Makan Malam

“Reksa, sudah bangun?” Nares seketika berdiri begitu melihat pria mungil itu keluar dari dalam kamar. Sayangnya, perhatian Reksa hanya tertuju pada wanita yang duduk manis di sofa.

“Di dapur sudah ada makan malam, mungkin sudah agak dingin, sebentar, saya panaskan du...”

“Nares, ini siapa?” Wanita yang sedari tadi terduduk anggun akhirnya berdiri dan mendekati Reksa. Kedua maniknya bertubrukan dengan milik pria yang baru saja bangun itu. Perempuan itu menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk senyuman yang, bagi Reksa, manis sekali.

“Oh... ini... keponakan saya.” Nares menggaruk tengkuknya.

“Oh, ya? Aku kira kamu tinggal sendirian. Ayah kamu gak bilang kamu tinggal berdua sama keponakan.” Perempuan dengan senyum menawan itu mengulurkan tangannya pada Reksa. “Salam kenal, saya Fanya.”

“Ini rekan kerja yang saya bilang akan datang hari ini, Reksa.” Tambah Nares sambil menatap Reksa.

Satu detik, dua detik, tiga detik.

Reksa hanya menatap tangan yang disuguhkan di depannya tanpa menyambut uluran itu, membuat hawa di antara mereka bertiga mendingin dalam sekejap.

Senyum manis Fanya pun perlahan memudar.

“Eh... sepertinya Reksa masih linglung karena baru bangun...” Nares terkekeh. “Reksa? Kamu mau makan dulu saja?”

Tak ada jawaban. Nares berdeham canggung dan mengalihkan tatapannya pada wanita yang masih berdiri kaku di sampingnya. “Emm... Fanya... terima kasih untuk kue dan sayurnya. Saya akan mulai kerja Senin besok. Sepertinya sekarang sudah cukup malam, gimana kalau...”

“Ah... oke!” Fanya kembali memamerkan gigi putihnya, menyahuti Nares. “Aku pulang dulu aja, ya? Kayaknya gak baik masih di sini sampai jam segini.” Ia mengambil tas jinjingnya dari sofa.

Nares mengangguk. “Mari saya antar ke depan.”

“Sampai jumpa lagi, Reksa!” Fanya melambaikan tangannya ramah sebelum mengikuti Nares ke pintu depan.

“I-iya...” Jawab Reksa pelan, sampai-sampai mungkin tak terdengar oleh Fanya, apalagi Nares.

Begitu kedua bayangan itu hilang dari jangkauannya, Reksa menghembuskan napasnya. Entah karena lega kedua orang itu akhirnya hilang dari pandangan, atau khawatir Nares akan marah ketika kembali nanti.

Sepertinya lebih karena kemungkinan kedua.

Tolong jangan salahkan Reksa, dia pun baru saja bangun, otaknya tak bisa mencerna semua ini dalam sekejap. Suara tertawa Nares, kehadiran Fanya...

Ah, tidak juga. Reksa sudah cukup dewasa untuk tahu bahwa apa pun alasannya, tak seharusnya ia bersikap tidak sopan seperti barusan.

Apalagi pada gadis dengan senyum indah seperti Fanya.

Apalagi dia bukan siapa-siapa.

Ya sudahlah, paling-paling Nares akan mengacuhkannya lagi seperti pagi tadi. Reksa menggeleng-geleng sambil tertawa. Baru saja berbaikan tadi siang, tapi dia sudah lupa diri lagi. Dia kan hanya menumpang, bisa-bisanya bertindak begitu pada tamu sang tuan rumah.

Tapi Reksa cemburu.

Tapi balik lagi, dia bukan siapa-siapa.

Reksa masih bergelut dengan pikirannya begitu suara langkah kaki kembali hadir. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di dalam poni yang cukup panjang, berharap tak perlu berhadapan dengan Nares.

“Reksa, makanannya saya hangatkan dulu di microwave, ya?”

Reksa mendongakkan kepalanya cepat, menatap Nares yang sudah berlalu melewatinya menuju ke dapur.

Tak ada bentakan, bahkan dia tak dianggap angin lalu.

”... Atau kamu mau makan kue yang tadi dikirim Fanya?” Tanya Nares dari dapur.

