runikagi

42

“Pagi Mas Yoongi” sapa Jimin saat masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintu setelah duduk, lalu membawa fokusnya pada Yoongi. “Selamat pagi juga, Cantik.” balas yang disapa.

Jimin masih dengan aktivitasnya menatap Yoongi, membuat yang ditatap sedikit salah tingkah. Anak muda di hadapannya ini selalu berhasil membuat ia kikuk.

Namun kini jika diperhatikan, senyum manis Jimin saat menyapanya telah terurai. Berganti menjadi seringai yang dipaksakan. Sarat wajahnya tak dapat dibaca, tatapan teduhnya hilang.

Yoongi tak mengindahkan semua itu, sebab sepertinya ada yang salah dengan dirinya.

“Ji, kamu kenap—”

“Shhh”

Si yang lebih muda menaruh satu telunjuknya pada bibir tengah Yoongi.

“Kamu—”

“Suuuttt”

“Iya iya oke

Jimin menurunkan jemarinya lalu beralih membawanya ke tempat lain—membenarkan dasi Yoongi yang tidak berantakan. Sedang Yoongi sempat terbatuk kecil saat Jimin sedikit menguatkan tali dasinya.

“Mas.”

“Iya sayang?”

“Kemaren waktu aku pulang kerja, aku liat mas sama cewek di mobil lagi ketawa ketawa.”

Dang.

Wajah Yoongi agak terlihat panik mendengar itu.

“Kenapa Mas? Gerah ya?”

“Ng-ngga, kan ada AC hehe”

“Oke.. Jadi, cewek itu siapa, Mas?”

Pertanyaan dengan nada yang ditekankan.

“Anu.. itu, Ji—”

Ada saja akalnya.

Sudah tau Yoongi sedang kesulitan menjawab pertanyaannya, kini ia malah merubah posisi dengan duduk di atas pangkal paha Yoongi yang berada di kursi kemudi.

Tak lupa, tangannya melingkar pada leher yang lebih tua.

Sit on your lap, biar lebih enjoy ngobrolnya.”

Yoongi menelan ludah sebelum akhirnya membuka suara, “Dia rekan kerja Mas. Kemarin Mas abis ngadain meeting di kantornya, Ji. Pas mau pulang, mobil sopirnya mogok. Jadi—”

“Jadi Mas tawarin pulang bareng?”

“Iya..”

“Bener cuma rekan kerja, Mas?”

“Bener sayang. Ada Namjoon sekretaris Mas sebenarnya di mobil itu, Mas ngga cuma berdua.”

Jimin ber-oh ria, lalu;

“Mas Yoongi punyaku aja, ya?”

“Iya. Punyamu aja.”

Wajah mengintimidasinya kembali teduh, sepertinya sesi introgasi sudah selesai. Namun, posisinya yang duduk di atas pangkuan Yoongi belum.

“Mas, aku kemaren nangis.”

“Gara gara Mas?? Ya Tuhan.. Ji, Mas minta maaf. Mas gak bermaksud bikin kamu salah paham. Kalo Mas tau kamu liat Mas, Mas udah suruh temen Mas pulang sendiri aja terus narik kamu biar masuk ke mobil Mas. Tapi ini Mas beneran gak tau, Mas kira... blablabla

Sembari menenggelamkan wajahnya diantara perpotongan leher Yoongi, Jimin diam-diam mendengarkan semua penjelasan kekasihnya yang sebenarnya tak apa jika tak dijelaskan pun, karena ia sudah percaya seratus persen.

“Iya Mas. Aku percaya.”

“Coba lihat wajahmu-” Yoongi membawa Jimin untuk mendongak, “ini matanya bengkak tuh karena Mas?”

“Iya tapi udah gapapa. Ini emang akunya aja yang lebay.”

“Ngga. Kamu ngga lebay. Mas ngerti di situ posisinya kamu pasti lagi cape pulang kerja, khawatir karena Mas gak ngabarin seharian, terus pas di jalan malah liat Mas semobil sama orang lain. Maaf, ya? Gak akan diulangi. Janji.”

Mendengar itu rasanya Jimin ingin meleleh seperti es batu di bawah terik matahari alias jika sudah pegang ponsel, ia ingin mengeluarkan semua stock meme meleyot di galerinya.

“Mas sayangnya sama kamu aja kok, Ji.”

“Sama Jungkook?”

“Oh iya. Mas sayangnya sama kamu dan Jungkook aja kok. I love you both in every Universe.

Itu kalimat manis dari duda anak satu yang kini sedang memeluk teman dari anaknya. I mean, kekasihnya.

“Ayo Mas, berangkat.”

“Ke mana?”

“Pelaminan.”

“YUK!”

