Papa dan Papi

based on true story

tw // toxic / abusive relationship , cheating , drinking , trauma , mention of death , smoking , swearing , family issue , age switch (chenle & jisung)

Chenle as Nathan, Jisung as Jericho, Renjun as Dirga (Papa), Jaemin as Jendral (Papi)

Namaku Nathanael Adichandra, atau biasa dipanggil Nathan. Kata Papa, arti dari namaku itu “bulan bersinar karunia dari Tuhan”. Beliau sendiri yang memberiku nama ini. Kenapa? Konon, aku diadopsi oleh Papa pada malam hari ketika bulan purnama, dan kebetulan sekali hari itu bertepatan dengan hari kue bulan di kalender Tionghoa tahun itu.

Aku adalah anak bungsu dari keluarga kecil beranggotakan tiga orang. Ada Papa, aku, dan Jericho.

Tidak, Papi-ku masih hidup, kok. Bahkan beliau selalu memberiku uang jajan berlimpah tiap kami bertemu. Hanya saja, entah sejak kapan, aku tak lagi sudi menyebutkan namanya dalam silsilah keluarga kami. Sebut saja aku durhaka, aku tak peduli.

Papa bilang, aku membenci Papi sejak menjadi anggota keluarga mereka. Tidak hanya Papi, tapi seluruh keluarganya. Aku selalu menangis setiap Papi mencoba menggendongku, bahkan, Papa bilang, pernah Nenek dari pihak Papi datang berkunjung ke rumah kami. Baru saja beliau tiba di pagar, tahu-tahu aku sudah meraung sangat kencang. Mereka sekeluarga dibuat bingung oleh tingkahku. Mungkin itu juga salah satu alasan mengapa meskipun aku dan Jericho sama-sama diadopsi, keluarga Papi sangat menyayangi Jericho, tapi agak sinis setiap melihatku.

Kenapa, ya? Jujur aku sendiri tak mengerti. Kuanggap aku memang setan kecil yang dikirim Tuhan untuk melindungi malaikat kesayangannya, Papa. Karena malaikat seperti Papa dan Jericho tidak mungkin menang melawan iblis seperti Papi.


1) Papiku yang rendah diri

Papa adalah anak sulung dari keluarga yang cukup berada. Kakek dan nenekku mengelola sebuah toko kelontong yang cukup sukses pada masanya, yang sekarang telah berubah menjadi salah satu bagian dari mall “The King”. Sebaliknya, Papi lahir di keluarga yang, bisa dibilang, sangat tidak mampu. Papa punya dua kakak dan satu adik. Namun, karena keadaan ekonominya yang tidak baik, maka adik bungsu dari Papi diberikan ke keluarga lain untuk diadopsi. Mereka baru saling mengenal belakangan ini (aku mendengarnya dari cerita Papi, beliau antusias sekali, padahal aku tak peduli). Maka aku rasa, hal inilah yang membuat Papi menjadi orang yang sangat rendah diri, atau dalam bahasa anak zaman sekarang, insecure.

Dulu, setiap kali tahun baru imlek datang, kami berempat sekeluarga pasti akan datang ke rumah nenek moyang dari pihak Papa. Meskipun sudah cukup tua, tapi bangunan itu masih cukup kokoh dan terkesan antik. Seperti pertemuan keluarga pada umumnya, selain makan malam bersama tentu saja ada ajang pamer. Om-om dan tanteku tak perlu risau menghadapi ajang ini. Mereka ada yang jadi dokter, arsitek, hingga membangun perusahaannya sendiri. Papi pun tentunya tak terlepas dari pertanyaan para orang tua, “Bagaimana pekerjaanmu? Lancar?”

Niatnya baik, tapi Papi merasa terhina karena ia bekerja sebagai buruh (aneh, padahal buruh pun pekerjaan yang baik, kan?).

Biasanya, sepulang dari sana Papi akan mengeluarkan sumpah serapah di dalam mobil, mengutuki keluarga Papa satu per satu tanpa mempedulikan kedua anaknya yang masih batita mendengar. Papa pun tak membalas apa-apa selain menutupi kupingku dan Kak Jericho.

Di tahun lainnya, aku yang masih kecil tertidur ketika kami masih makan-makan bersama. Karena merasa kasihan pada anaknya, Papa meminta izin untuk pulang duluan agar aku bisa tidur nyenyak di kasur. Begitu kami keluar dari gedung, Papi kembali memarahi Papa. Papa bilang padaku, ada satu kalimat yang beliau ingat dengan sangat jelas.

“Kamu ini malu-maluin saja!”

