Malam

by: archeselene

Entah apa alasannya, Reksa tak dapat tidur malam ini, padahal tadi ia sudah minum sedikit alkohol. Kedua matanya terus menolak untuk terpejam. Akhirnya, sedari tadi ia hanya menatap langit-langit kamar dengan pikiran kosong.

Kriettt...

“Hhhh...”

Mendengar suara dari arah balkon, rasa kantuk Reksa yang tadinya memang sudah sangat minim langsung menghilang seutuhnya. Apalagi suara itu terdengar jelas di malam yang sunyi.

Ia melirik layar handphone-nya.

Masih pukul satu dini hari.

Bukan dia yang sedang berada di balkon, maka pelakunya pasti penghuni kamar sebelah yang berbagi balkon dengannya. Yep, siapa lagi kalau bukan Arsa Nareswara?

Karena tidak mungkin bunyi itu dihasilkan oleh makhluk halus, kan?

Duh, tolong jangan bilang mungkin, jangan menakut-nakuti Reksa yang kadang percaya takhayul.

Reksa bangun dari kasurnya, mengeratkan jaket tebal yang dikenakannya karena udara di Lembang yang semakin dingin seiring dengan bergantinya hari. Ia lalu membuka pintu geser yang menuju ke balkon, netranya lantas bertubrukan dengan milik pria yang sudah berdiri di sana sejak tadi.

“Mas Nares, belum ti...dur?” Sapanya, terpotong karena sedikit terkejut melihat orang di depannya hanya mengenakan kaos tipis dan... merokok.

Ya, Reksa terkejut.

Melihat kehadiran Reksa, Nares membelalak dan spontan mematikan rokoknya.

“Mas Nares ngerokok?”

Tindakan yang percuma, karena yang lebih muda sudah melihatnya lebih dulu.

“Maaf.”

“Kenapa minta maaf sama aku?” Reksa mengerjapkan matanya, bingung.

Nares menggaruk tengkuknya sambil mengamati gelagat pria yang masih menatapnya lekat, “Saya takut kamu gak suka.”

“Aku suka gak suka kan gak ada kaitannya sama kebiasaan Mas Nares. Aku nanya karena kaget aja, soalnya gak pernah lihat Mas Nares merokok di rumah.” Reksa berjalan mendekati Nares yang berdiri di ujung balkon. “Tapi emang gak begitu suka baunya, sih.”

“Saya jarang merokok, kok. Kalau lagi butuh saja.” Nares berucap serius, ingin meyakinkan orang yang kini berdiri di sampingnya.

“Kalau lagi banyak pikiran?”

Nares mengangguk. Ia kini melepas pandangannya dari Reksa, menatap lurus ke depan, ke langit malam yang gelap dan sunyi.

“Mas Nares lagi ada masalah?” Tanya Reksa lagi. “Eh, kalau gak mau jawab, gak apa-apa. Aku cuma khawatir.”

“Terima kasih sudah khawatir.”

Reksa terbahak mendengarnya. “Sama-sama. Jadi... mau cerita?”

Yang ditanya menyunggingkan senyum kecil. “Tapi cuma masalah kecil, nanti kamu malah ketawain saya.”

“Kalau masalah kecil kenapa Mas sampe galau dini hari begini?”

“Ya... mungkin sayanya yang lemah.”

“Mana ada, kalau Mas Nares lemah aku apaan, dong?”

Kali ini, Nares yang terkekeh. Ia mengusap lembut rambut laki-laki di sampingnya, “Reksa, boleh gak, kalau saya ceritanya nanti, tapi sekarang inginnya dipeluk kamu saja?”

Deg.

“Maaf, banyak mau.” Lanjut Nares, masih dengan senyum kecil menghiasi wajahnya. “Kalau gak boleh gak apa-apa.”

Reksa kini sangat bersyukur dengan fakta bahwa tak ada cahaya yang menerangi balkon ini. Kalau ada, Nares pasti akan memergoki wajahnya yang bersemu merah.

