Demam

Pukul 18.43

Kedua mata Nares langsung membulat begitu melihat pesan yang dikirim Chandra. Ia spontan meminta izin untuk pulang lebih dulu dari rumah sakit dan menyetir pulang.

Sesampainya di rumah, yang menyambutnya pulang hanyalah kegelapan. Tak ada sapaan riang yang biasa didengarnya begitu pintu dibuka, tak ada pula omelan karena keteledorannya lupa mencuci piring di pagi hari.

Hening, sepi.

Ia menelan air liurnya susah payah, berusaha mengeluarkan nama itu dari tenggorokannya. “... Reksa?”

Tak ada balasan.

Pria itu melangkahkan kakinya di tengah kegelapan sambil mencari-cari letak kamar orang yang dicarinya. Tak begitu sulit, sebab matanya sudah beradaptasi dengan cahaya yang minim dan ia sudah hapal letak ruang di unit apartemennya.

Helaan napas lega keluar dari belahan bibirya kala ia menemukan ruangan yang dicarinya. Dilihatnya samar seorang laki-laki tidur menelungkup dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Kelegaan Nares yang singkat seketika tertutupi kembali dengan rasa cemasnya. Ia menghampiri sosok itu, menyentuh kening yang penuh peluh dengan punggung tangannya.

Panas.

Tanpa basa-basi, Nares bergegas mencari-cari termometer, yang langsung ditemukannya di nakas kecil di samping ranjang.

38,6 derajat.

“Reksa...” bisik Nares sambil menepuk bahu pria itu pelan. Sebagai hasilnya, yang dipanggil menggeliat tak nyaman dengan kening semakin berkerut.

“Kamu sudah minum obat?” Tanya Nares begitu Reksa membuka sedikit kelopak matanya. Pria yang sedang sakit itu menggumam kecil mengiyakan.

“Sudah lewat berapa jam? Obat yang ada di kotak P3K, bukan?”

Lagi-lagi gumaman asal yang menjawab pertanyaannya. Nares menggigit bibir bingung, sebelum memutuskan untuk mengambil handuk kecil dan sebaskom air hangat.


Pukul 20.46

Lengket. Pusing. Lemas. Tak nyaman. Kata-kata itulah yang ada di pikiran Reksa kala kesadaran mulai menghampiri. Susah payah, pemuda itu membuka setengah kelopak matanya, hanya untuk mendapati sosok yang tak dilihatnya dari kemarin tengah menatapnya juga.

Jika di hari-hari biasa, pasti Reksa merasa canggung dan langsung melenggang kabur.

Tapi kini tubuhnya masih terlalu lemas untuk itu, bereaksi pun sudah cukup memakan energinya.

Sementara itu, pria yang lebih tua sontak lebih mendekat pada oknum yang baru bangun itu. Dengan hati-hati, ia bertanya, “Reksa, ada yang sakit?”

Reksa mengangguk kecil sebelum kembali memejamkan matanya, enggan menatap orang di depannya lebih lama lagi.

“Di mana yang sakit?”

”... Semua...” Jujur Reksa. Setiap sel dalam tubuhnya mengerang kesakitan. Matanya masih bengkak, hidungnya sakit, kepalanya pusing akibat terlalu banyak menangis, seluruh tulang dan sendinya lemas, organ pencernaannya meraung karena belum diisi apa-apa hari ini. Yang terberat, jantungnya masih terasa tercabik-cabik, dan perihnya semakin terasa ketika ia dapat merasakan presensi Nares di dekatnya. Reksa tak pernah tahu bahwa seseorang dapat sesakit ini.

Nares yang mendengarnya langsung panik, “Kita ke rumah sakit, ya?”

Tapi ajakannya itu dibalas dengan gelengan lemah. “Mas... pergi aja...”

Seolah tak mendengar apa-apa, Nares tetap setia duduk di samping kasur. Mengangkat handuk yang sudah tak lagi dingin dari kening Reksa dan menggantinya dengan handuk yang baru.