Papa masih bingung sampai sekarang, dimana letaknya ia memalukan Papi?


2) Papiku seorang perokok

Akhirnya, karena Papa tak mau Papi merasa rendah diri lagi di hadapan keluarganya, ia mempertaruhkan semua tabungan yang dimilikinya untuk menjadi modal keluarga kami membuat usaha. Papa, dengan segala keberaniannya, membuka sebuah toko kain kecil. Kami berempat lalu tinggal di bawah atap toko itu karena tak punya uang sisa untuk menyewa tempat tinggal.

Untungnya, mukjizat itu nyata. Perlahan-lahan, toko kami mulai ramai dengan pembeli dari berbagai penjuru. Keluarga kami berhasil membeli rumah kecil, seiring dengan aku dan Jericho yang mulai beranjak besar.

Namun, kalian tahu? Toko kain tidak seelit kedengarannya. Toko kain kami penuh dengan debu dan asap rokok para pegawai. Tidak hanya para pegawai, sih, Papiku juga seorang perokok aktif. Karena ini, Jericho jadi mengidap penyakit asma yang cukup parah hingga sekarang.

Suatu hari, aku benar-benar tidak tahan lagi dengan asap rokok yang menusuk indra penciumanku.

“Papi, bisa berhenti ngerokok, nggak?! Bau banget, tahu, mana bikin Jericho sakit!” Teriakku dari atas tumpukkan kain (aku memang senang sekali memanjat kain ketika kecil).

Papiku langsung melotot saking kagetnya. Aku masih ingat bagaimana urat-uratnya langsung tampak dengan jelas. Dia menunjuk Papa sambil marah-marah, “Ini anak didikanmu? Masih kecil sudah bisa suruh-suruh orang tua!”

Papaku yang sibuk menghitung uang hanya melirik sekilas, “Nathan aja tahu merokok itu buruk, kenapa kamu gak sadar-sadar?”

Papiku sontak dibuat bungkam. Beliau mematikan rokoknya perlahan. Ya, setidaknya hari itu beliau berhenti merokok, meski hanya sehari. Kini, setiap mengingat kejadian itu, aku hanya bisa menggeleng-geleng.


3) Mie Goreng

Tidak semua kenangan tentang Papi memberikan kesan buruk bagiku, meski tak dapat dipungkiri semuanya berakhir dengan bad ending. Contohnya, yang satu ini.

Siapa yang tak suka mie instan? Apalagi mie instan kuah rasa soto? Pastinya bukan Papi, Jericho, dan aku. Namun, Papa sangat membatasi kami untuk makan mie instan di rumah.

Waktu TK, aku, Jericho, dan Papa tidur sekamar. Papa akan pindah ke kamar utama menemani Papi jika aku dan kakak sudah terlelap. Namun, seringnya malah Papa yang tertidur duluan. Biasanya, setelah Papa tertidur, Jericho akan mencolek pipiku dan kami berdua akan menyelinap keluar dari kamar tidur. Di luar, sudah ada Papi yang memasak tiga piring mie instan goreng rasa original. Lalu, kami bertiga akan makan bersama dengan rasa was-was ketahuan Papa di meja makan.

Pernah sekali Papa tiba-tiba terbangun, aku dan Jericho langsung menyembunyikan mie kami di dalam lemari yang jarang dibuka. Eh, kami kelupaan. Ketika ditemukan dua bulan kemudian, mie itu sudah tidak layak dikonsumsi lagi.

Sayang sekali…

Kebiasaan buruk ini berakhir ketika suatu hari Jericho mengeluh sakit perut. Dia muntah-muntah tak henti di kamar mandi. Papa langsung membangunkan Papi tengah malam itu juga, meminta Papi mengantarkan anak sulungnya ke rumah sakit. Sayangnya, Papi menolak. “Besok aja,” ujarnya sambil lanjut tidur, tak menghiraukan Papa yang mulai menangis karena panik.

Akhirnya, malam itu, Papa lah yang menyetir mobil ke rumah sakit, membawa Jericho yang sakit dan aku yang kala itu tak paham dengan situasi yang sedang terjadi.

Jangan salah paham, Papa bisa menyetir, kok! Beliau sudah menjadi supir pribadi gratis keluarganya sejak SMP. Hanya saja, sejak menikah, Papa sudah tak pernah lagi menyetir. Papa bilang, malam itu Papa kalut sekali. Papa takut menyetir di jalan yang gelap dan sepi, tapi Papa lebih takut kehilangan buah hatinya.


4) Bertengkar

Papi dan Papa hobi sekali bertengkar. Awalnya, Papa masih berusaha untuk menyembunyikan fakta ini, tapi sayangnya suara bentakan Papi bahkan lebih keras daripada radio tetangga sebelah.

