Tamu

”... Masuk dulu, Mas?” Tawar Reksa ketika mendapati pria yang dirindukannya berdiri menjulang di depan pagar dengan kendaraan beroda empat miliknya terpakir rapi di tempat yang tak menghalangi orang berlalu-lalang.

Nares menggeleng. “Gak perlu. Katanya kamu sedang sibuk? Saya bicara di sini aja.”

Ah. Reksa rasanya ingin mengubur diri saja. Ia melirik pakaian tidur dan segelas bubble tea di tangan kirinya. Dari sudut pandang mana pun ia tak terlihat seperti “orang yang sedang sibuk”.

“Eng-engga kok. Ke dalam dulu aja, Mas. Udah mulai gerimis, jangan berdiri di luar. Gak enak juga kalau kelihatan tetangga.” Reksa membuka pagar dan mempersilahkan laki-laki berkemeja putih itu masuk. Ia menarik ujung kemeja Nares sambil berjalan ke dalam rumah, seolah-olah takut pria itu menghilang jika saja ia lepaskan.

Nares menundukkan kepalanya, memandangi tangan kecil Reksa yang menjamah ujung kemejanya. Ia tersenyum simpul, telapak tangannya mengambil alih tangan Reksa yang memegang erat kemejanya itu. Reksa yang sadar tangannya ditangkup oleh telapak yang lebih besar darinya itu langsung terlonjak dan refleks menarik tangannya. Kehangatan yang dirasakan keduanya lenyap dalam sedetik.

Nares menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal. “Ah, maaf.”

Reksa hanya menatapnya datar, menahan keinginan untuk berteriak, “Dasar b-u-a-y-a!”

“Duduk di sofa aja, Mas.” Ujarnya, menunjuk sofa kecil di ruang tamu. “Mau minum apa?”

Nares menurut dan langsung meletakkan pantatnya di sofa yang tak terlalu empuk itu. “Bebas. Air mineral saja.” Ia mengusap-usap kedua telapak tangan pada lututnya guna mengurangi rasa gugup.

Reksa mengangguk dan lantas pergi ke dapur. Sementara itu, Nares memandangi punggung kecil yang semakin menjauh. Keresahan kembali memenuhi akalnya, membuatnya bimbang untuk merealisasikan keputusan yang telah ia buat.

Nalarnya terus menegaskan agar ia berhenti. Agar dirinya jangan kembali menyinggung perihal perasaan dan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Seperti kata Fanya, apa gunanya? Apa gunanya Reksa tahu perasaannya jika ujungnya mereka tak bisa bersama? Jangan-jangan, ia malah akan menorehkan luka yang lebih dalam lagi bagi orang yang disayanginya itu. Ia pun sadar sesadar-sadarnya bahwa mengutarakan isi hatinya tak akan bisa mengubah apa-apa. Tapi di sisi lain, suara hatinya berteriak bahwa Reksa berhak tahu. Pemuda itu berhak tahu bahwa dia tidak jatuh sendirian, bahwa dia dicintai dan disayangi. Reksa berhak tahu segalanya. Semuanya. Tanpa kecuali.

Pikirannya masih bergelut kala Reksa kembali dengan dua gelas teh hangat. Ia meletakkan salah satunya di depan Nares dan mengambil tempat duduk di hadapan pria itu.

“Mas, mau bicara apa sampai repot-repot datang ke sini?”

“Ah, itu...” Nares meneguk ludahnya.

Sel-sel saraf pada otaknya masih berperang dan membuat kepalanya pening. “Mas?” Reksa melambaikan lengannya di depan wajah Nares. “Ada apa?” Kini rautnya berubah menjadi khawatir. “Ada sesuatu yang salah?”

Nares sontak menggeleng cepat, tapi keringat yang mengalir dari pelipisnya mengatakan sebaliknya.

“Saya mau jujur tentang satu hal...”

Reksa mengangguk. “Go ahead.

“Ini tentang kita.” Nares menatap Reksa tepat pada maniknya. “Sebenarnya, saya jug-”

“Eh, sebentar, Mas.”

Suara Nares langsung terhenti ringtone handphone menginterupsi pengakuannya. Ia menghela napas entah karena lega atau kesal, sementara Reksa menjawab panggilan itu.

“Halo? Kak Lucas, kenapa?”

