas celemek yang terlilit di tubuh Reksa.

“Pelanggan yang tadi pesan latte... Aku mau buat du-”

“Sama aku aja.” Potong Juan. “Sana ganti baju, pulang, istirahat.”

”... Makasih, Kak.”

Masih dengan linglung, Reksa berjalan ke ruang khusus para pelayan. Pemuda itu membuka lokernya dan mencari-cari handphone miliknya dengan panik.

Dia masih bingung. Begitu banyak adegan berputar di kepalanya. Begitu banyak kejadian yang dahulu tak ia mengerti, tapi dengan semua perkataan Fanya barusan, rasanya dia mulai paham.

Tentang tatapan Nares padanya yang tak pernah ia pahami sejak dulu.

Tentang semua perlakuan Nares yang selalu kontras dengan penolakan yang diucapkan pria itu.

Tentang Nares yang bersikeras datang ke rumahnya sore itu.

Tentang hal yang ingin Nares katakan padanya.

Jujur saja, Reksa tak mau berharap. Ia lelah. Bagaimana jika ternyata ini semua hanya bayang-bayangnya saja? Semua skenario yang ada di otaknya hanya cocoklogi yang ia ciptakan karena menginginkan Nares.

Kalau pun Fanya benar, bagaimana jika ternyata Nares menyukai orang lain? Orang yang lebih pantas, lebih dewasa, lebih segalanya dari dirinya.

Disuruh optimis? Reksa sudah tak mampu.

Tapi tak dapat dipungkiri, saat ini jantungnya berdetak begitu kencang, tak mau diajak berkompromi untuk diam.

Boleh, ya? Sekali lagi, Reksa ingin keras kepala.

Janji, ini terakhir kalinya.


Fanya tersenyum melihat sosok yang keluar dari cafe dengan terburu-buru. Perempuan itu menyesap latte-nya yang masih hangat. “Nareswara, lo hutang banyak sama gue.”