atheiaorithia

“Kok gelap-gelapan?” tanya Bright saat ia keluar dari kamarnya dan mendapati Win sudah menunggu di tempat mereka tadi pagi berbagi cerita, hanya ditemani lampu yang remang-remang.

“Jangan dinyalain lampunya, malu.” kata Win saat melihat Bright hendak menyalakan lampu utama. Bright menurut saja, lalu duduk di ujung sebrang sofa, memposisikan dirinya hingga menghadap Win.

“Lo denger gue telponan ama adek gue nggak?”

“Enggak, soalnya gue telponan sama Pak Apo ngurusin kerjaan.” jawab Bright jujur. “Lagian, gue ngapain nguping anjir.”

“Bukan nguping... cuma mungkin aja kan kedengeran.”

“Enggak kok.”

“Yah kok enggak sih...” Win menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Gue jadi bingung mau mulainya dari mana.”

“Dari yang paling bikin lo kepikiran aja dulu.”

“Tapi kaya semuanya bikin kepikiran gimana dong?” tanya Win. “Lo tahu nggak kalau gue bisa dibilang tulang punggung keluarga? Yang beneran nanggung semua, bukan yang bantu-bantu meringangkan beban orang tua gitu.”

“Hmmmm jujur sih nggak tau banyak, tapi tau lah kalau lo kerja tuh punya tanggungan.”

“Okeeey...” kata Win sambil mikir mau mulai dari mana.

Terbuka atas masalah hidupnya dengan orang bukan lah hal yang biasa ia lakukan, jadi Win nggak tau manualnya gimana. Yang jelas hati kecilnya seakan berkata bahwa tidak apa-apa jika sekali ini ia ingin berbagi cerita. Mungkin Bright tidak akan mengerti, mungkin Bright tidak akan bisa memberi solusi, tapi paling tidak pria itu sudah berjanji untuk mendengarkan.

Dan Win tahu, ia tidak perlu berkata 'please, jangan cerita ke siapa-siapa ya?' karena Bright semestinya sudah cukup dewasa untuk dapat memegang kepercayaan.

“Hmmm... darimana ya mulainya?” Win masih bingung. “Bapak gue udah meninggal dari gue masih kelas XII SMA. Sebelumnya... sebelumnya hidup gue bisa dibilang berkecukupan. Pokoknya paling tidak secara materi keluarga gue nggak kekurangan lah.”

“Tapi...” Win ragu-ragu, “tapi... ya nggak seindah kelihatannya. Orang tua gue punya hubungan paling aneh di dunia. Kerjaannya berantem, they fight with each other, despise each other, cheat on each other then make up and being all lovey dovey again. Begitu aja terus siklusnya, hahaha. Gue nggak tahu apakah itu normal? Apakah semua keluarga seperti itu?”

“Yang gue tahu pada saat itu idup rasanya kaya di neraka. Nggak peduli siapapun yang salah, kalau orang tua berantem tuh korbannya akan selalu anak-anaknya. Berantem di sini bukan yang cuma cekcok kecil ya, tapi ya beneran berantem sampai teriak-teriak. Mungkin tetangga juga pada tau kali.”

“Sampai suatu saat, orang tua gue nanya ama gue, apakah sebaiknya mereka cerai aja?” Selama bercerita Win memandang kedua tangannya yang sejak tadi ia mainkan. “Ya menurut lo aja, gue saat itu yang masih anak SMP bakalan jawab apa? Gue jawab, jangan. Gue mikir, kalau pisah ntar ibu gue idupnya gimana kan selama ini nggak pernah kerja. Terus adek gue juga masih kecil banget, gue pikir ya dia masih butuh orang tuanya bareng-bareng lah.”

“Jadi mereka akhirnya memutuskan untuk tetap bersama demi kami anak-anaknya. Tapi ya segala ribut tetap berlanjut. Perkara cheating juga berlanjut, hahaha. Tapi kadang juga kaya couple goals gitu, bingung nggak lo? Jangan tanya betapa bencinya gue ama orang tua gue. Gue bahkan kadang mikir nggak akan ada orang yang mau temenan ama gue kalau tahu isi hati gue kaya apa.”