“Becandaaa. Ke tempat kerjaku, aku dah telaaat.”

“Hehehe”

<>

Dandelion ; 159

Diperjalanan menuju kediaman Yoongi, jemari Jimin tak henti gemetar. Ia takut tentang semua terkaannya perihal Yoongi dan Mamanya yang akan marah dan membencinya menjadi nyata.

Hingga saat tungkainya menginjak pekarangan rumah Yoongi, Ibu mengusap punggung Jimin perlahan—meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Bell ditekan dua kali. Tak lama setelahnya, seorang wanita dengan setelan kemeja satin putih muncul dari balik pintu. Itu Mama Yoongi.

“Kamu? Teman Yoongi?”

Tanyanya seraya melihat pada Jimin yang berada di samping Ibu.

“Iya tante. Saya Jimin.”

Setelah itu, Ibu mulai membuka suaranya. Beliau menjelaskan maksud dan tujuannya mendatangi rumah Yoongi.

Ibu dan Jimin tak mengindahkan sarat wajah pada Mama Yoongi, ia terlihat amat tak senang. Meski begitu ia tetap mempersilahkan mereka untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

Menit telah berlalu, segala bentuk pengakuan dan permintaan maaf telah Ibu sampaikan. Sedang Mama Yoongi terlihat luruh dalam tangis dengan punggung yang gemetar.

Entah apa kini yang ada dalam hatinya; mungkin rasa amarah, kesedihan yang amat dalam kala mengingat kembali peristiwa meninggalnya Yoonji, atau penyesalan atas sikap kasarnya pada Yoongi.

Isi hati yang terakhir adalah apa yang diharapkan oleh Jimin, karena ia ingin Mama Yoongi menyadari secara penuh jika Yoongi; tak bersalah. Ia pantas untuk dicintai oleh sang Mama.

“Suami anda sekarang di mana?” tanya Mama. Sedikit ketus.

“Suami saya kabur dari rumah satu tahun yang lalu. Dia menjadi buron atas kasus yang saya sendiri pun tidak tau. Suami saya bukan orang yang baik..”

Tutur Ibu dengan lirih di akhir kalimatnya.

“Lalu kenapa anda baru datang ke sini sekarang? Setelah bertahun tahun anak saya meninggal tanpa ada kejelasan, padahal kalian tau semuanya tapi kalian diam?! Ibu, anda pasti ngerti kan sama perasaan saya?”

Rentetan kalimat itu nyaring dengan suara amarah yang menggebu.

Seokjin pun datang menghampiri, menenangkan Mama dalam rengkuhannya.

“Tante, a-atas nama Ayah dan Ibu saya, saya benar benar minta maaf.. saya mengerti—”

“Kamu ngga ngerti Jimin!” bentak Mama.

“Ma, udah. Ini bukan salah Jimin dan Ibunya. Ini—”

“Seokjin. Suruh mereka pergi. Hati Mama sakit sekali melihat mereka.”

Menuruti perintah Mama, Seokjin dengan ramah meminta Ibu dan Jimin untuk pulang.

Ada kata maaf terucap dari bibir kakak dari kekasihnya itu atas sikap Mamanya saat ia mengantar Jimin dan Ibu keluar dari rumahnya.

Dan kala mereka telah sampai di ambang pintu, Yoongi dengan kantong plastik berisi obat demam—mungkin untuk Jimin, berdiri dengan sarat wajah yang tak dapat Jimin baca. Terasa asing.

“Gi—”

Jimin belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Yoongi telah lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan hanya mengatakan kata; permisi.

<>

Dandelion ; 158

Diperjalanan menuju kediaman Yoongi, jemari Jimin tak henti gemetar. Ia takut tentang semua terkaannya perihal Yoongi dan Mamanya yang akan marah dan membencinya menjadi nyata.

Hingga saat tungkainya menginjak pekarangan rumah Yoongi, Ibu mengusap punggung Jimin perlahan—meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Bell ditekan dua kali. Tak lama setelahnya, seorang wanita dengan setelan kemeja satin putih muncul dari balik pintu. Itu Mama Yoongi.

“Kamu? Teman Yoongi?”

Tanyanya seraya melihat pada Jimin yang berada di samping Ibu.

“Iya tante. Saya Jimin.”

Setelah itu, Ibu mulai membuka suaranya. Beliau menjelaskan maksud dan tujuannya mendatangi rumah Yoongi.

Ibu dan Jimin tak mengindahkan sarat wajah pada Mama Yoongi, ia terlihat amat tak senang. Meski begitu ia tetap mempersilahkan mereka untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

Menit telah berlalu, segala bentuk pengakuan dan permintaan maaf telah Ibu sampaikan. Sedang Mama Yoongi terlihat luruh dalam tangis dengan punggung yang gemetar.

