Pertemuan Pertama

Mahesa menyetir sambil sesekali melirik temannya di sebelah. Seumur hidup, belum pernah ia lihat Nareswara sekacau ini.

Nareswara yang Mahesa kenal adalah seorang dokter muda populer yang selalu memakai kemeja bersih, menyisir rambutnya rapi, dan memasang senyum manis yang membuat kaum hawa terpesona. Tutur katanya santun, setiap gerakannya anggun, setiap perbuatannya menyerukan tata krama.

Tapi pagi tadi, Nares menerobos pintu ruangannya dengan mata bergelimang air mata, tanpa peduli lirikan dari murid SMA yang berlalu lalang. Dengan rambut tak berbentuk dan wajah penuh peluh, Nares berlutut sambil terus mengucapkan sebuah nama yang tak Mahesa kenal, “Jevan”.

Mahesa kembali melirik Nares yang hanya menundukkan kepala sedari tadi.

“Nares, bentar lagi sampe.” Ucapnya, mengingatkan.

Tak ada jawaban, hingga Nareswara perlahan mengangkat wajahnya. “Esa, ada tisu?”

Mahesa mengangguk, membuka laci mobilnya dan menyerahkan segepak tisu pada Nares.

“Gak dilap juga gak apa-apa. Nangis itu wajar, Nares.”

Nares menggeleng sambil mengusap matanya kasar. “Kalau saya nangis, siapa yang tenangin Reksa?”

Lagi-lagi nama yang tak Mahesa kenal. Tapi tak masalah, dia di sini hanya ingin membantu Nareswara. Tak mungkin ia membiarkan temannya menyetir sendirian dengan keadaan begini.

Sesuai perkiraan Mahesa, tak lama kemudian mereka sampai di gerbang masuk mall besar itu.

“Buka jendela aja, temannya Reksa bilang mereka menunggu di lobby.” Ujar Nares. “Okay.”

Mahesa berhenti di depan pintu masuk mall sambil menurunkan kaca jendelanya. Ia menoleh pada Nares. “Yang mana, Res?”

Nares menggeleng. “Saya belum pernah lihat fotonya.”

“Siapa tadi namanya?”

“Reksa. Antareksa.”

Mahesa tak menghiraukan suara klakson yang mulai terdengar dari mobil di belakangnya. “REKSAA! ADA YANG NAMANYA ANTAREKSA?”

Selang dua detik, tiga orang pria tampak lari tergopoh-gopoh menuju ke arah mobilnya.

“Umm... maaf, anda Om... eh, Mas Nareswara?” Tanya Eli pada Mahesa. Laki-laki itu menggeleng, lalu menunjuk teman di bangku sebelahnya. “Dia Nareswara.”

“Kamu yang tadi angkat telepon saya?” Nares membuka suara.

Eli mengangguk. Dia lalu menunjuk Reksa yang hanya menatap mereka dengan pandangan kosong. “Ini Reksa.”

“Langsung masuk aja.” Ajak Mahesa. “Kalian ikut?” Tanyanya pada Chandra dan Eli. Kedua orang itu langsung menoleh pada Reksa, meminta persetujuan, yang dibalas dengan gelengan lemah. “Gak usah.” Ucapnya, dengan suara parau. Ia membuka pintu belakang mobil dan masuk ke dalam.

“Ya udah, jangan lupa kabarin ya, Sa.” Ucap Chandra, yang dibalas dengan anggukan temannya.

“Om—eh, Kak, Mas... aduh saya panggil apa, ya? Kami titip Reksa, ya?” Pinta Eli kepada dua lelaki yang lebih tua.

“Iya, jangan khawatir. Saya akan jaga Reksa baik-baik.”


Singkat cerita, Mahesa menyetir kembali ke Jakarta dengan tambahan satu penumpang di bangku belakang. Seorang mahasiswa yang terus melihat ke luar jendela.

“Reksa, sudah makan?” Tanya Nares. Nares tak lagi seberantakan tadi. Ia menyisir rambutnya dengan jari, mengusap wajah lesunya dengan tisu. Tidak, tidak boleh tampak begitu terpuruk di depan Reksa. Dia harus kuat.

Reksa menggeleng. Belum, dia belum makan sejak tadi pagi.

“Lapar?” Tanya Nares panik. “Mahesa, kamu punya makanan?”

Mahesa mengangguk. “Reksa ambil aja, itu ada di—”

“Makasih, Mas. Reksa belum lapar.”

Nares menggeleng. “Makan sedikit, Reksa. Kamu butuh tenaga untuk nanti.” Ujarnya, lirih.

Reksa tetap bergeming di tempatnya. “Apa benar, Om Jevan, pergi?” Ia bertanya.

Nares mengangguk.

“Bunuh diri?”

”... Iya.”

“Karena apa?”

“Saya juga tidak tahu, Reksa.”

“Om dapat kabar darimana?”

”... Jevan mengirimkan karangan bunga ke rumah sakit tempat saya bekerja, tadi pagi. Tapi saya sedang praktek. Ketika saya menerima bunga itu, di dalamnya terselip surat.” Nares berhenti sejenak. “Surat wasiat. Saya langsung menelepon Polisi dan bergegas ke rumahnya, tapi nihil. Dia tak ada di sana. Beberapa saat kemudian, saya diberi kabar oleh polisi. Sudah telat, rupanya. Jevan berhasil.”

“Saya tahu kontak kamu dari surat itu juga. Dia menulis nomor kamu, Reksa. Sampai detik terakhirnya, dia masih memikirkan kamu.”

Mata Reksa akhirnya mulai berair. Seiring dengan kendaraan yang semakin mendekati ibukota, semuanya terasa semakin nyata. Ini nyata. Jevan telah tiada.