“Masih ada barang bawaan lagi, gak, Sa?” Tanya Mahesa, supir pribadi hari ini, kepada Reksa.

Laki-laki yang lebih pendek beberapa centi darinya itu menggeleng. “Segini aja, Kak. Maaf ngerepotin, hehe.”

“Santai, Sa.” Mahesa tersenyum sambil menenteng tas terakhir dengan satu tangan. “Kalau gitu, apa kita berangkat sekarang aja? Biar lo juga cepet nyampe cepet istirahat.”

Reksa mengangguk. Ia menolehkan kepalanya ke belakang sekali lagi, menatap tempat yang ditinggalinya beberapa bulan ini untuk terakhir kalinya.

Tempat yang penuh dengan bayangan Nares di setiap sudut dan sisinya.

Kalau dia pergi dari sini, pasti rasa itu perlahan akan hilang, kan?

Semoga.


“Chan, kenapa?” Tanya Mahesa, menyadari aura kekasihnya langsung berubah begitu Reksa masuk ke dalam rumahnya.

Pertanyaannya itu hanya dijawab dengan gelengan kecil dan bibir yang semakin melengkung ke bawah.

Sambil mulai menginjak gas, Mahesa kembali mencuri pandang lewat kaca spion di mobilnya. “Duh, siapa ini yang bikin matahari punya Kakak meredup?”

“Gak usah gombal. Lagi gak mood.” Ketus yang ditanya.

Bukannya marah, Mahesa malah menarik kedua ujung bibirnya.

Gemas. Kok bisa, lagi kesal saja segemas ini?

“Kenapa, sih? Keinget skripsi?”

“IIH BUKAAN!” Erang Chandra semakin sebal. “Malah diingetin!”

“Terus kenapa, hm? Kan aku gak tau, kamunya juga gak mau kasih tau.”

“Aku tuh...” Chandra mengembuskan napasnya. “Aku tuh kesel banget sama temen kamu yang satu itu! Kok jahat banget, sih!”

“Siapa?” Mahesa mengerutkan keningnya.

“Siapa lagi? Ya Kak Nares, lah.”

Dahi Mahesa semakin mengkerut mendengar itu. “Emangnya dia ngapain kamu, yang?”

“Bukan ke aku, tapi ke Reksa. Kakak tadi liat gak, itu mata dia udah kayak bola tenis! Ditutupin pake apa pun juga tetep keliatan mukanya kusut banget. Terus tiba-tiba ngotot mau balik ke rumahnya yang dulu padahal jarak dari sini ke kampus jauh. Pasti lagi ada apa-apa dan pelakunya pasti temen kamu! Jangan-jangan dia udah bilang yang jahat ke Reksa.”

“Ya... kita di sini orang luar, Chan. Gak tau apa yang sebenarnya terjadi.” Mahesa memelankan laju mobilnya. “Bisa aja kejadiannya gak sesimpel yang kamu kira. Nares gak brengsek, kok. Dia teman aku, berarti teman kamu juga, dong. Kamu juga pernah ngobrol sama dia, kan? Dia bukan orang jahat, kok.”

“Ngaco, temen lo ya temen lo, temen gue ya temen gue. Temen lo nyakitin temen gue, masa gue gak boleh kesel sama dia?” Chandra memelotori si pengemudi dengan garang lewat kaca spion.

“Traktir aku kopi.” Ucap Mahesa setelah diam beberapa saat.

“Hah? Tiba-tiba banget? Kok ganti topik?”

“Sanksi. Barusan kamu bilang 'lo-gue' lagi.”

Chandra melotot. “GAK BISA GITU DONG? GU-AKU KAN LAGI EMOSI.”

“Bodo amat. Traktir. Kemarin-kemarin udah sepakat kan, kalau yang kelepasan make 'lo-gue' harus dapet sanksi? Apa kamu mau sanksi lain? Cium?”

“GAK, YA UDAH IYA AKU TRAKTIR, DASAR GURU BANGKE!”

Venti.”

“NGELUNJAK, YA!”