Pindah

“Ssst, Reksa, bangun...”

”... Eung?”

“Sarapan dulu, terus minum obat.”

Laki-laki yang baru saja bangun itu pun dibenarkan posisi duduknya oleh Nares. Reksa menatap pria di depannya dengan perasaan campur aduk. “Mas Nares gak kerja?”

“Ngaco! Gimana caranya saya bisa kerja kalau kamu masih belum sehat?” Dumel Nares. Punggung tangannya menyentuh kening Reksa, “Sudah gak panas... tapi minum saja obatnya untuk jaga-jaga, ya?”

“Hm...” Gumam Reksa.

Nares mengambil semangkuk bubur dari atas nakas. “Buka mulutnya.”

Sedetik... dua detik... tiga detik... Reksa masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

“Reksa?” Nares memandang pria yang masih sakit itu. “Kamu harus makan dulu sebelum minum obat demam.” Jelasnya.

“Harus disuapin, emangnya?”

”... Kamu sudah gak lemas, memangnya?” Balas Nares. “Kamu masih sakit, sayang.”

“Gak usah panggil sayang-sayang, emangnya sayang beneran?”

Nares terdiam. “Maaf, saya gak bermaksud...”

Reksa lalu merebut mangkuk itu dan langsung menghabiskan isinya dengan lahap. Dalam beberapa kejapan mata, semangkuk kecil bubur itu langsung ludas.

“Nih!” Reksa menyerahkan kembali bubur itu, sementara Nares masih mengerjapkan matanya tak percaya. Senyumnya mengembang, “Kenapa tiba-tiba jadi berenergi lagi?”

Reksa membalas senyuman itu. “Iya, harus nurut sama Pak Dokter biar cepat sembuh. Abis sembuh bisa pergi dari sini.” Ia menundukkan kepala dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, berusaha menyembunyikan netra yang sialnya mulai berkaca-kaca lagi.

”...Apa harus?” Nares terperangah, senyumannya lenyap dalam sekejap. Pria itu kini mengepalkan kedua tangannya.

Reksa mengangguk kecil. “Iya, harus. Aku mau benar-benar sembuh, dan pasti akan sulit kalau aku masih tinggal di sini. Mas Nares, tolong mengerti, ya?” Reksa terdiam sejenak. “Mas juga pasti risih tinggal serumah sama aku setelah tau semuanya.”

”... Jangan pindah.” Pinta Nares. “Kalau kamu gak mau lihat saya, biar saya yang pindah.”

Reksa mendongakkan kepalanya, “Mas pengen bikin aku tambah ngerasa gak tahu diri?”

Nares membelalakan matanya dan spontan menggeleng. “Bukan begi-”

“Lagipula Mas Nares udah kasih aku izin kemarin, ucapannya gak boleh ditarik lagi. Jangan rusak kepercayaan aku, ya?”

Pria yang lebih tua terpaku sesaat sebelum akhirnya mengangguk kaku. “Saya ambil obatnya dulu, ada di luar.” Ucapnya sekilas sebelum pergi meninggalkan Reksa.

Reksa memandang punggung yang menjauh itu sedih.

Memorinya kembali pada hari pertama dimana ia mengenal seorang Arsa Nareswara. Salah satu hari terburuk di dalam hidupnya.

Keduanya terpuruk, tapi yang lebih tua terus berlagak kuat demi menjaganya. Sampai-sampai ia kira Nares memang setangguh itu jika saja malam yang sunyi tidak memperdengarkan isakan pilu pria itu.

Pria ini, pria yang membuat hatinya tercabik-cabik ini adalah orang pertama yang menggenggam tangannya kala ia gemetar karena takut. Nares adalah yang pertama menyodorkan punggung demi melindunginya dari caci maki dan pukulan keluarganya. Padahal kala itu mereka hanya orang asing yang tak mengenal satu sama lain, tapi Nares rela memeluknya saat ia terkena serangan panik. Pria asing ini pula yang menawarkan diri untuk menjaganya tanpa membuatnya merasa rendah.

Bagaimana bisa ia tidak jatuh?

Reksa merasa dihargai, disayangi, dicintai.

Ia terlena hingga lupa bahwa semua ini terjadi hanya karena sepucuk surat permintaan dari pamannya yang baik.

... Iya, kan?