Entah apa kini yang ada dalam hatinya; mungkin rasa amarah, kesedihan yang amat dalam kala mengingat kembali peristiwa meninggalnya Yoonji, atau penyesalan atas sikap kasarny pada Yoongi.

Isi hati yang terakhir adalah apa yang diharapkan oleh Jimin, karena ia ingin Mama Yoongi menyadari secara penuh jika Yoongi; tak bersalah. Ia pantas untuk dicintai oleh sang Mama.

“Suami anda sekarang di mana?” tanya Mama. Sedikit ketus.

“Suami saya kabur dari rumah satu tahun yang lalu. Dia menjadi buron atas kasus yang saya sendiri pun tidak tau. Suami saya bukan orang yang baik..”

Tutur Ibu dengan lirih di akhir kalimatnya.

“Lalu kenapa anda baru datang ke sini sekarang? Setelah bertahun tahun anak saya meninggal tanpa ada kejelasan, padahal kalian tau semuanya tapi kalian diam?! Ibu, anda pasti ngerti kan sama perasaan saya?”

Rentetan kalimat itu nyaring dengan suara amarah yang menggebu.

Seokjin pun datang menghampiri, menenangkan Mama dalam rengkuhannya.

“Tante, a-atas nama Ayah dan Ibu s-saya, saya benar benar minta maaf.. saya mengerti—”

“Kamu ngga ngerti Jimin!” bentak Mama.

“Ma, udah. Ini bukan salah Jimin dan Ibunya. Ini—”

“Seokjin. Suruh mereka pergi. Hati Mama sakit sekali melihat mereka.”

Menuruti perintah Mama, Seokjin dengan ramah meminta Ibu dan Jimin untuk pulang.

Ada kata maaf terucap dari bibir kakak dari kekasihnya itu atas sikap Mamanya saat ia mengantar Jimin dan Ibu keluar dari rumahnya.

Dan kala mereka telah sampai di ambang pintu, Yoongi dengan kantong plastik berisi obat demam—mungkin untuk Jimin, berdiri dengan sarat wajah yang tak dapat Jimin baca. Terasa asing.

“Gi—”

Jimin belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Yoongi telah lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan hanya mengatakan kata; permisi.

Dandelion ; 158

Diperjalanan menuju kediaman Yoongi, jemari Jimin tak henti gemetar. Ia takut tentang semua terkaannya perihal Yoongi dan Mamanya yang akan marah dan membencinya menjadi nyata.

Hingga saat tungkainya menginjak pekarangan rumah Yoongi, Ibu mengusap punggung Jimin—meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

Bell ditekan dua kali. Tak lama setelahnya, seorang wanita dengan setelan kemeja satin putih muncul dari balik pintu. Itu Mama Yoongi.

“Kamu? Teman Yoongi?”

Tanyanya seraya melihat pada Jimin yang berada di samping Ibu.

“Iya tante. Saya Jimin.”

Setelah itu, Ibu mulai membuka suaranya. Beliau menjelaskan maksud dan tujuannya mendatangi rumah Yoongi.

Ibu dan Jimin tak mengindahkan sarat wajah pada Mama Yoongi, ia terlihat amat tak senang. Meski begitu ia tetap mempersilahkan mereka untuk masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

Menit telah berlalu, segala bentuk pengakuan dan permintaan maaf telah Ibu sampaikan. Sedang Mama Yoongi terlihat luruh dalam tangis dengan punggung yang gemetar.

Entah apa kini yang ada dalam hatinya; mungkin rasa amarah, kesedihan yang amat dalam kala mengingat kembali peristiwa meninggalnya Yoonji, atau penyesalan atas sikap kasarny pada Yoongi.

Isi hati yang terakhir adalah apa yang diharapkan oleh Jimin, karena ia ingin Mama Yoongi menyadari secara penuh jika Yoongi; tak bersalah. Ia pantas untuk dicintai oleh sang Mama.

“Suami anda sekarang di mana?” tanya Mama. Sedikit ketus.

“Suami saya kabur dari rumah satu tahun yang lalu. Dia menjadi buron atas kasus yang saya sendiri pun tidak tau. Suami saya bukan orang yang baik..”

Tutur Ibu dengan lirih di akhir kalimatnya.

“Lalu kenapa anda baru datang ke sini sekarang? Setelah bertahun-tahun anak saya meninggal tanpa ada kejelasan, padahal kalian tau semuanya tapi kalian diam?! Ibu, anda pasti ngerti kan sama perasaan saya?”

Rentetan kalimat itu nyaring dengan suara amarah yang menggebu.

