saturday night
“Kok gelap-gelapan?” tanya Bright saat ia keluar dari kamarnya dan mendapati Win sudah menunggu di tempat mereka tadi pagi berbagi cerita, hanya ditemani lampu yang remang-remang.
“Jangan dinyalain lampunya, malu.” kata Win saat melihat Bright hendak menyalakan lampu utama. Bright menurut saja, lalu duduk di ujung sebrang sofa, memposisikan dirinya hingga menghadap Win.
“Lo denger gue telponan ama adek gue nggak?”
“Enggak, soalnya gue telponan sama Pak Apo ngurusin kerjaan.” jawab Bright jujur. “Lagian, gue ngapain nguping anjir.”
“Bukan nguping... cuma mungkin aja kan kedengeran.”
“Enggak kok.”
“Yah kok enggak sih...” Win menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gue jadi bingung mau mulainya dari mana.”
“Dari yang paling bikin lo kepikiran aja dulu.”
“Tapi kaya semuanya bikin kepikiran gimana dong?” tanya Win. “Lo tahu nggak kalau gue bisa dibilang tulang punggung keluarga? Yang beneran nanggung semua, bukan yang bantu-bantu meringangkan beban orang tua gitu.”
“Hmmmm jujur sih nggak tau banyak, tapi tau lah kalau lo kerja tuh punya tanggungan.”
“Okeeey...” kata Win sambil mikir mau mulai dari mana.
Terbuka atas masalah hidupnya dengan orang bukan lah hal yang biasa ia lakukan, jadi Win nggak tau manualnya gimana. Yang jelas hati kecilnya seakan berkata bahwa tidak apa-apa jika sekali ini ia ingin berbagi cerita. Mungkin Bright tidak akan mengerti, mungkin Bright tidak akan bisa memberi solusi, tapi paling tidak pria itu sudah berjanji untuk mendengarkan.
Dan Win tahu, ia tidak perlu berkata 'please, jangan cerita ke siapa-siapa ya?' karena Bright semestinya sudah cukup dewasa untuk dapat memegang kepercayaan.
“Hmmm... darimana ya mulainya?” Win masih bingung. “Bapak gue udah meninggal dari gue masih kelas XII SMA. Sebelumnya... sebelumnya hidup gue bisa dibilang berkecukupan. Pokoknya paling tidak secara materi keluarga gue nggak kekurangan lah.”
“Tapi...” Win ragu-ragu, “tapi... ya nggak seindah kelihatannya. Orang tua gue punya hubungan paling aneh di dunia. Kerjaannya berantem, they fight with each other, despise each other, cheat on each other then make up and being all lovey dovey again. Begitu aja terus siklusnya, hahaha. Gue nggak tahu apakah itu normal? Apakah semua keluarga seperti itu?”
“Yang gue tahu pada saat itu idup rasanya kaya di neraka. Nggak peduli siapapun yang salah, kalau orang tua berantem tuh korbannya akan selalu anak-anaknya. Berantem di sini bukan yang cuma cekcok kecil ya, tapi ya beneran berantem sampai teriak-teriak. Mungkin tetangga juga pada tau kali.”
“Sampai suatu saat, orang tua gue nanya ama gue, apakah sebaiknya mereka cerai aja?” Selama bercerita Win memandang kedua tangannya yang sejak tadi ia mainkan. “Ya menurut lo aja, gue saat itu yang masih anak SMP bakalan jawab apa? Gue jawab, jangan. Gue mikir, kalau pisah ntar ibu gue idupnya gimana kan selama ini nggak pernah kerja. Terus adek gue juga masih kecil banget, gue pikir ya dia masih butuh orang tuanya bareng-bareng lah.”
“Jadi mereka akhirnya memutuskan untuk tetap bersama demi kami anak-anaknya. Tapi ya segala ribut tetap berlanjut. Perkara cheating juga berlanjut, hahaha. Tapi kadang juga kaya couple goals gitu, bingung nggak lo? Jangan tanya betapa bencinya gue ama orang tua gue. Gue bahkan kadang mikir nggak akan ada orang yang mau temenan ama gue kalau tahu isi hati gue kaya apa.”
“Setiap hari, gue ngerasa terlalu capek buat lanjut hidup. Gue merasa idup gue udah paling berat sedunia.”
“Setiap hari, kerjaan gue iri ama keluarga temen-temen gue, kecewa ama orang tua gue. Marah. Benci. Tapi gue nggak tau harus cerita ama siapa? Ini aib, ya kali gue umbar-umbar.”
“Setiap hari, gue berdoa biar semua itu berakhir. I wished it would just stop.“
“People say that dream can come true,” suara Win mulai bergetar, “but forget that nightmare are dreams too.”
