Perubahan

Reksa mengerang kesal sambil mematikan alarm yang berbunyi tak begitu nyaring namun berhasil mengganggu tidur nyenyaknya. Ia melirik angka yang terpampang di ujung kanan layar ponselnya... masih pukul setengah tujuh. Kelas pagi benar-benar menyebalkan!

Masih menggunakan piyama garis-garis, Reksa keluar dari kamarnya, berencana untuk segera bergegas mandi. Namun, gerakannya terhenti kala sadar ada sosok lain yang berdiri di ruang tamu, tampak sedang merapikan pakaiannya. Reksa mengerutkan dahinya bingung.

”... Mas Nares? Jam segini udah mau berangkat?”

Aneh. Biasanya jam segini masnya itu masih terlelap di ruangannya.

Orang yang dipanggilnya itu menoleh, dan sekali lagi berhasil mengejutkan Reksa.

Sebelum Nares sempat berbicara, pria yang lebih muda itu sudah lebih dulu melangkah maju sambil tetap mengikat tatapannya dengan Nares.

“Yang bener aja, Mas mau berangkat kayak gini?” Reksa menarik pelan jubah putih yang dikenakan Nares dengan tangan kanannya. “Ini udah disetrika belom? Nah loh ketahuan, itu kemejanya juga masih kusut, ih!”

Lagi-lagi tak menunggu jawaban keluar dari belahan bibir pria yang ia tanya, Reksa sudah berjinjit, tangannya yang lain menyentuh rambut Nares. “Ini... gak disisir?” Reksa melotot. “Jangan bilang Mas Nares belum cuci muka juga? Tumben jorok!”

Satu detik... dua detik... Reksa meneguk ludahnya. Tatapan Nares melekat pada dirinya, tapi pria itu masih bungkam. Perlahan, Reksa melangkah mundur, ingin bersembunyi dari tatapan intens yang diberikan oleh Nares. “Kenapa Mas, buru-buru sampai kayak gini? Ada sesuatu di rumah sakit?” Sambil bertanya, ia memalingkan kepalanya ke arah jam dinding.

Bener kok, masih jam setengah tujuh... Biasanya juga berangkat paling pagi jam delapan...

Kala Reksa masih berpikir, akhirnya Nares mengeluarkan suara.

“Benar... aneh, ini salah. Gak seharusnya begini...” Gumam Nares dengan kedua maniknya masih tak terlepas dari laki-laki di depannya.

“Hah? Apa? Gimana?”

Nares menggeleng. “Saya pergi dulu.” Ia melepaskan tangan Reksa yang masih menggenggam ujung jubahnya.

“Eh, lho, Mas udah sarapan, belum?” Reksa ingin memastikan. Namun, yang menyahuti pertanyaannya hanyalah suara pintu ditutup.

Nares sudah pergi.


Nares masih setia menunggu di depan pintu unit apartemen miliknya. Matanya menatap lekat benda berbentuk segi empat yang ia genggam erat, berharap segera mendapat kabar tentang orang yang kini tengah ia nantikan.

Jarum jam bergeser, tanggal pun sudah berganti, Nares masih setia berdiri di sana, menunggu kehadiran Reksa. Kantung matanya semakin hitam, tapi jelas ia tak berselera untuk tidur.

Entah pada pukul berapa, suara langkah kaki terdengar. Pelan, tapi cukup jelas di lorong yang hening pada dini hari. Nares menengadahkan kepalanya. Tanpa ia sadari, napas lega dihembuskannya kala melihat sosok yang sedari tadi dikhawatirkannya. Tadinya Nares sudah berniat marah, tapi semua emosinya lenyap, terbang dibawa angin malam. Dilihatnya Reksa berjalan menghampirinya sambil membawa tas ransel yang cukup besar. Tidak, tidak. Pria kecil itu berjalan terlalu lama. Nares tak sanggup menunggu lebih lama lagi.

Seolah bergerak refleks, Nares menggerakan kaki jenjangnya dengan cepat. Begitu berhasil mempersempit jaraknya dengan Reksa, ia segera memeluk tubuh kecil itu erat-erat, melampiaskan kecemasan yang sudah dipendamnya sejak beberapa jam lalu.

“Eum?” Reksa yang tenggelam dalam pelukan itu menggeliat kebingungan. “Mas Nares belum tidur?”

Tadi pagi ngehindar, kenapa sekarang nempel kayak lem... Gerutu Reksa dalam hati.

“Lepas dulu coba. Aku kotor nih dari luar, belum mandi...” Reksa mendorong pelan tubuh di depannya. “...Eh?” Ia terkejut begitu Nares tiba-tiba langsung menurut, melepaskannya dan menjauh dengan ekspresi yang tak bisa dia artikan.

Ya iya, dia memang minta dilepaskan, tapi bukan berarti dijauhi seperti virus yang berbahaya.

“Mas Nares?” Reksa melambai-lambaikan telapak tangannya di depan wajah Nares yang memucat.

”... Kamu kenapa pulang telat?” Akhirnya Nares membuka mulut. Reksa langsung lega mendengarnya. Ia sempat mengira sosok di depannya itu makhluk halus!

“Tadi kerkom rencananya cuma nyicil dikit-dikit, tapi ngerasa tanggung terus jadi aku bablas, terus...”

“Kenapa handphone kamu mati?”

Reksa membelalakan kedua netranya. Omongannya dipotong?! Seorang Nareswara?! Menyela orang yang sedang berbicara?!

Reksa menggigit bibir dalamnya pelan. “Tadi habis batre, aku lupa bawa...”

“Jangan diulangi lagi.” Ucap Nares dingin, sebelum membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Reksa yang masih mematung.

“Serius deh, perasaan gue kemarin gak salah apa-apa. Kenapa Mas Nares aneh banget hari ini.” Omel Reksa jengkel sambil mengejar Nares untuk ikut masuk ke dalam apartemen.

Saat itu pula Nares tersadar, betapa pentingnya peran Reksa dalam hidupnya. Dia sudah jatuh entah sejak kapan. Mungkin ketika Jevan menceritakan betapa menyenangkannya keponakannya yang tinggal di Bandung, mungkin ketika air mata Reksa menetes di rumah sakit, mungkin ketika Reksa menawarkannya bahu untuk beristirahat. Nares sendiri tak tahu pasti. Tapi... apa boleh begini?