Seokjin pun datang menghampiri, menenangkan Mama dalam rengkuhannya.

“Tante, a-atas nama Ayah dan Ibu s-saya, saya benar benar minta maaf.. saya mengerti—”

“Kamu ngga ngerti Jimin!” bentak Mama.

“Ma, udah. Ini bukan salah Jimin dan Ibunya. Ini—”

“Seokjin. Suruh mereka pergi. Hati Mama sakit sekali melihat mereka.”

Menuruti perintah Mama, Seokjin dengan ramah meminta Ibu dan Jimin untuk pulang.

Ada kata maaf terucap dari bibir kakak dari kekasihnya itu atas sikap Mamanya saat ia mengantar Jimin dan Ibu keluar dari rumahnya.

Dan kala mereka telah sampai di ambang pintu, Yoongi dengan kantong plastik berisi obat demam—mungkin untuk Jimin, berdiri dengan sarat wajah yang tak dapat Jimin baca. Terasa asing.

“Gi—”

Jimin belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Yoongi telah lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan hanya mengatakan kata; permisi.

dandelion — 151 ;

belakangan ini rasanya jimin terlalu sering dijumpai dengan hal hal yang tidak baik.

mulai dari perlakuan kakak kelasnya yang tidak pantas, gagal mengikuti lomba, yoongi yang terluka sampai harus dirawat di rumah sakit.

tidak lupa juga dengan kejadian tempo hari perihal hubungan yoongi dan mamanya.

napas dihembuskan perlahan, jimin terbangun di pagi harinya yang cukup cerah. hiruk pikuk kota dari luar terdengar ramai—minggu memang hari yang tepat untuk berlibur.

suara nada dering ponsel terdengar. ada pesan suara masuk dari yoongi.

“selamat pagi, cantik”

“pagiii. tumben telpon? ada apa?”

“kalo gak ada apa apa, gak boleh telepon kamu?”

“boleh! aku basa basi aja tau!”

yoongi terkekeh, “mau sarapan bareng gak?” tanyanya.

“mauu. aku mandi dulu tapi ya”

“iya. kabari aja kalo udah selesai, nanti aku jemput.”

“okayy”

“i love you, ji”

“i love—” telepon dimatikan. “you”

dan dari sekian banyak hal tidak baik yang terjadi, jimin berharap kini tak ada lagi. ia sungguh sungguh sekali meminta, meski jauh dalam hatinya; tersimpan banyak keraguan.

mengingat perihal ajun yang mengenal yoongi, lalu sang ibu yang ternyata terlibat di dalamnya. sesuatu yang terasa janggal, nyaris membuat jimin sulit untuk tetap berpikir baik tanpa alasan yang jelas.


“mau kemana, ji?”

tanya ibu yang duduk di atas sofa ruang tamu.

“aku mau sarapan di luar sama yoongi, bu.”

“yoonginya mana?”

“masih di jalan.”

“kalo begitu, sini duduk dulu sama ibu. ada yang mau ibu bicarakan perihal semalam.”

rasanya ingin menolak; jimin tak ingin pagi harinya dimulai dengan sesuatu yang tak diharapkan. meski begitu ia tetap menghampiri ibu. duduk di samping beliau seraya memainkan ujung kemeja flanelnya.

“ibu yang menyuruh ajun untuk jangan kasih tau yoongi kalo kamu dan dia saudara. ajun itu teman kecilnya yoongi dan yoonji—”

“ibu kenal yoonji?”

“tentu. rumah nenek kamu sampingan sama rumah yoongi, ji. kita dulu tetanggaan. tapi karena ibu menikah dengan ayah kamu, ibu gak lagi tinggal di sana. terakhir ibu ninggalin rumah nenek kamu, yoongi dan yoonji itu masih umur enam tahun. lalu dua tahun setelahnya, ibu mendengar kabar kalo yoonji meninggal.”

wajah ibu berubah menjadi sendu. kian menit berlalu, beliau menangis

“ibu kenapa nangis? ada apa?”

“yoonji meninggal karena insiden tabrak lari saat bermain dengan yoongi. dan setelah itu, ji, hidup yoongi hancur. mama dan ayahnya yang terlalu mencintai yoonji menjadi menyimpan banyak benci yang gak wajar sama yoongi. anak itu, malang sekali.

padahal.. pelaku ugal ugalan yang menabrak yoongi dan yoonji itu adalah; ayah kamu.”

mendengar itu, luruh semua harapan jimin untuk meminta hal hal yang baik saja setelah ini.

“jadi- yang nabrak yoonji itu ayah, bu?”

ibu mengangguk, “sampai sekarang ngga ada yang tau tentang ini. sampai sekarang juga ibu takut untuk jujur.. ibu takut karena ancaman ayah kamu dulu, ji.” tuturnya.

