Tamu Tak Diundang

by: archeselene

“Lho, Kak Alden?”

Matahari sedang berkunjung ke bumi bagian lain. Jam dinding di minimarket sebelah pun sudah menunjukkan pukul delapan malam. Johan menatap heran sosok yang berjongkok di depan pagar rumahnya. Tak begitu jelas, memang, hanya ada lampu jalan yang menyoroti sosok yang sedang menunduk itu. Tapi ia tahu pasti, orang tersebut adalah Alden. Untuk apa dia datang malam-malam begini?

Mendengar namanya dipanggil, Alden pun mendongak. Netranya bertubruk dengan milik Johan yang belum ia jumpai seminggu ini. Masih dalam posisi yang sama, Alden membuka bibir. “Akhirnya, balik juga lo.”

“Kakak tau rumahku dari mana?”

“Lo lupa bapak gue siapa?”

Johan tersenyum simpul. “Ada perlu apa?”

“Minta penjelasan.”

“Penjelasan? Tentang apa?” Johan mengerutkan dahinya, tak mengerti.

“Kenapa lo nge-ghosting gue, bangsat?!” Alden berdiri, menarik kerah baju yang Johan pakai. “Lo seminggu ini kenapa gak sekolah? Gak bales pesan gue? Lo mainin gue, ya?!”

Johan spontan mengangkat kedua tangannya. “Eh, enggak! Enak aja!”

“Jelasin!” Alden melepas cengkeramannya pada kerah baju adik kelasnya itu.

“Eum, oke. Kakak mau ke dalam dulu? Udah di sini dari kapan?” Tanya Johan. Dilihatnya Alden yang hanya mengenakan kaos tipis, padahal tadi sempat gerimis. “Mau pinjam baju a–”

“Lo jelasin nggak? Kalau gak jelasin gue pulang.”

“Nenek aku sakit, Kak.” Johan menghela napas. Ditatapnya lekat Alden yang masih memandangnya datar. “Aku cuma tinggal berdua sama Nenek. Minggu kemarin, Nenek jatuh di kamar mandi. Jadi, aku buru-buru bawa Nenek ke rumah sakit, dan sampai sekarang beliau masih dirawat. Aku nggak bisa ninggalin Nenek, makanya aku bolos sekolah.”

“Minimal bales pesan gue bisa kali?”

“HP aku hilang, Kak. Makanya gak bisa telepon ke sekolah buat izin, gak bisa balas Kak Alden juga.”

“Terus lo sekarang ngapain balik? Katanya gak bisa ninggalin rumah sakit?”

“Aku mau ambil baju ganti buat Nenek dan cuci baju kotor yang dibawa dari rumah sakit.” Jawab Johan. Alden langsung cemberut. Kesal sekali, sudah menahan marah satu pekan tapi ternyata Johan tidak salah.

“Omong-omong, Kakak nyariin aku?”

Johan tertawa melihat wajah Alden yang memerah. Bahkan di langit gelap ini pun, semburat merah muda di kedua pipinya tetap terlihat jelas.

“Ya... gue cuma gak terima aja dimainin sama adek kelas. Bukannya peduli, sih.” Alden melipatkan kedua tangannya di depan dada. “Karena ternyata cuma salah paham, ya udah, gue balik dulu.”

Johan mencegat lengan Alden yang baru saja berbalik. “Kak, aku beneran suka sama Kakak. Bukan main-main.”

Alden memalingkan wajahnya, menatap pria yang lebih tinggi satu jengkal darinya itu. “Oke.”

“Itu aja?” Johan menatapnya tak percaya.

Alden mengangguk. “Emang harusnya gimana?”

“Kakak nggak mau bilang yang lain lagi?”

“Terima kasih?”

“Ck.” Johan memutar kedua bola matanya. “Kakak suka sama aku juga, nggak? Jadi pacarku, mau?”

Kedua insan itu saling bersitatap, ditemani oleh lampu jalan yang bersinar redup.

”... Gak mau, lo miskin.”

Alden sontak tertawa melihat wajah Johan yang muram. Ia mendekat, berjinjit dan mengecup pipi pria yang lebih muda. “Sorry, bercanda. Boleh, deh.”

“Boleh apa?”

“Boleh pacaran, dodol!”