“It did stop.” Kini Win memandang Bright. “Because my father died from an accident.” suara Win semakin lirih. “Kalau dulu gue merasa idup gue menderita, gue nggak tahu hidup tanpa bapak dalam hidup gue akan seberat ini. I realized that I actually love him so much. Gue sayang banget sama orang tua gue. Dan setelah Bapak nggak ada kaya semua mulai makin... berat. Kaya ganti masalah, tapi dikali lipatkan.”
“Tanggung jawab yang sekarang gue bawa ternyata lebih berat dari apa yang gue kira gue mampu.”
“Jangan nangis,” kata Bright lembut.
Win yang awalnya tidak ingin menangis, tiba-tiba malah berkaca-kaca mendengar Bright. “Jadi tulang punggung keluarga, belum lagi gue punya utang budi ke keluarga besar gue yang udah bantuin ibu buat nguliahin gue, terus tanggung jawab gue biar adek tidak kekurangan apapun. Ternyata seberat itu.”
“Masalahnya... ibu gue sekarang jadi sering pergi sama yang dulu merupakan selingkuhannya.” kata Win. “Gue pikir selama ini Mick nggak paham karena masih kecil. Ternyata dia tahu. Ternyata dia paham. Dulu gue udah berusaha gimana caranya biar Mick nggak tahu, ternyata gagal. Gue udah berusaha biar Mick nggak kaya gue, nggak benci orang tua gue. Ternyata gagal. Apa-apa gue gagal.”
“Dan Mick nggak terima ngeliat ibunya deket sama bapak itu.” kata Win dengan air mata yang mulai menetes. “Kenyataan bahwa orang itu berkontribusi dalam ketidakbahagian masa kecil kami bikin lebih susah buat kami untuk memahami. Gue paham kenapa Mick nggak terima, tapi gue juga paham kalau ibu juga masih butuh temen hidup. Toh udah lama juga bapak gue meninggal nya kan.” kata Win. “Tapi mungkin akan jauh lebih ikhlas kalau bukan si bapak itu orangnya.”
“Lo udah nyoba ngobrol sama nyokap lo baik-baik?”
“Bang...” Win terlihat sangat menyedihkan saat itu. “Dulu aja bapak gue masih ada sebagai suami sahnya tidak menghalangi hubungan mereka, lo pikir omongan anaknya bakalan mempan?”
Bright terdiam.
“Gue tuh... gimana ya? Gue udah mencoba legowo kok. Bapak gue juga banyak salahnya. Dulu setiap hari gue mikir apakah keputusan gue yang meminta mereka terus bersama itu benar? Apakah orang tua gue bahagia? Sekarang, gue cuma pengen orang-orang yang gue sayang bahagia. Ibu gue, adek gue.”
“Makanya gue juga sedang berusaha memahami ibu gue. Gue ngerti beliau butuh temen. Mungkin bapak itu orang yang bisa bikin beliau bahagia.” kata Win. “Gue mau ngasih tau ini ke Mick, tapi gue sendiri aja belum bisa berdamai dengan apa yang terjadi dulu. Nasehat gue ke Mick terasa kaya bullshit doang.”
“Gue emang udah nggak sebenci dulu. Gue emang udah nggak semarah dulu. Gue udah sadar kalau gue lebih sayang dari pada benci ke orang tua gue. Tapi setiap keinget kejadian-kejadian lampau, sakitnya tuh masih kaya kemaren sore. Gue masih merasa gue korban paling tersakiti sedunia. Gue masih nggak ikhlas.”
“Yang sekarang bikin gue pusing banget tuh... gue...” Win agak terbata, “please ajarin gue buat memaafkan orang tua gue. Ajarin gue buat move on dari yang udah terlanjur terjadi dan nggak bisa gue ubah...” mohon Win. Bright hanya menepuk-nepuk kaki Win berusaha menenangkannya. “Gue pengen kaya lo yang udah bisa selesai dengan 'trauma' masa lalu lo. Gue juga pengen... bahagia.”
Bright menarik nafas. Dia, bukan lah psikolog, bukan juga orang yang ahli dan berpengetahuan luas. Yang bisa ia bagi hanyalah pengalamannya. “Win Metawin, dengerin gue ya?”
Win mengangguk.
“Satu,” kata Bright pelan-pelan, “yang berhasil di gue belum tentu berhasil di orang lain. Dua, masalah kita jelas berbeda. Tiga, kita juga orang yang berbeda. Jadi gue cuma bisa ngasih tau apa yang dulu gue lakukan. Ok?”
Win mengangguk lagi sambil menghapus air matanya yang masih sisa sedikit di ujung mata.
“Dulu gue cari akar masalah yang jadi 'baggage' terbesar gue. Saat lo mau menyelesaikan sesuatu, cari masalahnya. Cari penyebabnya. Perkara gue kan karena merasa nggak dipeduliin, nggak dibutuhin dan nggak disayang sebagai anak. Makanya gue malah sibuk ingin membuktikan sekalian kalau gue nggak butuh mereka.”