“ayah ngancem ibu apa?”

“m-menjual kamu.” lirih ibu.

sakit sekali rasanya. dada jimin menjadi sangat sesak.

“selama ini ibu cuma bisa memberi yoongi semampu ibu melalui ajun. ibu membantu ajun mencari tempat kerja yang layak buat yoongi saat dia ingin kerja. ibu juga selalu titip bekal di rumah ajun buat yoongi makan, karena ibu tau mama yoongi gak menyediakan itu.”

“ibu memperhatikan yoongi dari jauh—upaya untuk menebus kesalahan. walaupun ibu sadar semua yang ibu lakukan gak akan pernah cukup, ji.”

“ibu minta ajun buat jangan kasih tau semuanya sama yoongi. selain karena ibu yang belum siap, ibu juga takut merusak hubungan kamu dan yoongi..”

ah benar, hubungannya dengan yoongi.

jimin tak ingin menyembunyikan lebih dalam lagi tentang semua rahasia ibu pada yoongi.

tapi jika nanti yoongi mengetahui semuanya, tentang siapa pelaku dari tabrak lari sang adik; apakah hubungannya dengan yoongi akan baik-baik saja?

apa yoongi akan tetap mencintainya? atau membencinya?

mengingat kepergian yoonji adalah kehancuran terbesar bagi yoongi.

<>


Tags: Mention of cheating and divorce.


Jam lima sore lewat tiga menit; Jimin akhirnya bisa pulang.

Apron kerja warna cokelat yang dia pake langsung dia lepas terus disimpan di tempat semestinya.

Setelah itu dia ngambil sisir kecil dari dalam tas buat ngerapihin rambutnya yang agak berantakan.

Tentu gak ketinggalan perfume khas vanilla, dua sampai tiga semprot dia pake. Biar wangi, katanya.

Jimin keluar dari cafe lalu duduk di kursi pengunjung outdoor. Sambil duduk Jimin mencoba menerka nerka kira-kira Yoongi mau ngomong apa ya?

Bisa-bisanya dia gak berhenti degdegan padahal siapa tau Yoongi cuma mau ngomongin perihal—entahlah.

Jimin gak ngelanjutin terkaannya soalnya mobil item familiar udah berenti di depan dia.

Kacanya ngebuka lantas kepala dari pemiliknya nongol, senyum ramah sama Jimin.

Yang disenyumin bergeming—terkesima sama Ayah dari temennya itu. Tampan, batinnya.

“Hi, Ji.” Sapa Yoongi setelah turun dari mobil dan ngebukain pintu buat Jimin, “ayok masuk.” lanjutnya.

“Saya bisa buka sendiri padahal, Om.” Cicit Jimin dengan nada canggung, “terima kasih.” lanjutnya seraya masuk dan duduk di kursi penumpang depan.


Di salah satu restoran terkenal sebogor raya sekarang Yoongi dan Jimin berada, mereka lagi makan sambil ngobrol-ngobrol ringan.

Tempatnya nyaman. Gak tau karena kebetulan atau gimana, restoran itu pengunjungnya bener bener cuma mereka aja.

“Ji?”

“Iya?”

“Saya mau cerita boleh?”

“Silahkan, Om.”

Makanan Jimin udah abis, piringnya dia geser ke samping biar bisa nyaman dengerin Yoongi cerita.

“Sejak Jungkook kecil—mungkin umur sembilan atau sepuluh tahun sampai dia remaja, Mamanya senang sekali selingkuh sama lelaki lain.”

Jimin sedikit kaget tapi mencoba bersikap sewajarnya. Dia tetep dengerin Yoongi cerita perihal Mama Jungkook yang selalu selingkuh dari Yoongi.

“Saya gak tau penyebabnya apa. Nafkah batin dan materinya padahal selalu saya penuhi. Tapi setelah saya pikir-pikir, mungkin kembali lagi ke fitrah manusia—sifat yang ngga baiknya mungkin memang seperti itu.”

“Saya memaafkan dan mempertahankan Istri saya karena Jungkook. Tapi semakin dia tumbuh jadi remaja, semakin dia mengerti. Dia tau sikap Mamanya. Sampai akhirnya dua tahun yang lalu saat Jungkook masih kelas tiga SMA, saya dan Istri saya cerai atas permintaan Jungkook sendiri.”

Jimin mendengarkan dengan baik. Dia sebenarnya bingung harus menempatkan diri seperti apa. Karena apa yang sekarang dia dengerin itu seharusnya tetep jadi rahasia keluarga. Mengingat Jungkook aja gak pernah cerita soal ini.