“Setiap hari, gue ngerasa terlalu capek buat lanjut hidup. Gue merasa idup gue udah paling berat sedunia.”

“Setiap hari, kerjaan gue iri ama keluarga temen-temen gue, kecewa ama orang tua gue. Marah. Benci. Tapi gue nggak tau harus cerita ama siapa? Ini aib, ya kali gue umbar-umbar.”

“Setiap hari, gue berdoa biar semua itu berakhir. I wished it would just stop.

People say that dream can come true,” suara Win mulai bergetar, “but forget that nightmare are dreams too.”

It did stop.” Kini Win memandang Bright. “Because my father died from an accident.” suara Win semakin lirih. “Kalau dulu gue merasa idup gue menderita, gue nggak tahu hidup tanpa bapak dalam hidup gue akan seberat ini. I realized that I actually love him so much. Gue sayang banget sama orang tua gue. Dan setelah Bapak nggak ada kaya semua mulai makin... berat. Kaya ganti masalah, tapi dikali lipatkan.”

“Tanggung jawab yang sekarang gue bawa ternyata lebih berat dari apa yang gue kira gue mampu.”

“Jangan nangis,” kata Bright lembut.

Win yang awalnya tidak ingin menangis, tiba-tiba malah berkaca-kaca mendengar Bright. “Jadi tulang punggung keluarga, belum lagi gue punya utang budi ke keluarga besar gue yang udah bantuin ibu buat nguliahin gue, terus tanggung jawab gue biar adek tidak kekurangan apapun. Ternyata seberat itu.”

“Masalahnya... ibu gue sekarang jadi sering pergi sama yang dulu merupakan selingkuhannya.” kata Win. “Gue pikir selama ini Mick nggak paham karena masih kecil. Ternyata dia tahu. Ternyata dia paham. Dulu gue udah berusaha gimana caranya biar Mick nggak tahu, ternyata gagal. Gue udah berusaha biar Mick nggak kaya gue, nggak benci orang tua gue. Ternyata gagal. Apa-apa gue gagal.”

“Dan Mick nggak terima ngeliat ibunya deket sama bapak itu.” kata Win dengan air mata yang mulai menetes. “Kenyataan bahwa orang itu berkontribusi dalam ketidakbahagian masa kecil kami bikin lebih susah buat kami untuk memahami. Gue paham kenapa Mick nggak terima, tapi gue juga paham kalau ibu juga masih butuh temen hidup. Toh udah lama juga bapak gue meninggal nya kan.” kata Win. “Tapi mungkin akan jauh lebih ikhlas kalau bukan si bapak itu orangnya.”

“Lo udah nyoba ngobrol sama nyokap lo baik-baik?”

“Bang...” Win terlihat sangat menyedihkan saat itu. “Dulu aja bapak gue masih ada sebagai suami sahnya tidak menghalangi hubungan mereka, lo pikir omongan anaknya bakalan mempan?”

Bright terdiam.

“Gue tuh... gimana ya? Gue udah mencoba legowo kok. Bapak gue juga banyak salahnya. Dulu setiap hari gue mikir apakah keputusan gue yang meminta mereka terus bersama itu benar? Apakah orang tua gue bahagia? Sekarang, gue cuma pengen orang-orang yang gue sayang bahagia. Ibu gue, adek gue.”

“Makanya gue juga sedang berusaha memahami ibu gue. Gue ngerti beliau butuh temen. Mungkin bapak itu orang yang bisa bikin beliau bahagia.” kata Win. “Gue mau ngasih tau ini ke Mick, tapi gue sendiri aja belum bisa berdamai dengan apa yang terjadi dulu. Nasehat gue ke Mick terasa kaya bullshit doang.”

“Gue emang udah nggak sebenci dulu. Gue emang udah nggak semarah dulu. Gue udah sadar kalau gue lebih sayang dari pada benci ke orang tua gue. Tapi setiap keinget kejadian-kejadian lampau, sakitnya tuh masih kaya kemaren sore. Gue masih merasa gue korban paling tersakiti sedunia. Gue masih nggak ikhlas.”

