Paket

Langit sudah mulai gelap, sementara itu Reksa baru saja selesai membersihkan rumahnya yang penuh dengan debu karena ditinggalkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Memang sih, dia masih lemas karena baru saja sembuh, tapi lebih baik melawan rasa malas dan lemas ini daripada harus tidur ditemani kotoran dan debu di malam hari.


Pemuda yang baru saja menyelesaikan semua pekerjaan rumah itu keluar dari rumahnya untuk duduk di teras sambil membaca novel. Kebiasaan yang agak aneh bagi banyak orang, tapi untuk Reksa sendiri ini adalah kegiatan favorit yang selalu dilakukannya dulu. Dia jauh lebih senang menghabiskan waktu di teras rumah, tempat di mana banyak manusia dan kendaraan berlalu-lalang. Setidaknya, Reksa tak akan merasa sesendirian itu. Hanya saja, semenjak pindah ke apartemen Nares, kebiasaan ini ditinggalkannya karena... dia tak merasa kesepian di sana.

Duh, kenapa jadi membahas Nares lagi?

Reksa menggerutu kala sadar si pria yang membuatnya patah hati kembali hadir dalam pikirannya. Dua puluh satu tahun hidup tanpa seorang Nareswara dia baik-baik saja, masa hanya dalam jangka setengah tahun Reksa jadi tak bisa lepas dari pria itu? Memangnya handphone, bikin kecanduan?

“Eh, Nak Reksa akhirnya balik ke sini!”

Mendengar dirinya dipanggil, Reksa menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang kala melihat tetangga lamanya. Ia langsung berdiri dan menghampiri perempuan berusia menengah yang berdiri di sana. “Bu Endah, apa kabar?”

“Baik, cuma kangen aja sama kamu. Udah lama gak lihat Nak Reksa, Ibu sampe nyariin ke mana-mana.”

Reksa menggaruk tengkuknya tak enak, “Iya nih Bu, ada enam bulan mah gak kesini. Omong-omong Ibu sampe nyariin aku emangnya ada sesuatu?”

Bu Endah langsung berdecak. “Itu, si Ibu téh dititipin paket sama keluarga kamu. Tapi pas mau ngasih kamunya gak ada mulu, sampé Ibu bingung ini paket mau dikemanain. Mana nomor kamu juga Ibu gak punya.”

“Hah?” Kening Reksa berkerut. “Keluarga... aku? Kapan, Bu?”

“Aduh, udah lama pisan! Enam bulan mah ada, sebelum kamu pindah! Cuma keluarga kamu maunya Ibu simpenin ini dulu, mintanya Ibu ngasih ke kamu beberapa minggu lagi tapi pas Ibu nyariin kamu buat ngasih kamunya geus pergi.”

“Keluarga aku yang mana dah, Bu?”

“Itu lah, yang mana lagi. Yang tiap Sabtu sering mampir ke sini nengokin kamu! Yang dari Jakarta. Siapa sih namanya... Ibu lupa. Pokoknya senyumnya manis pisan.”

Deg.

Betul juga, yang mana lagi? Sejak dulu keluarganya hanya ada Mama dan Om Jevan. Kemudian Mama pergi, dia ditinggalkan dengan Om Jevan. Sekarang, tinggal sisa dia sendirian.

“Maksud Bu Endah tuh, Om Jevan?” Tanya Reksa.

“Nah iya, éta!”

Reksa meneguk air liur dan sedikit menengadahkan kepala, berusaha mencegah indra penglihatannya kembali memproduksi air mata. Laki-laki itu mengepalkan tangannya yang sedikit gemetar. “Paketnya boleh saya ambil sekarang, Bu? Masih ada, kan?”

Tetangganya itu langsung menyahut antusias. “Masih atuh, Kang Kasép! Ibu nyimpenin buat kamu mah. Bentar Ibu ambil dulu ke rumah, aman masih disegel, gak dibuka-buka.”

“Nuhun, Bu...”

Tubuhnya melemas setelah sosok Bu Endah mulai menghilang dari pandangannya. Ia meremat pagar untuk menopang dirinya tetap berdiri tegak.

Apa isi paketnya? Kenapa Om Jevan meminta Bu Endah untuk menyimpannya berminggu-minggu dulu sebelum memberikan itu padanya?

Apa surat wasiat...?

Jadi, sudah berapa lama Om Jevan berencana untuk bunuh diri?

Ya Tuhan.

Rematan Reksa pada pagar rumahnya semakin kencang. Kepalanya menunduk, membiarkan air mata yang tak lagi dapat ia tahan menetes membasahi tempatnya berpijak.

Reksa tak sadar sudah berapa lama ia bertahan pada posisi itu, hingga akhirnya sang tetangga kembali membawa paket yang ia maksud. Hanya sebuah kotak kecil. Reksa menatap kotak itu lekat-lekat.

“Loh, Nak Reksa nangis? Itu matanya kenapa?” Bu Endah menatapnya heran. Reksa menggeleng kecil dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Gak apa-apa, Bu.”

Tetangganya itu memandangnya bingung, namun tetap menyerahkan kotak yang ia bawa ke tangan pemiliknya. “Kamu lagi ada masalah? Kalo mau cerita ke sebelah aja, ke rumah Ibu, ada anak Ibu juga si Taufik lagi balik dari Malang, kalian seumuran bisa ngobrol-ngobrol. Lamun aya masalah ulah dipendem sendiri (Kalau lagi ada masalah jangan dipendam sendiri).”

“Lain kali aja, Bu. Aku mau masuk dulu.” Ia memeluk kotak itu dalam dekapannya.

Setelah membungkuk dan merapalkan terima kasih, Reksa pun masuk ke dalam rumahnya.