Sadar

Esok harinya, Reksa baru bangun pada pukul sembilan pagi. Itu pun karena Chandra yang menerobos masuk ke kamarnya.

“Sa... Reksa, bangun woi! Kebo banget lo!”

Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Reksa lantas mengucek-ucek matanya sambil menatap temannya tak senang. “Biarin aja kali. Suka-suka gue mau bangun jam berapa. Gue kemarin gak bisa tidur sampe jam tiga, tau.”

Chandra langsung menimpuk muka temannya dengan bantal tidur. “Bangun, ih! Malu tau, yang lain udah pada mandi seger. Lo lupa, di sini gak cuma ada gue, lo, sama Eli?”

“Emang Mas Nares udah bangun?”

“Udah dari kapan-kapan. Kayaknya dia deh, yang pertama bangun, dia juga yang nyiapin sarapan. Jangan samain Kak Nares sama kebo kayak lo, atuh!”

“Hah...” Reksa melongo. “Yang bener?”

“Gak percaya liat aja ke sendiri. Buru ah cuci muka ganti baju, mau nobar nih dari tadi cuma nungguin elo!”

Reksa langsung bergegas menuju kamar mandi dan mencuci mukanya sambil bertanya-tanya dalam hati. Kok bisa, Nares bangun cepat padahal kemarin tidur setelah pergantian hari, sama seperti dirinya?

Belum lagi... kemarin dia minum cukup banyak alkohol kan? KOK BISA BANGUN PAGI?

Emang benar kata Chandra, jangan samakan Nareswara sama dirinya yang cuma manusia fana.


“Mas, bangun jam berapa tadi?” Bisik Reksa pada orang yang duduk di sebelahnya sambil mengunyah roti panggang buatan orang tersebut. Saat ini, mereka berenam tengah berkumpul sambil menonton Netflix bersama. Nares dan Reksa duduk berdua di sofa, Eli dan Jinar di sofa lainnya, sementara Chandra dan Mahesa duduk bersila di karpet. Lampu ruangan sengaja diredupkan agar terasa seperti di dalam bioskop.

“Jam tujuh sepertinya...” Balas Nares, tentunya dengan volume yang sama kecilnya dengan si penanya.

Reksa hampir tersedak mendengarnya. “Gila, tidur berapa jam?! Gak pusing? Mas Nares kemarin mabuk, kan?”

Kali ini giliran Nares yang melotot tak terima. “Enak saja! Gak sampe mabuk, kok!”

“Masa?” Laki-laki yang masih melahap sarapannya itu menaikkan satu alisnya. “Terus kemarin kok... beda banget...”

Reksa menahan tawanya kala Nares memalingkan wajah karena salah tingkah. “Itu cuma efek bangun tengah malam aja... jadi emosional. Kalau mau dibilang mabuk juga baru setengah mabuk, buktinya saya sekarang masih ingat kejadian kemarin! Intinya kamu gak usah ingat-ingat lagi.”

“Malu, ya? Bayi besar mau peluk lagi, gak?”

Nares langsung membekap mulut Reksa. Dari posisi ini, Reksa dapat melihat jelas kedua pipi Nares yang bersemburat merah muda. Ia tersenyum lebar di dalam bekapan Nares. Reksa juga bisa merasakan seolah banyak kupu-kupu terbang di dalam perutnya.

Oke, mungkin terdengar berlebihan. Tapi hanya itulah permisalan paling tepat yang dapat Reksa pikirkan.

Nares yang dapat merasakan senyuman Reksa di telapak tangannya jadi semakin malu. Ia melepas bekapannya dan menenggelamkan kepalanya ke bantal sofa.

Sementara itu, tanpa mereka sadari, dua orang lainnya yang duduk di sofa sebelah sudah mengamati mereka sejak tadi.

Eli mengalihkan pandangannya dari dua orang itu pada “teman sesofanya”.

“Jinar, lo ngerasa aneh, nggak? Menurut lo... apa mereka...”

Ia belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Jinar sudah mengerti maksudnya dan mengangguk. Eli spontan menatap teman barunya ngeri.

“Emangnya mereka... boleh?”


Mereka baru selesai maraton beberapa episode serial Netflix itu beberapa jam kemudian. Begitu selesai, Eli langsung menarik lengan Reksa menjauhi yang lainnya, dan tentunya diikuti Chandra yang penasaran.

“Sa, ngobrol yuk.”

“Eitts, ajak gue dong!” Chandra menyusul dari belakang dan langsung merangkul bahu Eli.

“Kenapa nih?” Tanya Reksa. “Feeling gue gak enak, anjir. Terakhir kali lo narik gue buat ngobrol serius... malah dapet kabar buruk...”

“Kaga dah, bukan apa-apa. Cuma pengen tanya sesuatu aja.”

“Apaan?”

“Eli melirik ke sekitarnya. Setelah memastikan sudah tidak ada orang lain selain mereka bertiga di sekitar, ia menghela napas. “Sa, jangan tersinggung ya. Mau nanya aja nih... Lo gak suka Kak Nares, kan?”

“Hah?” Chandra membuka mulutnya lebar-lebar. “Li, ngaco banget lo! Mana mungkin lah?” Ia tertawa, lalu ikut menatap Reksa.

Pria yang menjadi sorotan kedua temannya itu langsung menggeleng cepat. “Kagak! Pertama, selama ini gue naksirnya sama cewek. Kedua, gue malah ngerasa, kayaknya Mas Nares gak baik buat kesehatan gue!”

“Maksudnya?”

Reksa sedikit mengerutkan dahinya, menandakan keseriusannya saat ini. “Nih ya, tiap deket-deket Mas Nares, gue ngerasa gak enak badan.”