“Yang sekarang bikin gue pusing banget tuh... gue...” Win agak terbata, “please ajarin gue buat memaafkan orang tua gue. Ajarin gue buat move on dari yang udah terlanjur terjadi dan nggak bisa gue ubah...” mohon Win. Bright hanya menepuk-nepuk kaki Win berusaha menenangkannya. “Gue pengen kaya lo yang udah bisa selesai dengan 'trauma' masa lalu lo. Gue juga pengen... bahagia.”

Bright menarik nafas. Dia, bukan lah psikolog, bukan juga orang yang ahli dan berpengetahuan luas. Yang bisa ia bagi hanyalah pengalamannya. “Win Metawin, dengerin gue ya?”

Win mengangguk.

“Satu,” kata Bright pelan-pelan, “yang berhasil di gue belum tentu berhasil di orang lain. Dua, masalah kita jelas berbeda. Tiga, kita juga orang yang berbeda. Jadi gue cuma bisa ngasih tau apa yang dulu gue lakukan. Ok?”

Win mengangguk lagi sambil menghapus air matanya yang masih sisa sedikit di ujung mata.

“Dulu gue cari akar masalah yang jadi 'baggage' terbesar gue. Saat lo mau menyelesaikan sesuatu, cari masalahnya. Cari penyebabnya. Perkara gue kan karena merasa nggak dipeduliin, nggak dibutuhin dan nggak disayang sebagai anak. Makanya gue malah sibuk ingin membuktikan sekalian kalau gue nggak butuh mereka.”

“Terus gue omongin apa yang gue pendem selama ini sama orang tua gue. Kalau ada masalah, biasain dibicarakan. Jangan pernah menganggap kalau lo diemin masalah lo besok akan membaik dengan sendirinya. Yang ada cuma bakalan jadi bom waktu.”

“Kebetulan orang tua gue saat itu udah cukup kooperatif. Lucky me. Akhirnya mereka mau mendengar gue setelah ada kejadian gue batal nikah. Ya mungkin kejadian itu juga yang jadi wake up call buat mereka sih.”

“Seperti yang gue udah bilang kemaren, gue memaafkan bukan karena gue paham atau membenarkan apa yang udah mereka lakukan. Tapi karena nggak ada yang bisa gue lakukan. Hahaha. Mau gimana lagi kan?”

“Kalau kata gue mah, lo coba ngomongin dulu ama nyokap lo.” kata Bright memberi saran. “Kita nggak bisa ngatur orang mau kaya gimana apalagi kalau orangnya udah pengennya begitu. Yang bisa kita atur kan ekspektasi kita.”

“Hehehe sorry ya, solusinya mungkin dibawah ekspektasi lo. Lo juga pasti udah tau sih kalau gitu doang.”

“Okeeeeey...” jawab Win. “Selama ini gue males ngobrolin topik ini ama orang tua gue karena... ya mereka pasti ngelak. Mereka bakalan bohong, berkilah. Seakan gue tuh belum paham apa itu selingkuh. Dan ngeliat orang yang lo sayang, bohong di depan muka lo tuh rasanya... hahaha... semoga lo nggak pernah tahu aja deh.” Win tertawa getir.

Bright tidak tahu harus menanggapi apa ucapan Win. “Kata orang, often trauma keeps us at the age we experience it. A lot of people are exactly the age their hurt came from.” Katanya sambil kkembali menepuk-nepuk kaki Win. “Makanya kalau mau maju mau nggak mau harus bisa 'sembuh' dulu.”

“Lo bebas kok mau merasakan apa Win. Lo boleh banget merasa sedih, marah, kecewa. Jangan ditahan. Tapi lo juga harus inget mau sampai kapan hidup lo dikendalikan perasaan kaya gitu. Yang bisa menyudahi ya lo sendiri. Kalau lo ternyata merasa butuh bantuan ahli, nggak papa juga.” Kata Bright.

“Orang bilang what doesn't kill you, make you stronger. Gue nggak percaya.”

“Gue juga nggak.” Win setuju. “Iya sih gue jadi gue yang sekarang akibat segala perkara hidup yang gue lalui. Tapi ya... banyak tuh orang yang lebih keren dari gue tanpa melewati semua ini. Hahaha. Orang kenapa sih suka membuat 'cobaan' terlihat keren?”