“Saya ikut merasakan perasaan Om dan Jungkook. Semoga setelah ini kalian selalu bahagia, ya.”

Yoongi tersenyum, “Terima kasih. Dan saya harap, kamu mau jadi alasan bahagia itu ada, Ji.” ucapnya.

Mendengar itu Jimin bingung lagi, karena kenapa harus dia yang jadi alasan bahagia?

“Kenapa saya ya, Om?”

“Ji?”

“Iya?”

“Saya sadar usia kamu masih sangat muda. Kamu bahkan seumuran sama anak saya, dua puluh tiga tahun. Jadi usia kamu dan saya itu terpaut jauh dua puluh tahun.

Lalu menurut kamu, Ji, saya pantas tidak kalo jatuh cinta sama kamu?”

Jimin sedikit mengerjap. Kali ini dia degdegan banget, jantungnya kaya mau loncat.

“Perbedaan usia bukan tolak ukur kita buat jatuh cinta. Kalo saya boleh tau, kenapa Om jatuh cinta sama saya?”

“Saya gak bisa jelasin semuanya. Intinya saya jatuh cinta sama perangai kamu yang baik, sama mata kamu yang cantik dan kamu itu.. lucu banget. Saya gemes.”

“Mangkannya saya ceritain masa lalu saya sama kamu, Ji, biar kamu tau dan bisa jadi pertimbangan—apa kamu mau menerima cinta saya?”

Rasanya kali ini Jimin bener-bener mau cosplay aja jadi keset welcome.

“Jujur. Sekarang ini saya emang lagi gak menyimpan perasaan saya sama siapapun, termasuk sama Om. Niatnya saya mau fokus kerja aja. Tapi, karena saya rasa Om tulus cinta sama saya..

Saya akan coba untuk terima.”

Yoongi tersenyum mengembang hingga gigi biji timunnya yang rapi terlihat jelas. Om-om itu bahagia.

“Kamu mau pacaran dulu atau langsung menikah?”

Agak kaget, tapi Jimin berusaha bersikap santai.

“Pacaran dulu aja, Om. Saya harus menyiapkan diri saya dulu. Selain itu, kita harus punya persetujuan dari Jungkook.”

Ah benar sekali, Jungkook. Lelaki bak kelinci itu harus menerima Jimin dulu baru Yoongi dapat mengikat Jimin ke hubungan yang lebih serius.

“Iya kamu benar. Tidak apa-apa pacaran dulu juga. Saya senang.

Ji, jangan panggil saya Om, please?

Nada suara Yoongi memohon, matanya dibuat bulat terang dengan bibir yang mengerucut.

Kok bisa Yoongi seperti itu? Batin Jimin.

“Oke.. saya panggil Mas Yoongi aja, gimana?”

It sounds good.

Saya panggil kamu sayang, boleh?”

<>


Tags: Mention of cheating and divorce.


Jam lima sore lewat tiga menit; Jimin akhirnya bisa pulang.

Apron kerja warna cokelat yang dia pake langsung dia lepas terus disimpan di tempat semestinya.

Setelah itu dia ngambil sisir kecil dari dalam tas buat ngerapihin rambutnya yang agak berantakan.

Tentu gak ketinggalan parfume khas vanilla, dua sampai tiga semprot dia pake. Biar wangi, katanya.

Jimin keluar dari cafe lalu duduk di kursi pengunjung outdoor. Sambil duduk Jimin mencoba menerka nerka kira-kira Yoongi mau ngomong apa ya?

Bisa-bisanya dia gak berhenti degdegan padahal siapa tau Yoongi cuma mau ngomongin perihal—entahlah.

Jimin gak ngelanjutin terkaannya soalnya mobil item familiar udah berenti di depan dia.

Kacanya ngebuka lantas kepala dari pemiliknya nongol, senyum ramah sama Jimin.

Yang disenyumin bergeming—terkesima sama Ayah dari temennya itu. Tampan, batinnya.

“Hi, Ji.” Sapa Yoongi setelah turun dari mobil dan ngebukain pintu buat Jimin, “ayok masuk.” lanjutnya.

“Saya bisa buka sendiri padahal, Om.” Cicit Jimin dengan nada canggung, “terima kasih.” lanjutnya seraya masuk dan duduk di kursi penumpang depan.


Di salah satu restoran terkenal sebogor raya sekarang Yoongi dan Jimin berada, mereka lagi makan sambil ngobrol-ngobrol ringan.

Tempatnya nyaman. Gak tau karena kebetulan atau gimana, restoran itu pengunjungnya bener bener cuma mereka aja.

“Ji?”

“Iya?”

“Saya mau cerita boleh?”

“Silahkan, Om.”