”... Kenapa balik lagi?” Tanya Reksa.

Nares mengambil termometer digital dan mendekatkannya pada dahi Reksa.

37,9 derajat.

Sudah jauh lebih baik. Pria itu lagi-lagi menghembuskan napasnya lega sebelum mengelap peluh di keningnya sendiri dengan tangan.

“Reksa, kaki dan tangannya pegal ya, pasti? Mas pijit, ya?” Tawarnya.

“Mas beneran... mau anggap yang kemarin itu gak pernah terjadi, ya?” Reksa terus berucap. Kedua adam itu sama-sama tak mengindahkan pertanyaan yang dilontarkan satu sama lain.

Ruangan itu sesaat kembali hening, sebelum Nares memegang kaki Reksa yang dibalut celana piyama dan memijitnya pelan. Tak munafik, yang lebih muda merasa nyaman. Rasa sakit fisik yang menderanya berkurang sedikit, tapi dadanya semakin sesak. Kedua matanya seolah tak pernah lelah memproduksi air mata, karena sekarang miliknya sudah berair lagi.

“Mas Nares... Tapi aku gak bisa lupa...” Isak Reksa dengan suara yang masih parau. Tak lama kemudian, dirasakannya sepasang tangan yang lebih kasar dari miliknya mengusap kelopak matanya.

Reksa membuka netranya, lagi-lagi bersitatap dengan milik pria yang menyakitinya itu. Ia menunggu lontaran yang keluar dari mulut itu, tapi Nares hanya tersenyum kecut. “Reksa, baju kamu mau diganti? Takutnya sudah gak nya-”

Reksa mendorong tangan laki-laki itu, memotong ucapannya. Tak berguna, karena dirinya tak memiliki tenaga sama sekali saat ini. “Pergi aja.”

”...Apa?”

“Tolong pergi...” Reksa ingin berteriak, tapi suara seraknya tak dapat diajak berkompromi. Bulir-bulir air mata kembali menghiasi pipinya. “Tolong...”

Pemuda itu membalikkan tubuhnya, enggan menatap Nares. Maka ia tidak tahu bahwa orang yang dipunggunginya kini tengah mengusap air matanya kasar sambil membekap mulutnya untuk menahan suara keluar dari sana.

Keduanya hancur.


Pukul 02.36

Reksa kembali terbangun, kali ini dia menemukan pakaiannya sudah diganti dengan yang baru. Ia menoleh, mencari keberadaan orang yang ia sendiri tak tahu apakah ia harapkan masih berada di sini. Tak perlu effort lebih, karena begitu ia memutar balikkan tubuhnya ia langsung melihat Nares, masih dengan pakaian yang sama seperti hari sebelumnya, tengah menatapnya juga.

Dengan pandangan yang masih belum bisa Reksa artikan.

Mendapati orang yang dijagainya telah bangun, Nares langsung beranjak meninggalkan kamar. Reksa sempat mengerutkan keningnya bingung, namun pertanyaan di benaknya langsung hilang begitu Nares kembali dengan semangkuk kecil bubur yang... Reksa akui wangi, tapi dia tak berselera.

“Reksa, makan dulu sedikit, ya?” Sahut Nares sambil membenarkan posisi Reksa agar duduk bersandar di kasurnya. “Supaya bisa minum obat.”

Reksa menggeleng enggan.

“Sedikit saja... beberapa suap, ya?”

”,,, Kalau aku nurut...” Reksa memandang Nares, “Mas bakal turutin permintaan aku?”

“Reksa-”

“Gak akan aneh-aneh. Gak bakal minta Mas Nares suka balik sama aku.” Reksa tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri. “Aku masih tau diri.”

“Jangan bicara seperti itu.” Nares menggigit gusinya keras guna menahan rasa perih yang menjalar di dadanya. “Saya janji, turutin permintaan kamu asal kamu sembuh.” Sambil berkata begitu, ia mulai menyendokkan bubur dan membawa mangkuknya mendekati bibir Reksa.