“Ya biar kuat ngejalaninnya lah.” jawab Bright. “Menurut gue... trauma does not build your character. Justru malah merenggut banyak dari kita nggak sih? Kita jadi lebih... fragile? Sometimes it robbed you from your dreams and opportunities. It destroyed your trust on yourself, on others and may left you with some unhealthy coping mechanism. It changed the way you see the world.”


“Tapi itu mah pendapat gue aja, bisa jadi salah.” kata Bright sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana sedikit.

Win mengangguk-angguk setuju sambil terlihat seperti menahan tangis lagi. “Iya... tapi bener sih... dulu jaman pacaran gue nggak pernah sedih kalau putus. Gue pikir semua itu karena gue udah terlalu sering ngerasain disakiti sama orang yang harusnya sayang ama gue kali ya? Jadi mati rasa.”

“Gue juga takut mau menjalin hubungan tuh... kalau orang tahu keluarga gue kaya gitu, bisa nerima nggak? Belum lagi ketakutan gue kalau gue bakalan jadi cheater juga. Takut banget kalau sampai jadi sesuatu yang gue benci dengan sangat.”

“Siapa coba yang mau ama gue? Udahlah masalahnya banyak, secara mental juga banyak kurangnya. Makanya gue bilang, gue pengen punya pacar. Gue pengen ngerasain apa yang diributkan orang-orang. Tapi gimana kalau gue cuma bawa masalah aja buat orang yang gue suka? Nggak adil nggak sih?” Tanya Win dengan wajah terlihat berusaha kuat.

“Kalau suatu hari lo ketemu orang yang lo suka, janji ya, lo bakalan tanya orangnya sendiri adil apa nggak? Apakah menurut dia masalah lo menjadi sebuah kekurangan atau dia bisa menerima itu. Jangan lo yang mutusin dengan asumsi lo sendiri, karena kebanyakan orang nggak sesimpel apa yang kita bayangkan.” Pinta Bright.

“Hehehe oke... kalau ada yang mau ya?” kata Win. “Btw balik ke topik lagi, Mick gimana ya? Gue ngasih taunya?”

“Ya lo nggak bisa sih memaksakan dia buat ngerti atau nerima, Win. Yang lo bisa cuma pelan-pelan ngasih dia pengertian. Nggak semuanya bisa diselesaikan dengan logika, apalagi adek lo masih muda. Karena bisa jadi luka yang dia rasakan nggak persis sama ama lo. Yang menurut lo biasa, bisa aja itu nyakitin banget buat Mick.” tutur Bright.

“Gue takut tau... takut ga bisa jadi contoh yang baik buat Mick. Takut nggak bisa ngajarin Mick jadi orang yang baik. Takut nggak bisa memfasilitasi Mick hingga menghambat masa depan dia. Nggak ada yang ngajarin gue jadi orang tua. Nggak ada yang ngajarin gue tiba-tiba jadi 'kepala keluarga'. Tapi gue nggak punya pilihan.” keluh Win.

“Ya orang tua juga kadang nggak tau harus gimana kok, Win, apa lagi lo. Wajar lah. Mau berapapun buku yang manusia baca, ilmu yang kita kuasai, saat jadi orang tua pasti akan ada aja masalahnya. Karena jadi orang tua emang sesusah itu.”

“Iya... seaneh-anehnya kelakuan orang tua gue, tapi gue sadar mereka tuh sayang banget sama anak-anaknya. Buktinya mau bertahan demi kami. Gue ngekritik orang tua gue mulu, giliran dikasih tanggung jawab jagain adek ama ibu sendiri aja nggak becus.” Win masih sambat.

“Lo jangan terlalu keras ama diri sendiri juga ya? Berpikir kalau lo bisa semuanya sendiri, kalau semua harus lo hadapi sendiri. Nggak ada yang mengharapkan lo sempurna Metawin. Nggak ada juga manusia di dunia ini yang selalu bisa menyelesaikan masalahnya. Jadi nggak usah dipikirin banget kalau lo bikin salah atau mengambil keputusan yang salah. Pelan-pelan aja sambil belajar.” kata Bright. “Kemaren jangan-jangan lo sampe asam lambung gara-gara masalah ini?”