Kedua alis Nares membentuk kerutan di keningnya kala mendengar nama yang tak asing itu.

Alisnya semakin tertekuk saat melihat pemuda di depannya ini menunggingkan senyum manis sambil mendengar suara pria lain di ujung telepon.

“Pesan? Ah, Kak Lucas ngirim pesan? Maaf, belum aku lihat.”

Senyuman itu kian detik semakin melebar, membuat Nares terpana sekaligus tersakiti di saat yang bersamaan.

“Hah? Kakak mau ke sini? Emangnya tentang apa sih, sepenting itu?”

”...”

“Besok aja, Kak. Kan nanti juga ketemu di cafe.”

”...”

“Udah deket? Ya... ya udah deh, terserah. Aku lagi di rumah, kok. Cuma ini lagi ada tamu.” Reksa melirik Nares tanpa sadar dirinya mengucapkan kata yang lagi-lagi membuat pria berkemeja itu terpaku di tempatnya.

Tamu.

Ah, benar juga, ia kini hanya seorang tamu.

“Ya udah, nanti aku bukain pintunya. Bawa payung, kan? Langitnya mendung. Naik apa? Mobil?”

”...”

“Oke, Kak! Aku tutup ya.”

Reksa menutup panggilan itu dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. Ketika ia mendongak, senyumnya perlahan luntur melihat Nares lagi-lagi menatapnya dengan pandangan yang tak bisa ia artikan.

Tahan, tahan. Jangan baper. Fokus. Batinnya.

“Mas, tadi sampai mana? Maaf, tadi Boss aku tiba-tiba telepon.”

“Atasan di tempat kamu bekerja?” Tanya Nares.

Reksa mengangguk mengiyakan. “Iya, pemiliknya.”

“Kalian dekat?”

“Hah?”

“Eh, enggak... maaf, lupakan.” Nares merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia takut Reksa kembali kesal karena dirinya kembali mencampuri urusan anak itu.

“Lumayan sih... Dia friendly, aku juga dekat sama pekerja-pekerja lain di sana.”

“Bagus, deh.” Nares tersenyum.

“Mas tadi mau bilang apa? Maaf jadi kepotong.”

“Ah... Sebenarnya...” Ia mengacak rambutnya. “Aduh, saya bingung harus memulai dari mana...” Nares tertawa, memecah kecanggungan yang sebenarnya hanya dirasakan oleh dirinya sendiri.

Reksa ikut tertawa kecil mendengarnya. “Ya udah, santai aja. Nanti aja ngomongnya. Eh, gak mendesak, kan?”

“Mendesak!” Sanggah Nares. “Eh... enggak juga sih...” Bantahnya sendiri. “Maksud saya... saya takut kalau gak bilang sekarang, saya gak akan berani lagi...”

Pria dengan setelan tidur yang duduk di depannya itu kini mengerutkan dahi karena penasaran. “Apa, sih? Gak biasanya Mas Nares bertele-tele. Nolak aku aja waktu itu gak pake basa-basi dulu.”

Jleb.

“M-maaf...”

Reksa terbahak. Hatinya puas. Sudah lama sekali sejak ia menggoda pria di hadapannya ini. Ya, meskipun rasa puasnya bercampur dengan perih... hanya sedikit, kok! Ia kan sudah merelakan, hehe, hehe... iya, kan?

Nares berdeham. “Saya gak tahu apakah kamu masih peduli atau tidak,” Ia menjilat bibirnya yang kering karena gugup. “Tapi, saya rasa kamu berhak tahu dan marah sama saya.” Ia menunduk. “Maaf, Reksa. Saya...”

Ting!

Suara bel rumah yang dibunyikan.

Kedua orang itu kini bertatapan. “Ah... ha... ha... Kayaknya itu Kak Lucas, deh. Tadi dia bilang mau mampir bentar.” Jelas Reksa.

“Oh...”

“Aku... pergi dulu... bukain pintunya?” Reksa memasang senyum canggung. Tak enak karena lagi-lagi ucapan Nares terpotong.

Pria yang lebih tua itu mengangguk dan menyesap teh hangatnya.