Padahal ia sendiri tidak tahu apa penyebab jantungnya tiba-tiba berdetak secepat ini.

“Boleh.” Ucapnya. Ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. “Sini.”

Nares segera maju dan masuk ke dalam pelukan itu, menjatuhkan kepalanya di bahu kiri pria yang lebih kecil.

Di jarak sedekat ini, Reksa baru sadar akan bau alkohol yang menguar dari tubuh pria dalam dekapannya. Di jarak sedekat ini pula, Reksa was-was Nares akan mendengar suara jantungnya yang terlalu berisik.

“Reksa...”

“Hm?”

“Kangen Jevan.”

Reksa sedikit tersentak. Selama ini, hanya ia yang sering mengeluh rindu dengan pamannya pada Nares, tak pernah sebaliknya. Rupanya, pria ini juga bisa rindu, ya? Bedanya, ia dapat menangis sepuasnya di depan Nares, sementara Nares memendam semuanya dalam hati, hingga malam ini.

”... Aku juga.” Ia menepuk pelan punggung Nares, seolah sedang menenangkan bayi kecil yang butuh perhatian.

“Cape.” Keluh Nares lagi. Matanya terpejam, dekapannya pada Reksa semakin kuat. “Pengen marah.”

“Marah sama siapa?” Reksa mengerutkan dahinya. Masa, sama Om Jevan? Apa sama dirinya?

“Sama dunia. Kok banyak banget, sih, maunya, sama saya? Kenapa dia gak pernah puas, ya?”

Oh, ternyata dunia. Reksa setuju untuk yang ini. Kenapa dunia gak pernah puas, ya?

“Nanti aku bantu marahin.” Reksa tertawa kecil.

“Reksa...”

“Iyaa?” Reksa sedikit merinding disuguhkan suara rendah Nares sedari tadi. “Apa lagi, bayi besar?”

“Empuk.”

“Hm?”

“Kamu empuk dan hangat.”

Kedua mata Reksa spontan membentuk bulan sabit. Ya ampun, lucu sekali masnya ini.

“Ya iyalah, kan aku pake jaket tebel makanya empuk, hangat. Siapa suruh Mas Nares cuma keluar pake kaos tipis? Awas aja, kalau masuk angin gak ada yang urus.”

“Ada Reksa.” Nares mendusel-duselkan wajahnya pada leher Reksa, membuat laki-laki itu berjengit karena geli. “Kan sekarang saya udah punya Reksa.”

Aduh, Nares, kata-katanya tolong dikontrol, dong. Reksa jadi semakin jatuh.

Reksa mendorong pelan pria yang masih memeluknya erat, tapi percuma karena Nares malah mengeratkan kedua tangannya di pinggang Reksa, membuat laki-laki itu berdecak. “Udah ah, Mas. Lepas. Ngomongnya makin ngaco, nih. Mabuk, ya, jangan-jangan? Ngaku! Sehabis main beer pong tadi diam-diam minum lagi, ya?”

”...”

“Berapa kaleng?!”

”...”

“Reksa, jangan galak-galak. Cuma dikit kok.” Nares memajukan bibirnya, membuat Reksa sontak berteriak gemas dalam hati.

“Kenapa? Gak suka kalau aku galak?!”

Nares menggelengkan kepalanya. “Suka.”

“Aneh.” Cibir Reksa.

“Reksa, mau tau satu rahasia, nggak?”

“Hm, apa?” Ucap Reksa, meladeni Nares asal. Seperti kata pepatah, tak ada gunanya bicara dengan orang yang lagi mabuk.

“Saya gak pernah mau jadi dokter. Saya maunya kerja di restoran, jadi chef keren yang pakai topi panjang kayak di Ratatouille, hehe.”

“Kenapa, atuh?” Reksa tak paham sampai-sampai logat sundanya keluar. “Ngapain jadi dokter kalau gak minat?”