Makanan Jimin udah abis, piringnya dia geser ke samping biar bisa nyaman dengerin Yoongi cerita.

“Sejak Jungkook kecil—mungkin umur sembilan atau sepuluh tahun sampai dia remaja, Mamanya senang sekali selingkuh sama lelaki lain.”

Jimin sedikit kaget tapi mencoba bersikap sewajarnya. Dia tetep dengerin Yoongi cerita perihal Mama Jungkook yang selalu selingkuh dari Yoongi.

“Saya gak tau penyebabnya apa. Nafkah batin dan materinya padahal selalu saya penuhi. Tapi setelah saya pikir-pikir, mungkin kembali lagi ke fitrah manusia—sifat yang ngga baiknya mungkin memang seperti itu.”

“Saya memaafkan dan mempertahankan Istri saya karena Jungkook. Tapi semakin dia tumbuh jadi remaja, semakin dia mengerti. Dia tau sikap Mamanya. Sampai akhirnya dua tahun yang lalu saat Jungkook masih kelas tiga SMA, saya dan Istri saya cerai atas permintaan Jungkook sendiri.”

Jimin mendengarkan dengan baik. Dia sebenarnya bingung harus menempatkan diri seperti apa. Karena apa yang sekarang dia dengerin itu seharusnya tetep jadi rahasia keluarga. Mengingat Jungkook aja gak pernah cerita soal ini.

“Saya ikut merasakan perasaan Om dan Jungkook. Semoga setelah ini kalian selalu bahagia, ya.”

Yoongi tersenyum, “Terima kasih, Ji. Dan saya harap, kamu mau jadi alasan bahagia itu ada.” ucapnya.

Mendengar itu Jimin bingung lagi, karena kenapa harus dia yang jadi alasan bahagia?

“Kenapa saya ya, Om?”

“Ji?”

“Iya?”

“Saya sadar usia kamu masih sangat muda. Kamu bahkan seumuran sama anak saya, dua puluh tiga tahun. Jadi usia kamu dan saya itu terpaut jauh dua puluh tahun. Dan menurut kamu, Ji, apa saya pantas jatuh cinta sama kamu?”

Jimin sedikit mengerjap. Kali ini dia degdegan banget, jantungnya kaya mau loncat.

“Perbedaan usia bukan tolak ukur kita buat jatuh cinta. Kalo saya boleh tau, kenapa Om jatuh cinta sama saya?”

“Saya gak bisa jelasin semuanya, Ji. Intinya saya jatuh cinta sama perangai kamu yang baik, sama mata kamu yang cantik dan kamu itu..

Lucu banget. Saya gemes.”

“Mangkannya saya ceritain masa lalu saya sama kamu, Ji, biar kamu tau dan bisa jadi pertimbangan—apa kamu mau menerima cinta saya?”

Rasanya kali ini Jimin bener-bener mau cosplay aja jadi keset welcome.

“Jujur. Saat ini saya emang lagi gak menyimpan perasaan saya sama siapapun, termasuk sama Om. Niatnya saya mau fokus kerja aja. Tapi, karena saya rasa Om tulus cinta sama saya..

Saya akan coba untuk terima.”

Yoongi tersenyum mengembang hingga gigi biji timunnya yang rapi terlihat jelas. Om-om itu bahagia.

“Kamu mau pacaran dulu atau langsung menikah?”

Agak kaget, tapi Jimin berusaha bersikap santai.

“Pacaran dulu aja, Om. Saya harus menyiapkan diri saya dulu. Selain itu, kita harus punya persetujuan dari Jungkook.”

Ah benar sekali, Jungkook. Lelaki bak kelinci itu harus menerima Jimin dulu baru Yoongi dapat mengikat Jimin ke hubungan yang lebih serius.

“Iya kamu benar. Tidak apa-apa sekali pacaran dulu juga. Saya senang.

Jadi, jangan panggil sama Om, please?

Nada suara Yoongi memohon, matanya dibuat bulat terang dengan bibir yang mengerucut.

Kok bisa Yoongi seperti itu? Batin Jimin.

“Oke.. saya panggil Mas Yoongi aja, gimana?”

It sounds good.

Saya panggil kamu sayang, boleh?”

<>

Malem itu di taman sempur Bogor emang lagi rame banget, semua jenis manusia ada. Awalnya seneng seneng aja. Jimin keliling keliling taman buat hilangin suntuk sambil makan cimol lima ribuan.

Tapi moodnya jadi ilang gara-gara liat mantan pacarnya yang selingkuhin dia tempo hari—jalan sama pacar barunya, yang katanya mirip otak-otak goreng.

Akhirnya Jimin mutusin buat pulang. Bosen juga lagian main sendiri, pikirnya.