Beberapa saat kemudian, Reksa kembali hadir bersama sosok yang lebih tinggi di belakangnya. Nares berdiri dan sedikit membungkukan tubuhnya pada Lucas untuk mengucap salam, pria itu pun melakukan hal yang sama padanya sebelum menepuk pundak Reksa. “Sa, gue mau minjem toilet boleh, gak?”

“Pfft! Iya, itu pintunya yang di sebelah dapur.”

Thanks!” Ucap Lucas sebelum berlari kecil.

Reksa mengalihkan pandangannya pada Nares yang kini sudah kembali duduk.

Pria itu meneguk habis teh di gelasnya. “Dia kelihatan baik.”

Reksa mengangguk. “Haha, emang baik kok, cuma agak tengil aja.” Jelasnya. “Tapi dia baik banget ke aku, sering nemenin aku di cafe sampai larut malam juga waktu aku ngerjain skripsi.”

“Reksa, kamu sekarang bahagia?”

“Eh?” Tiba-tiba sekali?

Reksa mengerjapkan matanya sebelum mengangguk patah-patah. “Tentu.”

“Lebih bahagia dari dulu?”

Reksa memandang Nares heran. Dulu? Dulu itu kapan? Tapi ia tetap menganggukan kepalanya meski dengan ragu-ragu.

Senyum kecil sontak terbit di belahan bibir laki-laki yang lebih tua. Nares beranjak dari sofa kecil tempatnya duduk dan menghampiri pria pujaannya itu. Tangan kanannya terulur, menepuk pelan puncak kepala Reksa yang sejengkal lebih pendek darinya.

“Baguslah. Saya harap kamu selalu bahagia.” Ucapnya tulus. “Kalau begitu... saya pulang saja, ya?”

Reksa mengernyitkan dahinya. “Pulang? Bukannya Mas Nares pengen bilang sesuatu...” Keheranannya itu ia telan bulat-bulat saat melihat gelengan pria di depannya.

“Enggak. Saya pikir-pikir lagi, sebenarnya yang ingin saya bicarakan bukan sesuatu yang penting. Sudah tidak ada gunanya bilang tentang hal itu ke kamu.” Ia menundukkan kepalanya sambil terkekeh.

Reksa menggigit bibir bawahnya. Apa yang dimaksud dengan “itu”? Apa Nares ingin mengaku tentang hubungannya dengan Fanya?

Laki-laki itu tersenyum lirih. Kalau tentang hal itu, memang ada baiknya Nares tak perlu memberi tahunya lagi. Ia mungkin tak akan kaget karena telah memergoki keduanya di cafe sore tadi, tapi ia pun tak mau rasa sakit yang sudah bertubi-tubi ini ditimpa lagi dengan luka yang baru.

“Ya, sudah.” Ia mengepalkan tangannya. “Mari, aku antar ke depan.”

Reksa mengantar Nares hingga keduanya berada di depan pagar. “Kalau begitu, sampai jumpa.” Nares menggaruk tengkuknya sambil menahan tawa. Ia ingin menertawakan dirinya yang terlambat, menertawakan identitasnya yang beralih menjadi “tamu” bagi Reksa, menertawakan keduanya yang kini canggung layaknya orang asing.

Bukan lagi keluarga.

Bukan lagi siapa-siapa.

Tak berani menatap kedua netra milik Reksa, Nares membalikkan badannya, hendak bersembunyi di mobilnya sebelum pertahanannya runtuh. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Nares menunduk, menatap tangannya yang dicegat oleh Reksa.

“Mas...”

”... Iya?”

“Aku juga berharap Mas Nares selalu bahagia.”

Nares mengangguk kecil. Ia melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam mobil, membawa dirinya kabur menjauhi perumahan itu, menjauhi laki-laki yang masih berdiri dan menatapnya di depan pagar.

Nares pernah dengar, ada hal-hal yang lebih baik tidak perlu diutarakan.

Some things are better left unsaid.

Mungkin, perasaannya adalah salah satu dari hal-hal itu. Iya, kan?

Reksa bahagia, dan itu sudah cukup baginya.

Ia sudah menjadi bajingan. Ia tak pantas disebut manusia jika lagi-lagi merusak kebahagiaan Reksa dan membawa orang yang disayanginya itu masuk kembali ke situasi yang sulit.

Sekarang... keadaan seperti ini, memang sudah yang terbaik untuk mereka, bukan?