”... Gue gak salah denger, kan?” Chandra bingung harus nangis apa tertawa.

“Ih, bener! Contohnya kemarin, deh. Pas Mas Nares meluk gue, jantung gue deg-degan kenceng banget kayak overdosis kafein. Terus tadi juga pas ngobrol sama Mas Nares perut gue kayak aneh gitu rasanya! Terus gue gak bisa napas kalau dia jaraknya terlalu deket!” Tutur Reksa.

”...”

Eli dan Chandra saling berpandangan. “Li, ini temen lo?”

“Bukan. Gak kenal.”

“Sa, emang dulu waktu lo naksir cewek rasanya gimana?”

Reksa menatap mereka bingung. “Kok nanya ini? Emang kalian gak pernah? Ya... seneng aja deket-deket dia, kagum. Kalau sama Mas Nares tuh... aneh... gue pengen deket-deket tapi kalau udah deket gue pengen cepet-cepet kabur karena... gak kuat aja!”

“Itu namanya lo suka dia, oon!” Chandra menempeleng kepala Reksa gemas.

“Hah, masa?” Reksa melotot. “Lo jangan nakut-nakutin gue!”

“Ya udah gue tanya, lo pernah gak pacaran sama cewek-cewek yang lo taksir itu?”

“Enggak.”

“Kenapa?”

“Karena gue gak pengen confess dan gak niat pacaran, lah.”

Eli memijat keningnya. “Kok bisa lo nggak mau pacaran dan bareng-bareng terus sama orang yang lo suka?”

Reksa mengerjapkan matanya. “Gak tau...”

“Kalau Mas Nares? Lo mau gak bareng-bareng sama dia terus?”

”... Sampe kapan?” Reksa bertanya balik.

Eli mengepalkan tangannya gemas. “Anggep aja selamanya.”

“Mau-mau aja, sih, soalnya gue gak mau ditinggalin lagi.” Jujur Reksa.

“Kalau dia peluk lo, cium lo, lo risih gak?”

Pipi Reksa sedikit merona mendengar pertanyaan itu. Hanya sedikit, tapi Chandra dan Eli langsung menyadarinya.

“Wah... gawat...” Eli menggeleng-gelengkan kepalanya. “Fix ini mah lo suka tapi kagak nyadar!”

“Enggak, gue cuma nganggep dia orang tua aja, sama kayak Om Jevan!” Bantah Reksa. “Gini-gini gue udah dua puluh satu ya, gue tau kali bedain rasa suka tuh gimana...”

Di akhir kalimat, suaranya mengecil tanpa sadar. Mungkin di bawah alam sadarnya Reksa sendiri juga tak yakin dengan apa yang keluar dari mulutnya.

“Udah, ya! Gak usah ngeyel. Lo coba bayangin di cium Om Jevan, dipeluk, dideketin sama kayak Mas Nares nempel ke lo. Risih, gak?”

Reksa nurut. Ia langsung membayangkan, tapi beberapa detik kemudian langsung bergidik sendiri. “STOP! GAK GAK GAK, GAK BISA!”

“Sekarang coba bayangin Mas Nares yang kayak gitu...”

“ADHLAHFLAHFL ELI DIEM!” Reksa menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan. “Iya, iya, gue sadar! Gue ngaku! Gue kayaknya... beneran suka... dan sukanya bukan sebagai orang tua atau temen...”

“Tuh, kan?” Eli memegang sebelah kepalanya frustasi. “Duh, gawat dah...”

Chandra yang sedari tadi diam membuka mulut. “Kenapa lo bilang gawat, Li? Gak apa-apa kali. Gue juga jujur deh, gue suka sama Kak Mahesa.”

“HAH?!” Seru Reksa dan Eli bersamaan.

Eli menepuk jidatnya. Pening sekali rasanya.

“Emangnya gak boleh?” Tanya Chandra polos.

“Kalau Kak Mahesa gue gak tahu sih... Kalau Kak Nares...” Ia menatap Reksa. “Gak jadi.”

“Ih, kenapa?” Reksa cemberut, tapi pertanyaannya hanya dibalas dengan gelengan Eli. “Gue mau mastiin sesuatu dulu. Nanti kalau ternyata beneran baru gue kasih tau lo.”

“Gak seru ah, mainnya rahasia-rahasiaan! Clue dulu atuh!”

“Setau gue,” Eli berdeham. “Setau gue nih ya, keluarga Jinar agak konservatif... apa ya... strict? Sama anak-anaknya. Tipe-tipe keluarga konglomerat gitu lah di sinetron-sinetron. Gue takutnya kalau lo bakal susah dan malah jadi nyakitin diri sendiri.” Ia meneguk ludahnya melihat binar pada manik Reksa meredup. “Tapi gue gak kenal baik Mas Nares, jadi gue cari informasi dulu dari sepupunya. Menurut gue, asal Mas Nares juga suka balik sama lo, semua ini gak akan jadi masalah, sih.”

Seusai mendengarnya, Reksa menghela napas pelan.

Duh, masalahnya, mana mungkin seorang Arsa Nareswara suka sama dia?

“Hey, itu tiga di sana ngapain? Mau nimbrung, dong!” Teriakan Mahesa dari jauh membuyarkan pikiran Reksa. Ketiganya menoleh ke asal suara tersebut.

“Kepo lo!” Chandra balas berteriak, membuat kedua orang di sebelahnya sontak menutup kuping.

“Dah lah, balik. Bantuin masnya Reksa bikin makan siang. Gue yakin Kak Mahesa sama Jinar gak bantuin apa-apa dari tadi.” Ujar Eli.

Wajah Reksa kembali memerah. “Eli, jangan ngeledekin gue!!!”