Izin

by: archeselene

Waktu berlalu cepat, langit kembali gelap dalam sekejap. Keadaan di vila masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Percakapan antara tiga sahabat itu seolah tidak pernah terjadi, atau setidaknya tidak mengubah apa-apa kecuali fakta kalau Reksa kini sadar dengan perasaannya kepada Nares. Katakanlah dia tak pandai menyimpan perasaan, karena sejak siang tadi ia selalu mengambil setiap kesempatan untuk melirik ke arah yang lebih tua, sampai-sampai orang yang menjadi objek perhatiannya itu sadar.

“Reksa, ada yang salah sama saya?” Nares tak tahan untuk bertanya begitu mereka naik tangga bersama menuju ke kamar tidur masing-masing.

Reksa dapat merasakan wajahnya memanas karena ketahuan, ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Terus kenapa kamu lihat saya terus dari waktu makan siang tadi?” Nares menggaruk rambutnya bingung.

“Gak apa-apa, Mas Nares umm... ganteng, soalnya?” Ucap Reksa asal karena panik. Tapi begitu kata itu keluar dari bibirnya ia jadi tambah panik dan wajahnya semakin merah. “Eh, bukan, maksud aku... bukan ganteng... tapi...”

Nares menaikkan satu alisnya, menunggu lanjutan kalimat dari pria yang lebih muda.

“Rambutnya... anu... rambut baru Mas Nares bagus.”

”... Saya belum potong atau ganti gaya rambut dari awal kita bertemu, Reksa.”

“Oh... haha... ya udah, berarti... Mas Nares cocok rambut panjang.” Reksa tertawa garing dan memukul siku Nares, berusaha mencairkan suasana yang sebenarnya hanya canggung dan memalukan untuk dirinya sendiri. “Ya udah, malam Mas, good night! Ujarnya sebelum berlari ke kamarnya mendahului Nares, meninggalkan pria itu berdiri kebingungan sendiri di tengah-tengah tangga.

Akhirnya pria itu hanya memiringkan kepala dan mengedikkan bahunya. Mungkin Reksa hanya kelelahan?


Di dalam kamar, Reksa langsung berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

“Kenapa gue begini, sih?” Monolognya sambil menepuk-nepukan kedua tangan pada pipi yang merah padam. “Harusnya kayak biasa aja... biasa aja... MANA BISA?!” Reksa menghempaskan tubuhnya pada kasur, meredam pekikannya dengan bantal-bantal. “Gimana bisa gue biasa aja?”

Reksa mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kasar, “AARGHH! Lagian Eli kenapa harus kasih tau gue segala, sih, kalau gue suka... suka...” Ia sontak membekap mulutnya sendiri dengan kedua manik yang melebar, menyadari kamarnya dengan kamar Nares bersebelahan.

“REKSA BEGO!” Umpatnya kepada diri sendiri, kali ini dengan bisikan agar Nares tak berpontensi untuk mendengar. Pemuda dua puluh satu tahun itu merebahkan tubuhnya pada kasur, lalu merogoh-rogoh saku celana, mencari benda persegi panjang yang berfungsi untuk komunikasi. Seperti orang tak ada kerjaan (mungkin memang ia tak punya kerjaan lain), Reksa membaca ulang ruang pesan miliknya dengan Nares. Tak ada yang spesial memang, kebanyakan hanyalah obrolan singkat tak berarti seperti mengingatkan makan malam dan menanyakan di mana letak paket yang ia pesan.

Senyumnya kian melebar seiring dengan chat yang di-scroll ke atas pelan-pelan oleh kedua jarinya. Hingga akhirnya sampai di ujung chat, kala pertama Nares menghubungi dirinya karena Jevan. Reksa menghela napas. “Apa boleh...?” Gumamnya, bertanya pada diri sendiri.

Apa boleh dia jatuh cinta pada seorang Nareswara?

Apa boleh dia menitipkan hati pada pria itu?

Kata Eli, keluarga Jinar, yang juga keluarganya Mas Nares, mirip seperti tipikal keluarga-keluarga kaya di drama yang sering ia tonton.