“Terus gue omongin apa yang gue pendem selama ini sama orang tua gue. Kalau ada masalah, biasain dibicarakan. Jangan pernah menganggap kalau lo diemin masalah lo besok akan membaik dengan sendirinya. Yang ada cuma bakalan jadi bom waktu.”
“Kebetulan orang tua gue saat itu udah cukup kooperatif. Lucky me. Akhirnya mereka mau mendengar gue setelah ada kejadian gue batal nikah. Ya mungkin kejadian itu juga yang jadi wake up call buat mereka sih.”
“Seperti yang gue udah bilang kemaren, gue memaafkan bukan karena gue paham atau membenarkan apa yang udah mereka lakukan. Tapi karena nggak ada yang bisa gue lakukan. Hahaha. Mau gimana lagi kan?”
“Kalau kata gue mah, lo coba ngomongin dulu ama nyokap lo.” kata Bright memberi saran. “Kita nggak bisa ngatur orang mau kaya gimana apalagi kalau orangnya udah pengennya begitu. Yang bisa kita atur kan ekspektasi kita.”
“Hehehe sorry ya, solusinya mungkin dibawah ekspektasi lo. Lo juga pasti udah tau sih kalau gitu doang.”
“Okeeeeey...” jawab Win. “Selama ini gue males ngobrolin topik ini ama orang tua gue karena... ya mereka pasti ngelak. Mereka bakalan bohong, berkilah. Seakan gue tuh belum paham apa itu selingkuh. Dan ngeliat orang yang lo sayang, bohong di depan muka lo tuh rasanya... hahaha... semoga lo nggak pernah tahu aja deh.” Win tertawa getir.
Bright tidak tahu harus menanggapi apa ucapan Win. “Kata orang, often trauma keeps us at the age we experience it. A lot of people are exactly the age their hurt came from.” Katanya sambil kkembali menepuk-nepuk kaki Win. “Makanya kalau mau maju mau nggak mau harus bisa 'sembuh' dulu.”
“Lo bebas kok mau merasakan apa Win. Lo boleh banget merasa sedih, marah, kecewa. Jangan ditahan. Tapi lo juga harus inget mau sampai kapan hidup lo dikendalikan perasaan kaya gitu. Yang bisa menyudahi ya lo sendiri. Kalau lo ternyata merasa butuh bantuan ahli, nggak papa juga.” Kata Bright.
“Orang bilang what doesn't kill you, make you stronger. Gue nggak percaya.”
“Gue juga nggak.” Win setuju. “Iya sih gue jadi gue yang sekarang akibat segala perkara hidup yang gue lalui. Tapi ya... banyak tuh orang yang lebih keren dari gue tanpa melewati semua ini. Hahaha. Orang kenapa sih suka membuat 'cobaan' terlihat keren?”
“Ya biar kuat ngejalaninnya lah.” jawab Bright. “Menurut gue... trauma does not build your character. Justru malah merenggut banyak dari kita nggak sih? Kita jadi lebih... fragile? Sometimes it robbed you from your dreams and opportunities. It destroyed your trust on yourself, on others and may left you with some unhealthy coping mechanism. It changed the way you see the world.”
“Tapi itu mah pendapat gue aja, bisa jadi salah.” kata Bright sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana sedikit.
Win mengangguk-angguk setuju sambil terlihat seperti menahan tangis lagi. “Iya... tapi bener sih... dulu jaman pacaran gue nggak pernah sedih kalau putus. Gue pikir semua itu karena gue udah terlalu sering ngerasain disakiti sama orang yang harusnya sayang ama gue kali ya? Jadi mati rasa.”
“Gue juga takut mau menjalin hubungan tuh... kalau orang tahu keluarga gue kaya gitu, bisa nerima nggak? Belum lagi ketakutan gue kalau gue bakalan jadi cheater juga. Takut banget kalau sampai jadi sesuatu yang gue benci dengan sangat.”
“Siapa coba yang mau ama gue? Udahlah masalahnya banyak, secara mental juga banyak kurangnya. Makanya gue bilang, gue pengen punya pacar. Gue pengen ngerasain apa yang diributkan orang-orang. Tapi gimana kalau gue cuma bawa masalah aja buat orang yang gue suka? Nggak adil nggak sih?” Tanya Win dengan wajah terlihat berusaha kuat.
“Kalau suatu hari lo ketemu orang yang lo suka, janji ya, lo bakalan tanya orangnya sendiri adil apa nggak? Apakah menurut dia masalah lo menjadi sebuah kekurangan atau dia bisa menerima itu. Jangan lo yang mutusin dengan asumsi lo sendiri, karena kebanyakan orang nggak sesimpel apa yang kita bayangkan.” Pinta Bright.