Meski tak dapat melihat ekspresi Nares dengan jelas, Reksa yakin pria itu kembali mengerucutkan bibirnya. “Saya gak minat, tapi dunia mintanya gitu.”

“Maksudnya?”

“Gak ngerti saya juga.” Nares mendesah frustasi. “Padahal sama-sama pisau, kenapa pegang pisau operasi dibilang masa depan cemerlang, kalau genggam pisau daging dicemooh mempermalukan keluarga.”

“Ingat ini gara-gara aku singgung sore tadi, ya?” Reksa jadi merasa bersalah. Apa ini alasannya Nares jadi galau? “Maaf, ngungkit-ngungkit hal yang bikin Mas Nares sedih.” Bisiknya tulus.

“Gak apa-apa. Saya seneng, Reksa suka masakan saya, hehe.” Ia tersenyum lebar dengan mata yang masih terpejam. “Kedepannya, saya mau jadi chef pribadi Reksa aja.”

Reksa tak lagi menjawab. Mereka berada di posisi yang sama entah berapa menit, hingga akhirnya ia tak tahan lagi. Tak tahan dengan euforia yang dirasakannya. Tak paham dengan perasaannya yang damai dan tenang, tapi di sisi lain jantungnya seakan-akan siap meledak.

“Mas, udah ah. Kepalanya berat.” Karangnya asal. Ia menyerah duluan. Reksa perlu kabur sebelum jantungnya benar-benar meletus seperti balon hijau.

Meski berprotes dengan menggeram enggan, Nares akhirnya mengangkat kepalanya dari bahu sempit Reksa dan melonggarkan pelukannya.

“Mas Nares kenapa manja banget malam ini, hm?” Hati Reksa melebur melihat sisi Nares yang satu ini. “Udah, yuk? Tidur? Nanti besok gak bisa bangun.”

“Ada Reksa yang bangunin saya, hehe.”

“Enak aja! Emang aku alarm?”

“Hehe.”

“Hehehehe mulu, udah ah masuk kamar.” Reksa mendorong Nares masuk ke dalam kamar pria itu lewat pintu balkon sebelah.

“Mau sama Reksa.” Protes Nares begitu sentuhan Reksa hilang. Ia menengok, rupanya anak itu sudah berjalan meninggalkannya beberapa langkah.

“Gak! Gak ada! Aku juga mau tidur!” Balas Reksa galak.

Nares cemberut, membiarkan bayangan Reksa menghilang perlahan.

“Reksa pergi, udara jadi dingin lagi.” Gumamnya. Laki-laki itu kembali mengambil sekaleng beer yang berdiri tegak di atas meja, membukanya dengan cepat dan meneguknya pelan.

“Padahal saya kan belum cerita...” Ia tertawa pelan, terduduk di ujung kasur miliknya, menghadap ke balkon yang masih setia menyuguhkan langit malam yang gelap gulita.

Matanya menerawangi langit malam. Kata orang tua, orang baik yang sudah meninggal itu pindah ke langit, ke sisi Tuhan. Boleh tidak, kalau Nares harap Jevan kini tengah melihatnya dari atas sana?

“Jevan, saya harus gimana, ya?” Nares mengeratkan genggamannya pada kaleng bir. “Dunia makin hari makin serakah. Saya sudah patuh, tapi dia gak pernah berhenti kasih saya misi baru lagi.” Nares menghela napas. “Biasanya saya bisa protes ke kamu, tapi sekarang kamu juga sudah pergi duluan.”

Ia meraih handphone-nya yang terletak di atas nakas, membuka kata sandi ponselnya dan menatap lekat pesan yang terus menghantuinya sejak ia datang ke tempat ini.

Duh, Nareswara harus bagaimana, ya? Patuh itu melelahkan, tapi ia belum pernah jadi seorang pembangkang.

Melawan dunia? Ia tak berani. Tapi patuh pun Nares enggan.