Pukul 15.00

Reksa sudah terduduk manis dengan pakaian terbaiknya di atas kasur. Untuk kesekian kalinya, ia melirik jam dinding.

Ah, masih pukul tiga sore.

“Dua jam lagi.” Gumamnya sambil menggosok-gosok kedua tangan dengan gelisah. “Berangkat sekarang aja, gitu?”

Sedetik kemudian, Reksa langsung menggeleng-geleng sendiri. “Ih, kayak apa aja. Berasa desperate banget aku…”

Pemuda itu berdiri dari kasur, sekali lagi menatap ke cermin kecil di atas lemari, menatap wajahnya yang merona. “Nanti gimana cara tanyanya… Ah?” Matanya menangkap kardus kecil yang tergeletak asal di ujung ruangan dari pantulan cermin.

Paket dari Jevan. Reksa ingat. Berbulan-bulan lalu, ia tidak jadi membukanya karena terlalu takut dan menaruh barang-barang pemberian pamannya itu ke dalam kardus.

Waktu itu, dia berniat akan membukanya kalau sudah siap dengan segala konsekuensi—siap menerima dan membaca apa pun yang merupakan isi dari paket itu.

Reksa membalikkan badannya, melangkah mendekati kotak itu. Sekarang, rasanya ia tak punya alasan untuk takut lagi. Kepalanya tak lagi dipenuhi dengan skripsi maupun tugas-tugas yang menguras hati dan tenaga, sementara itu hubungannya dengan Nares… ah, Reksa belum tahu. Tapi, firasatnya bilang, semua akan berjalan ke arah yang baik.

Semoga saja.

Reksa kembali melirik ke arah dinding jam. Sudah lewat sepuluh menit, artinya masih ada satu jam lima puluh menit lagi sebelum ia bisa berbincang dengan Nares.

Ia berjongkok di depan kardus itu dan membukanya, mengambil barang-barang yang ada di sana satu demi satu. Buku, dua amplop, dan boneka Moomin kesenangannya. Sepertinya, membuka ini tak akan memakan waktu terlalu lama, kan?

Reksa mau buka sekarang.

Satu jam lima puluh menit, lebih dari cukup.


Begitu Reksa membuka mata, ia mendapati dirinya sudah terbaring sendirian di sofa. Tak ada sosok Nares yang ia kira akan ada di sampingnya begitu ia bangun. Reksa tersenyum lirih. Apa yang ia harapkan?

Ia terduduk, mengumpulkan kesadarannya. Serpihan demi serpihan memori mulai memenuhi kepala. Reksa melihat keadaan di sekelilingnya, dan raut mukanya langsung berubah kala menyadari ruangan tempatnya berada kini sudah bersih seperti sedia kala. Kaleng beer yang kemarin ia buang asal di seluruh jengkal ruangan ini menghilang. Wajahnya semakin memucat kala menyadari ada selembar sticky note di meja.

Reksa, saya harus kembali ke rumah sakit karena ada panggilan darurat. Kali ini, saya janji, saya tidak akan kabur.

Dengan panik, Reksa berjalan ke kamarnya tertatih-tatih. Kepalanya masih pusing karena efek alkohol. Ia mendesahkan napas lega begitu melihat kamarnya masih dalam keadaan berantakan yang sama.

Untung saja.

Nares tak masuk.

Reksa mengingat kejadian semalam. Ia memegang dada kirinya, letak jantungnya berada. Sakit lagi.

Kemarin, keinginannya terwujud. Semuanya terasa sempurna. Kemarin, Reksa sudah egois. Tak mempedulikan orang lain, termasuk Jevan.

Reksa menunduk, membiarkan air matanya jatuh lagi membasahi lantai.

Waktunya untuk egois sudah habis. Kini, mari jalankan yang seharusnya ia lakukan.

Ia kembali menatap sticky note yang sudah remuk karena ia remas dengan kepalan tangannya.

“Maaf.”


Nares melirik arloji yang dipakainya. Sudah pukul empat sore lagi. Pria itu bergegas naik ke mobilnya dan pergi ke rumah Reksa… eh, tunggu. Mengingat sesuatu yang fatal, Nares membalikkan arah setirnya menuju apartemen miliknya.

Ya, betul! Dia belum mandi sejak kemarin sore!

Nares telah lama tak pernah merasa sejorok ini, terakhir kali dia tak mandi dalam sehari itu sudah beberapa tahun yang lalu, ketika ia masih menjadi dokter koas.

Kalau dia ke rumah Reksa dengan keadaan menjijikan seperti ini, bisa-bisa yang menyambutnya adalah gelakan Reksa yang menertawakan dirinya atau malah-malah, kalau anak itu sedang dalam situasi yang buruk, bisa-bisa dia diomeli panjang lebar.

Maka dari itu, opsi terbaik adalah membersihkan diri dulu sebelum mencari Reksa.

Omong-omong, hari ini Reksa belum mengiriminya pesan apa-apa lagi. Apa anak itu malu karena kejadian, ehem, kemarin?

Jujur, Nares pun gugup. Tapi, ia bahagia. Rasanya, semua beban yang menumpuk di pundaknya menghilang seiring dengan pilihannya untuk jujur.

Yah, tidak semua, sih. Mungkin sehabis ini Nares harus menghadapi banyak sekali masalah baru. Misal, cara menghadapi keluarganya…

Baru dipikir saja sudah cape sekali.

Tapi tak apa, asal ada Reksa bersamanya, Nares tahu ia sanggup.


Aneh. Itulah yang dipikirkan Nares kala ia sampai di depan rumah Reksa. Pria itu membuka pagar dan pintu rumah dengan kunci serep yang diambilnya kemarin malam dari laci depan. Tapi, tak ada tanda-tanda keberadaan Reksa di sana. Pria itu melirik arlojinya lagi.

Sudah pukul enam sore, kok. Tak seharusnya Reksa masih bekerja di café.

Apa lampunya mati karena Reksa tertidur?

Masih dengan seribu pertanyaan di benaknya, Nares melangkah masuk ke dalam.

“Reksa?” Panggilnya.

Tentu, tak ada jawaban yang diharapkan. Pria itu mulai melangkah, menjelajahi rumah langkah demi langkah. Nihil. Tak ada siapa-siapa. Ia lalu menatap pintu kamar Reksa dengan sangsi.

Apa boleh dia masuk ke sana?

Tok… Tok…

“Reksa, kamu ada di dalam?” Panggilnya agak keras dari luar kamar.

Masih tak mendapat sahutan, pelan-pelan Nares menggenggam ganggang pintu dan membukanya.

Tak ada orang.

Apa Reksa sedang bermain bersama teman-temannya sampai lupa waktu?

Sebenarnya tak apa, hanya saja Nares khawatir kalau-kalau Reksa-nya lupa makan malam.

Nares membuka ruang obrolannya dengan Chandra, mencoba memastikan keadaan Reksa.