Reksa spontan menolak. Ia menghampiri Nares dan mengambil piring berisi makan malam dari tangan pria itu. “Aku bisa sendiri.”

Nares menyenderkan punggungnya pada dinding, menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil mengamati Reksa yang tengah menunggu makanan dipanaskan di microwave.

Reksa tentu tahu dirinya sedang dipandangi, tapi dia berlagak seolah tak sadar.

“Kamu marah sama saya? Kenapa diam terus?” Tanya Nares setelah beberapa saat.

Reksa mengerutkan dahinya, kedua maniknya lebih memilih untuk menatap lantai daripada bersitatap dengan laki-laki yang mengajaknya bicara. “Aku kira Mas Nares yang seharusnya marah sama aku.”

“Kenapa saya harus marah sama kamu?”

“Aku tadi gak sopan...”

Nares menepuk rambut Reksa pelan, “Fanya gak mempermasalahkan, kok.”

Reksa menggigit lidahnya. Oke, jadi Nares tak marah karena Fanya yang berhati besar. Kalau begitu, sepertinya Reksa harus berterima kasih pada wanita itu, ya?

“Tapi kamu lain kali tidak boleh seperti itu, Reksa.” Lanjut Nares. “Kamu sendiri sadar itu bukan perbuatan sopan.”

Reksa menundukkan kepalanya semakin dalam, mengacuhkan tatapan Nares yang masih berpusat pada dirinya. “Maaf.”

“Gak apa-apa.” Nares menepuk-nepuk bahu Reksa pelan. “Kamu jangan nunduk terus, dong. Itu microwave-nya sudah bunyi. Keluarkan makanannya.”

Reksa mengangguk, mengikuti perintah Nares dan membawa makanan yang sudah hangat itu ke meja makan untuk ia santap. Seperti anak ayam mengikuti induknya, Nares mengekori Reksa, mengambil kursi di hadapan pria itu, dan tetap memandangi wajahnya ketika ia sibuk makan sampai Reksa tak tahan lagi. Dahinya mengkerut hingga kedua alisnya hampir membentuk satu garis. “Mas Nares jangan lihatin aku terus, dong! Gimana aku mau makan kalau dipandangin mulu!”

Pria yang duduk di depannya itu tergelak. “Akhirnya Reksa balik marah-marah lagi.”

”...” Reksa bingung harus menjawab apa, maka ia memilih kembali fokus menghabiskan masakan Nares daripada harus menanggapi pria di hadapannya.

“Saya benar-benar minta maaf untuk hari ini.” Nares membuka bibirnya lagi. Ia diam-diam menggosokan kedua tangannya di bawah meja untuk mengurangi rasa gugup. “Saya sudah buat kamu sedih dari pagi. Seharusnya juga saya gak mempersilahkan tamu seenaknya datang padahal salah satu penghuni rumah ini masih tidur.”

Reksa tersedak mendengarnya.

“Ini kan rumah Mas Nares, terserah Mas aja mau bawa siapa ke rumah.”

“Kamu juga tinggal di sini.”

“Aku cuma numpang...” Reksa menelan makanan yang tersisa di mulutnya. “Lagipula Mas Nares udah bilang tadi siang, akunya aja yang lupa. Terus nge-blank.”

“Intinya, kamu mau maafin saya?”

Reksa mengangkat bahunya. “Gak ada yang perlu dimaafin. Mas Nares gak salah apa-apa.”

“Berarti kita damai?” Nares memastikan.

“Sejak kapan kita gak damai?”

Nares memajukan bibirnya. “Kalau damai, kenapa kamu beda dari biasanya?”

“Beda gimana?”

“Ya... beda, gak banyak protes, gak banyak ngomel, gak banyak marah-marah...”

Reksa menyipitkan matanya sebal. “Kok yang disebut yang jelek-jelek? Kalo gitu harusnya Mas seneng, dong! Aku gak ngeselin kayak biasanya!”

“Harusnya sih, iya. Tapi kok saya malah rindu, ya...”

”...”

”...”

“AKU UDAH KENYANG! MAU LANJUT TIDUR DULU! DADAH!” Tanpa menghiraukan tatapan Nares, Reksa bergegas memasukkan sisa makanan ke dalam kulkas dan langsung melenggang pergi, meninggalkan Nares yang kebingungan sendirian.

“Saya salah bicara lagi...?”