Diantara sekian banyak pertengkaran yang terjadi, ada beberapa yang membekas bagiku.


Waktu aku baru naik ke kelas satu, Papa membiarkan aku dan kakak pergi ke sekolah minggu tanpa dampingannya. Di luar gerbang, ada banyak sekali penjual jajanan, dari batagor hingga teh botol.

Suatu ketika, di antara kami para anak sekolah minggu, sedang populer stiker bergambar kartun yang lucu-lucu. Aku dan Jericho pun tertarik dan membeli stiker itu. Tiba-tiba saja, kami jadi berlomba untuk membeli stiker paling banyak. Saat itu, Papi dan Papa sudah menunggu kami di parkiran. Aku dan Jericho bergantian meminta uang kepada Papa untuk membeli stiker. Selembar demi selembar kertas bernilai lima ribu rupiah itu kami tukarkan dengan stiker-stiker lucu. Tak puas, kami meminta lagi dan lagi. Entah keberapa kalinya kami bulak-balik ke mobil untuk meminta uang, akhirnya Papi murka. Ia langsung membentak kami.

Papa yang merasa kasihan tentunya membela anak-anaknya.

“Biarin aja, cuma anak kecil.”

Papi mana mau dengar? Aku dan Jericho yang ketakutan bergegas duduk manis di sebelah Papa. Mobil kami langsung melaju kencang menjauhi gereja itu. Di tengah perjalanan, Papi masih marah-marah sambil mengucapkan berbagai nama binatang. Papa yang tak tahan akhirnya berdebat. Aku sudah lupa apa saja yang mereka debatkan, tapi di tengah perjalanan, Papi sangat marah. Ia menurunkan kami bertiga di tengah jalan yang asing, meninggalkan kami dan pulang sendiri.

Aku masih ingat, Papa sedih sekali waktu itu. Matanya berkaca-kaca, tapi ia kemudian tersenyum. Hari itu kami habiskan dengan bermain di mall sebelum akhirnya Papa memesan taksi untuk pulang.

Sesampainya di rumah, kami kembali disambut oleh muka Papi yang kusut.

“DARIMANA AJA KALIAN? KENAPA GAK ANGKAT TELEPON SAYA?!”


Di dekat rumah kami ada sebuah warung yang penuh dengan snack beragam. Seperti rutinitas harian, aku dan Jericho selalu mampir untuk membeli permen atau mainan anak kecil di sana sepulang sekolah. Hari ini hari Sabtu, kami tidak berangkat ke sekolah. Tapi, Jericho bersikeras ingin membeli permen di warung. Papa tidak mengizinkan dengan alasan kami sudah terlalu banyak mengonsumsi permen minggu ini. Jericho pun langsung menangis kesal, sementara itu Papi pulang dari toko. Melihat anak sulungnya yang menangis kencang sambil berguling di lantai, ia sontak memijat dahinya.

“Ini kenapa?” Tanyanya pada pembantu kami.

Saat itu, Papa sudah masuk ke kamar utama dan mengunci pintu dari dalam begitu melihat Papi datang. Alasannya? Aku tak tahu. Mungkin mereka bertengkar sehari sebelumnya dan belum berbaikan.

“Ini, Den Jericho pengen jajan permen, Pak. Tapi Pak Dirga gak izinin.”

“DIRGA? KELUAR KAMU!”

“Pi, kenapa sih? Emang Jericho udah kebanyakan jajan permen, kok!” Kali ini aku yang membuka suara. “JANGAN TERIAK SAMA PAPA!”

“Iya-iya… maaf… Dirga, keluar dulu?” Papi menurunkan suaranya sambil menatap pintu yang tertutup rapat itu.

“GAK AKAN!” Balas Papa dari dalam kamar.

“Keluar dulu ya, sayang?”

“GAK, KAMU PERGI!”

Papi menoleh kepada pembantu kami “Mbak, bawa anak-anak keluar dulu.” Ia memberikan selembar lima puluh ribu. Jericho yang sudah berhenti menangis sejak tadi menatapnya dengan kedua mata yang membulat. “Boleh jajan, Pi?” Tanyanya polos.

“Boleh.”

“Aku mau di sini aja.” Ujarku. “Gak kepengen jajan!”

Papi langsung menatapku tajam. “Ikut aja. Temenin Kakak kamu.”

“Tapi Papa?”

“Gapapa. Nanti Papi ajak Papa ngomong. Gak akan marah.”