Waktu Jimin lagi jalan di trotoar, tiba-tiba mobil warna item mengkilap banget berenti di samping dia. Jimin awalnya takut karena dia pikir itu mobil culik. Sampe pas kaca mobil dibuka, muka familiar yang katanya ganteng itu nongol. Ayahnya Jungkook, Yoongi.

“Kamu temen Jungkook, kan?”

“Iya, Om. Saya Jimin yang suka main ke rumah Jungkook sama Taehyung hehe”

“Mau kemana malem malem gini?”

“Mau pulang, abis main dari taman.”

“Pulang bareng saya aja, bahaya takut ada culik.”

“Ah gak usah Om gak apa-apa saya jalan aja.”

Jimin mau sebenernya tapi malu.

“Jangan-” Yoongi membuka pintu mobil, “ayok masuk.” Titahnya.

Mau gak mau Jimin akhirnya masuk ke mobil. Dia duduk di kursi depan penumpang, samping Yoongi.

Semuanya berlalu baik-baik aja. Tapi ada yang aneh sedikit karena kenapa ya Jimin rasanya kok deg-degan banget? Perasaan dia cuma becanda aja perihal mau pacarin Ayah Jungkook. Tapi kok, jadi baper sendiri?

“Kamu kuliah atau kerja, Ji?”

“Kerja, Om. Saya kumpulin uang dulu baru kuliah.”

Yoongi mengangguk, “Tumben gak main sama Jungkook?” Tanyanya, buat cairin suasana.

“Jungkook sama Taehyung main game online gitu, Om. Saya gak diajak soalnya katanya saya noob. Kalo ikut main jadi ganggu. Jahat banget emang. Belum aja saya pamer makan seblak, terus kalo mereka mohon mohon mau gak akan saya kasih!”

Jimin nyerocos sendiri, Yoongi malah ketawa ngedengerinnya.

“Kenapa ketawa, Om?”

“Kamu emang gak nyadar?”

“Nyadar.. apa?”

“Kamu tuh lucu, gemesin.

Saya boleh minta nomer Whatsapp kamu?”

<>

Malem itu di taman sempur Bogor emang lagi rame banget, semua jenis manusia ada. Awalnya seneng seneng aja. Jimin keliling keliling taman buat hilangin suntuk sambil makan cimol lima ribuan.

Tapi moodnya jadi ilang gara-gara liat mantan pacarnya yang selingkuhin dia tempo hari—jalan sama pacar barunya, yang katanya mirip otak-otak goreng.

Akhirnya Jimin mutusin buat pulang. Bosen juga lagian main sendiri, pikirnya.

Waktu Jimin lagi jalan di trotoar, tiba-tiba mobil warna item mengkilap banget berenti di samping dia. Jimin awalnya takut karena dia pikir itu mobil culik. Sampe pas kaca mobil dibuka, muka familiar yang katanya ganteng itu nongol. Ayahnya Jungkook, Yoongi.

“Kamu temen Jungkook, kan?”

“Iya, Om. Saya Jimin yang suka main ke rumah Jungkook sama Taehyung hehe”

“Mau kemana malem malem gini?”

“Mau pulang, abis main dari taman.”

“Pulang bareng saya aja, bahaya takut ada culik.”

“Ah gak usah Om gak apa-apa saya jalan aja.”

Jimin mau sebenernya tapi malu.

“Jangan-” Yoongi membuka pintu mobil, “ayok masuk.” Titahnya.

Mau gak mau Jimin akhirnya masuk ke mobil. Dia duduk di kursi depan penumpang, samping Yoongi.

Semuanya berlalu baik-baik aja. Tapi ada yang aneh sedikit karena kenapa ya Jimin rasanya kok deg-degan banget? Perasaan dia cuma becanda aja perihal mau pacarin Ayah Jungkook. Tapi kok, jadi baper sendiri?

“Kamu kuliah atau kerja, Ji?”

“Kerja, Om. Saya kumpulin uang dulu baru kuliah.”

Yoongi mengangguk, “Tumben gak main sama Jungkook?” Tanyanya, buat cairin suasana.

“Jungkook sama Taehyung main game online gitu, Om. Saya gak diajak soalnya katanya saya noob. Kalo ikut main jadi ganggu. Jahat banget emang. Belum aja saya pamer makan seblak, terus kalo mereka mohon mohon mau gak akan saya kasih!”

Jimin nyerocos sendiri, Yoongi malah ketawa ngedengerinnya.

“Kenapa ketawa, Om?”

“Kamu emang gak nyadar?”

“Nyadar.. apa?”

“Kamu tuh lucu, gemesin.

Saya boleh minta nomer Whatsapp kamu?”

<>

Halo semuanya?