Baru beberapa suap, yang lebih muda sudah tak mau lagi membuka mulutnya. “Udah, Mas. Mual.”

Nares mengangguk mengerti sambil melirik jam dinding. “Lima belas menit lagi minum obat. Sekarang mau lanjut tidur dulu?”

Reksa menggeleng. “Udah gak ngantuk...”

Nares kembali menempelkan punggung tangannya di dahi pasiennya ini. “Sudah gak begitu panas.” Gumamnya. “Masih ada yang sakit?”

“Di sini...” Reksa menuntun tangan Nares yang satunya lagi ke dadanya. “Pak Dokter, di sini dari kemarin sakit banget. Gimana ngobatinnya, ya?” Reksa tertawa lagi, kali ini lagi-lagi matanya yang cengeng mulai berair. Nares di depannya diam beberapa saat sebelum berucap pelan. “Reksa, maaf.”

Tak ada jawaban. Mereka diam di posisi itu seakan-akan jam berhenti berdetak. Hingga akhirnya Nares menarik tangannya kembali. “Sudah waktunya minum obat.” Ia berdiri, “Saya ambilkan minum dan obatnya dulu.” Dalihnya untuk pergi.

Reksa menatap punggung itu nanar. Dalam hatinya ia berhitung, sudah berapa kali ia melihat punggung Nares yang meninggalkannya?

Beberapa menit setelahnya, Nares kembali. Reksa pun meminum obatnya dengan patuh, menjalankan janji yang telah disepakatinya dengan yang lebih tua. Di malam ini, untuk pertama kalinya Nares tersenyum tulus, lega melihat Reksa sudah lebih berenergi. “Sekarang lanjut tidur, ya? Jangan takut. Saya tetap di sini.”

“Oke... Tapi Mas...” Reksa menunduk.

“Iya?”

“Nanti aku boleh pulang, ya? Ke rumah Mama. Aku mau tinggal sendiri aja.”

Nares tercekat. “Reksa, kita bicarakan ini nanti, ya? Kamu sembuh du-”

“Mau pulang, mau ke rumah Mama.” Ucap Reksa susah payah dengan suara bergetar. “Gak mau di sini lagi... Mas, tolong...”

”... Boleh.” Balas Nares pada akhirnya. “Boleh, sayang. Sekarang istirahat, ya?” Bisiknya sembari mengelus rambut Reksa yang sudah basah karena peluh. “Cepat sembuh, supaya Reksa nanti bisa lekas pulang.”

Setelah memastikan kedua mata Reksa sudah terpejam rapat, pria itu mengambil termometer untuk terakhir kalinya, memastikan bahwa suhu tubuh Reksa benar-benar sudah turun.

37,6 derajat. Ia menghela napas lega untuk kesekian kalinya, sebelum melenggangkan kakinya menjauhi kasur. Begitu hampir membuka kenop pintu, Nares teringat janjinya untuk tetap berada di sini, janjinya menjaga Reksa kala pemuda itu tidur. Akhirnya, ia memilih untuk duduk di ujung ruangan, pada permukaan lantai yang dingin dengan punggung bersandar pada dinding. Tangisnya perlahan terpecah seiring dengan suara dengkuran Reksa.

Ia bersalah, ia pendosa. Ia menyalahi norma, juga menyeret Reksa hingga keduanya sama-sama jatuh.

Nares berani bersumpah, sekali pun tidak pernah terlintas di benaknya untuk menyakiti Reksa, tapi dia tak sanggup melihat kesayangannya itu disakiti lebih dalam oleh orang lain, oleh ancaman dari orang-orang di sekitarnya.

Cukup satu orang yang ambil peran jahat dalam kisah ini, jangan ayahnya, jangan orang lain.

Biar ia yang dibenci oleh kesayangannya itu, asal bukan Reksa yang menjadi target kebencian dari keluarganya.