Aku akhirnya mengangguk karena takut dipelototi Papi, mengikuti langkah Mbak Sinta dan Jericho yang sudah lebih dulu berjalan keluar rumah.

...

Kalian tebak?

Hal ini berhasil menjadi salah satu penyesalan terbesarku hingga saat ini.

Kami bertiga, aku, Jericho, dan Mbak Sinta hanya pergi kurang dari lima belas menit. Hanya sebentar, kan? Sebentar sekali sampai aku tak mengira tak akan terjadi apa-apa di jangka waktu sependek itu.

Begitu kami pulang, pemandangan yang kulihat adalah Papa yang menyambut kami dengan senyum manisnya, tapi wajahnya putih pucat seperti orang mati. Pipi manisnya penuh dengan bekas air mata. Papi sendiri sudah tak tampak.

Besoknya, ketika menjemputku dari sekolah, Papa bertanya, “Nathan, kenapa kamu gak bilang-bilang ke Papa kalau kalian pergi?”

“Eh?” Aku menoleh padanya. “Papi yang suruh aku pergi. Aku udah nolak, tapi Papi agak maksa… jadi aku takut.”

“Iya, tapi kenapa kamu gak bilang dulu sama Papa?”

Aku terdiam. “Maaf, Pa.”

Papa meneguk air di botol minumnya sebelum kembali menengok padaku. “Lain kali, jangan begitu ya, sayang. Papa kemarin hampir mati.”

Aku membelalakan mata bingung, meminta penjelasan.

“Papi kemarin mau bunuh Papa. Papa kira kalian masih ada di luar, jadi Papa buka kunci kamar. Tahu-tahu, Papi masuk dan langsung mencekik leher Papa.” Ia mulai sesenggukan. “Papa berontak, tapi cekikannya semakin kencang. Hingga akhirnya Papa rasa Papa beneran akan mati, baru dia lepas. Dia lepas cekikannya ketika Papa sudah tidak bisa berontak lagi. Nyawa Papa tinggal setengah, Nathan.”

Hari itu adalah hari pertama aku berharap Papi bisa pergi dari kehidupanku dan Papa. Selamanya.

Ada pepatah, selingkuh hanya dapat dilakukan 0 kali atau berkali-kali, begitu pun dengan KDRT. Kini aku percaya. Selang beberapa minggu kemudian, Papi kembali melakukan hal yang sama kepada Papa ketika aku tak berada di rumah. Kali ini dengan dua orang saksi mata. Mbak Sinta dan Jericho yang hanya memandang tanpa menolong.

Aku ingat, Papa bertanya pada Jericho setelahnya. “Kenapa kamu gak tolongin Papa?”

Kakakku yang satu itu hanya menunduk, “Takut, Pa. Maaf.”


5) Papaku yang pemaaf

Aku kira Papi sudah sangat buruk sampai beliau tidak bisa menjadi lebih buruk lagi. Nyatanya, aku salah. Hari itu seperti biasa aku dijemput oleh Papa sepulang sekolah. Semuanya berjalan normal, hingga Papa tiba-tiba meminggirkan mobilnya. Aku menatap Papa penuh tanda tanya, sementara yang ditatap menurunkan kaca jendelanya, berteriak pada seseorang yang tengah berjalan di bawah teriknya matahari. “RIDA! RIDA!”

Aneh sekali. Perempuan yang Papa panggil sempat menoleh ke arah kami, tapi bukannya berhenti, dia malah mempercepat langkahnya. Tapi, tentu saja langkah kaki orang akan kalah cepat dengan mesin beroda empat, bukan?

“Rida! Ini saya, Dirga. Kamu ingat?”

Perempuan itu terpaksa menoleh pada Papa. “Eh… iya, Pak.”

“Itu anakmu?” Tanya Papa, melirik bayi yang digendong oleh perempuan itu.

Kulihat raut wajahnya langsung berubah takut, “I-iya, Pak.”

“Kenapa ini? Kalian mau kemana? Saya antar.”

“G-gak usah, Pak. Terima kasih.”

“Kasihan itu bayi kamu kena terik matahari.”

“Beneran gak usah, Pak.” Wanita itu menatap Papa gelisah.

Papa menghela napas. “Rida, saya gak akan jahatin kamu. Saya gak berniat apa-apa.”

Setelah Papa membujuknya, wanita itu pun duduk di jok belakang kami. Papaku lah yang membuka pembicaraan. “Kamu mau kemana?”

“Rumah sakit, Pak.”

“Eh, itu anaknya sakit, ya?”

“Iya… demam…”

“Aduh…” Papa menghela napas, “Lagi musim kayak gini emang gampang bikin demam. Omong-omong, kamu udah menikah?”