“Hehehe oke... kalau ada yang mau ya?” kata Win. “Btw balik ke topik lagi, Mick gimana ya? Gue ngasih taunya?”
“Ya lo nggak bisa sih memaksakan dia buat ngerti atau nerima, Win. Yang lo bisa cuma pelan-pelan ngasih dia pengertian. Nggak semuanya bisa diselesaikan dengan logika, apalagi adek lo masih muda. Karena bisa jadi luka yang dia rasakan nggak persis sama ama lo. Yang menurut lo biasa, bisa aja itu nyakitin banget buat Mick.” tutur Bright.
“Gue takut tau... takut ga bisa jadi contoh yang baik buat Mick. Takut nggak bisa ngajarin Mick jadi orang yang baik. Takut nggak bisa memfasilitasi Mick hingga menghambat masa depan dia. Nggak ada yang ngajarin gue jadi orang tua. Nggak ada yang ngajarin gue tiba-tiba jadi 'kepala keluarga'. Tapi gue nggak punya pilihan.” keluh Win.
“Ya orang tua juga kadang nggak tau harus gimana kok, Win, apa lagi lo. Wajar lah. Mau berapapun buku yang manusia baca, ilmu yang kita kuasai, saat jadi orang tua pasti akan ada aja masalahnya. Karena jadi orang tua emang sesusah itu.”
“Iya... seaneh-anehnya kelakuan orang tua gue, tapi gue sadar mereka tuh sayang banget sama anak-anaknya. Buktinya mau bertahan demi kami. Gue ngekritik orang tua gue mulu, giliran dikasih tanggung jawab jagain adek ama ibu sendiri aja nggak becus.” Win masih sambat.
“Lo jangan terlalu keras ama diri sendiri juga ya? Berpikir kalau lo bisa semuanya sendiri, kalau semua harus lo hadapi sendiri. Nggak ada yang mengharapkan lo sempurna Metawin. Nggak ada juga manusia di dunia ini yang selalu bisa menyelesaikan masalahnya. Jadi nggak usah dipikirin banget kalau lo bikin salah atau mengambil keputusan yang salah. Pelan-pelan aja sambil belajar.” kata Bright. “Kemaren jangan-jangan lo sampe asam lambung gara-gara masalah ini?”
“Sepele kan? Tapi gitu aja gue stress. Sepele, sepele, sepele tapi banyak, terus otak gue kaya... over load.”
“Lo juga jangan lupa jaga kesehatan. Lo nggak bisa jagain ibu sama adek lo kalau sakit. Mereka bergantung ama lo, jadi lo harus sehat. Gue tau, lo pasti kecewa karena mikir gue bisa bantu lo. Tapi ternyata gue kapasitasnya masih sebatas jadi pendengar doang, karena masalah lo tuh nggak sepele ya Metawin. Lo hebat banget selama ini.”
“Tapi buat seseorang yang belum pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain, rasanya ternyata nggak terlalu buruk. Lega malah. Aneh, cerita doang padahal.” kata Win sambil senyum kecil.
“Kalau gitu, abis ini, kalau ada apa-apa cerita aja ama gue. Jangan disimpen sendiri, ok? Mau penting, mau nggak penting, mau sepele, mau urusan menghancurkan peradaban dunia, gue dengerin. Coba aja dulu. Barangkali bisa sedikit bikin lo lebih lega kaya sekarang. Kalau gue bisa bantu, gue pasti bantu.”
“Emang lo nggak masalah gue recokin sama masalah gue?”
“Nggak lah. Pelan-pelan biasain aja dulu mulai cerita kalau ada yang ganggu pikiran lo, nggak harus kalau ada masalah. Sesekali bergantung sama orang nggak bikin lo jadi lemah kok.”
“Gue bales apa dong kalau lo baik ama gue gini?” tanya Win. “Gue nggak enak kalau utang budi terus.”
“Temenin aja gue, gue nih kesepian. Hehehe. Gue seneng diajak ngobrol gini.” kata Bright. “Pelan-pelan belajar berdamai ama yang udah lewat juga, ya? Kalau ada apa-apa, ada gue, ok? We'll get through this together, kay? Gue mungkin ga bisa bantu bikin lo menerima, bikin lo ikhlas, tapi gue mau nemenin lo belajar.”
Win hanya bisa mengangguk menyetujui permintaan Bright.
Selama ini Win selalu merasa ia harus kuat, tidak boleh tidak. Dia harus bisa menyelesaikan masalah sendiri dan tidak merepotkan orang lain. Ia harus bisa jadi pegangan ibu dan adiknya.
Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menawarkan tangan baginya untuk berpegangan.
Agar tidak goyah.
Agar tidak tumbang.
Agar lebih kuat.
Dan pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Win merasa tidak sendiri.
Kini ia, boleh bersandar sejenak.