Reksa menutup ruang obrolannya dengan Nares. Ia kini membuka aplikasi kamera di handphone-nya dan bercermin di sana. Wajah familiar langsung terpampang di layar sempit itu. Mata yang tak terlalu besar, hidung yang kelewat bangir, dan bibir yang tak tebal maupun tipis. Rambutnya lumayan panjang jika dibandingkan dengan laki-laki lain seusianya. Kulitnya putih, tapi tak seputih Eli yang konon dimandikan dengan susu ketika ia masih bayi (ibunya mana mungkin menghamburkan uang demi membeli susu untuk mandi kalau Reksa bisa mandi dengan air sumur).

Reksa mengerucutkan bibirnya. Mahasiswa itu mulai merancang poin-poin di dalam kepalanya.

Pertama-tama, dia laki-laki. Mayoritas masyarakat di dunia ini belum bisa menerima cinta antara sesama jenis, dan Reksa yakin 90% bahwa keluarga Nares pun begitu. Bukan apa-apa, orang biasa saja tak bisa menerima, apalagi keluarga kaya yang punya nama dan wibawa yang perlu dijaga?

Sebentar... Sepertinya dia berpikir terlalu jauh. Mari ulang. Pertama-tama, Reksa laki-laki. Pertanyaannya adalah, apakah Nares suka dengan laki-laki?

Hmm... Reksa tak yakin.

Kedua, kalau pun Nares suka laki-laki, apakah Reksa cukup atraktif untuk menarik perhatiannya?

Hmm... untuk yang ini, Reksa tak yakin juga. Laki-laki itu melirik bahu sempit dan tubuh kurusnya lalu mendengus sendiri.

Duh, tahu akan begini, dia akan rajin ikut fitness bersama Chandra!

Kalau Nares suka dengan sesama jenis pun, Reksa rasa pria itu pantas mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik. Laki-laki dengan wajah setampan Leonardo DiCaprio lah yang dapat bersanding dengan masnya itu.

Atau minimal... laki-laki bertampang enak dipandang dengan sikap yang baik dan punya segudang talenta! Bukan laki-laki muda yang bahkan belum tamat kuliah, tak punya satu pun piala di rumahnya, dan hanya pernah menang lomba mewarnai ketika Sekolah Dasar. Apalagi laki-laki ini tukang marah yang juga pelit, dan... punya latar belakang yang kurang baik.

Oke, jujur saja Reksa rasa dirinya selama ini cukup percaya diri, kok! Tapi kalau disandingkan dengan Nares... kenapa ia merasa setidak pantas ini?

Apa karena fakta bahwa Nares selalu terlihat sempurna?

Ah, tidak juga. Buktinya kemarin malam ia bahkan merokok dan minum beer. Bukan berarti itu salah sih, tapi Reksa tak suka saja. Namun, karena Nares yang melakukan, semuanya jadi terasa biasa saja dan bisa ditoleransi.

Semakin Reksa pikirkan, semakin kecil kemungkinan Nares akan membalas perasaannya.

Tunggu dulu, sebelumnya, apa rasa suka ini pantas disebut “perasaan”? Siapa tahu Reksa hanya naksir sesaat saja?

Bisa jadi ia hanya termakan omongan Eli dan Chandra, bukan?

Kalau pun Reksa memang jatuh, ia yakin dirinya belum sejatuh itu.

Reksa keluar dari fitur kamera dan kembali membuka pesannya dengan Nares. Sebut saja segala jenis setan hingga raja iblis tengah merasuki dirinya, entah keberanian dari mana yang ia dapatkan hingga ia bisa mengetik kata-kata itu pada Nares yang kini sedang berada di satu atap dengannya. Nares yang kini mungkin hanya berjarak kurang dari sepuluh meter dengannya.

Sebut saja ia sudah gila.

Tapi Reksa rasa, lebih baik memastikan sekarang sebelum jatuh terlalu dalam. Reksa butuh jawaban dari Nares.

Reksa tidak meminta jawaban, Reksa tidak mengharapkan balasan, ia hanya ingin memohon izin lebih dulu.

Jika izin saja tak Nares berikan, maka Reksa punya alasan untuk berhenti berharap.