“Iya… saya sudah nikah sama pacar saya dari kampung…”

“... Bagus deh, jangan gangguin rumah tangga orang lagi ya, Rida. Saya rasa kamu sekarang udah jadi orang tua, udah punya pasangan juga. Kamu… ngerti kan perasaan saya?”

Kulihat wanita itu mulai sesenggukan sambil memeluk bayinya.

“Iya, maaf, Pak… saya mohon ampun…”

Papa tidak menjawab. Untuk sementara, mobil kami hanya diisi dengan suara tangisan bayi yang terbangun dan ibunya.

Sesampainya di rumah sakit, Papa mengeluarkan dompet dari tasnya, memberikan sejumlah uang berwarna merah kepada perempuan itu. “Ini, buat anak kamu untuk berobat.”

“Eh, Pak… gak usah…”

“Ambil aja. Saya bukan kasih buat kamu. Ini buat dedek bayi supaya bisa cepat sehat lagi.”

Air mata kembali menghiasi wajah perempuan muda itu.

Waktu itu, aku tak paham apa-apa. Bingung juga, mengapa peristiwa itu terus melekat di dalam pikiranku. Untuk sekarang sih, aku sudah seratus persen paham tentang apa yang terjadi.


6) Cerai

Ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD, Papi punya hobi baru. Kurasa dia diperkenalkan dengan alkohol oleh teman-temannya. Entah sejak kapan, Papi selalu pulang larut malam dengan wajah yang merah sekali. Ia akan berbicara yang tak jelas, tak dapat kumengerti, lalu dibopong Papa masuk ke kamar. Kurasa keadaan ini berlanjut sampai empat bulan lamanya, hingga suatu hari Papi hendak kembali memukul Papa saat mabuk. Papa langsung membawa aku dan Jericho kabur dari rumah. Kami kabur menuju rumah Nenek.

Aku ingat, Papa menangis kencang sekali. “Sayang, Papa udah gak kuat…” Ujarnya padaku. Ia memelukku erat, berusaha mencari kehangatan. Aku ikut menangis, “Pa, Nathan juga gak kuat lagi. Nathan gak suka sama Papi.”

Kurasa itulah yang membuatnya memutuskan untuk cerai. Papa bertahan untuk kami anak-anaknya, Papa juga memilih menyerah demi kebaikan kami, orang asing yang beruntung menjadi anak adopsinya.

Kalian tahu? Aku gembira sekali mendengar keputusannya. Rasanya seperti terbebas dari neraka. Papa akhirnya bercerai dengan Papi tepat ketika aku naik ke kelas tiga, sementara Jericho naik ke bangku kelas lima. Berbeda denganku yang menyambut berita ini dengan sukacita, Jericho tampak murung, sama seperti Papa yang mengunci dirinya di kamar selama dua hari.

“Kamu gak suka Papi Papa cerai?” Tanyaku suatu hari, ketika Papa sedang sibuk menyiapkan makan malam untuk kami.

Ia mengerucutkan bibirnya. “Gak tau. Aku tau Papi jahat… tapi aku sayang sama Papi. Kamu gak sayang, emangnya?”

Aku menatap langit-langit kamar. “Enggak, tuh.”


7) Akhir

Balik ke masa sekarang, kini aku sudah berusia tujuh belas tahun. Sudah dapat KTP, sudah dapat mengendarai kendaraan bermotor. Setelah Papa dan Papi bercerai, Papa menyerahkan semua harta miliknya pada Papi dengan syarat hak asuh anak-anak diambil olehnya.

Papi tentunya setuju dengan senang hati. Beliau kini sudah menjadi orang sukses dengan rekening berisi ratusan milyar (jangan sepelekan usaha dagang kain, keuntungannya benar-benar besar). Sayangnya, semua harta itu dibayar olehnya dengan kesehatan. Tanpa adanya Papa yang mengatur pola hidup Papi, tentu ia kacau. Kudengar kini beliau mengidap belasan penyakit di setiap organ di dalam tubuhnya.

Papa sendiri? Papa tetap menjadi orang tua kebanggaanku. Dua tahun yang lalu, Papa memutuskan untuk kembali menimba ilmu di perguruan tinggi. Kini ia berstatus pelajar, sama denganku dan Jericho.

Kurasa, kami sangat bahagia. Hanya saja, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.

...

Jericho, kepala keluarga kami, anak sulung kebanggaan Papa, perangainya semakin mirip dengan Jendral Aditya.

Tak apa. Kalau suatu saat Jericho menjadi orang brengsek, aku yang kini sudah besar akan selalu siap untuk melindungi Papa.