“Sepele kan? Tapi gitu aja gue stress. Sepele, sepele, sepele tapi banyak, terus otak gue kaya... over load.”

“Lo juga jangan lupa jaga kesehatan. Lo nggak bisa jagain ibu sama adek lo kalau sakit. Mereka bergantung ama lo, jadi lo harus sehat. Gue tau, lo pasti kecewa karena mikir gue bisa bantu lo. Tapi ternyata gue kapasitasnya masih sebatas jadi pendengar doang, karena masalah lo tuh nggak sepele ya Metawin. Lo hebat banget selama ini.”

“Tapi buat seseorang yang belum pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain, rasanya ternyata nggak terlalu buruk. Lega malah. Aneh, cerita doang padahal.” kata Win sambil senyum kecil.

“Kalau gitu, abis ini, kalau ada apa-apa cerita aja ama gue. Jangan disimpen sendiri, ok? Mau penting, mau nggak penting, mau sepele, mau urusan menghancurkan peradaban dunia, gue dengerin. Coba aja dulu. Barangkali bisa sedikit bikin lo lebih lega kaya sekarang. Kalau gue bisa bantu, gue pasti bantu.”

“Emang lo nggak masalah gue recokin sama masalah gue?”

“Nggak lah. Pelan-pelan biasain aja dulu mulai cerita kalau ada yang ganggu pikiran lo, nggak harus kalau ada masalah. Sesekali bergantung sama orang nggak bikin lo jadi lemah kok.”

“Gue bales apa dong kalau lo baik ama gue gini?” tanya Win. “Gue nggak enak kalau utang budi terus.”

“Temenin aja gue, gue nih kesepian. Hehehe. Gue seneng diajak ngobrol gini.” kata Bright. “Pelan-pelan belajar berdamai ama yang udah lewat juga, ya? Kalau ada apa-apa, ada gue, ok? We'll get through this together, kay? Gue mungkin ga bisa bantu bikin lo menerima, bikin lo ikhlas, tapi gue mau nemenin lo belajar.”

Win hanya bisa mengangguk menyetujui permintaan Bright.


Selama ini Win selalu merasa ia harus kuat, tidak boleh tidak. Dia harus bisa menyelesaikan masalah sendiri dan tidak merepotkan orang lain. Ia harus bisa jadi pegangan ibu dan adiknya.

Lalu tiba-tiba ada seseorang yang menawarkan tangan baginya untuk berpegangan.

Agar tidak goyah.

Agar tidak tumbang.

Agar lebih kuat.

Dan pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, Win merasa tidak sendiri.

Kini ia, boleh bersandar sejenak.

Bright diam cukup lama sebelum akhirnya mulai bercerita. “Gue sebenernya nggak ngerti harus mulai dari mana.” katanya sambil menghembuskan nafas.

Win sabar menanti, diam; seakan berkata ia tidak akan kemana-mana kok, tenang aja.

“Hmmm... orang tua gue bukan berasal dari keluarga berada. Jadi keduanya sama-sama kerja to make ends meet. Nyokap gue bahkan kerja di luar kota, yang bikin gue cuma bisa ketemu maksimal sebulan sekali. Dari kecil gue biasanya dititipin ke tante atau nenek gue.”

“Pada masanya, gue jelas merasa terabaikan, nggak disayang, nggak diperhatikan sama ortu gue sendiri. Gue udah caper mulai dari nakal sampai jadi murid berprestasi juga orang tua gue tetep sibuk kerja. Akhirnya gue memilih buat cari temen sebanyak-banyaknya, pacaran, ya pokoknya remaja lah.”

“Hingga akhirnya waktu kuliah gue ketemu sama, sebut aja mbak mantan ya, dan untuk pertama kalinya gue merasakan sebuah hubungan yang serius dan dewasa. She's few years older than me btw. Gue akhirnya merasakan kasih sayang, mendapatkan perhatian yang selama ini gue cari. Pacaran sama dia tuh so easy, nggak banyak drama. I was happy.”

“Kayaknya dia pacar gue paling awet deh, lima tahunan ada kayaknya.” kata Bright mengawang-awang. “Sampai akhirnya gue lulus dan mulai memasuki dunia kerja.”

“Gue nggak tahu kalau orang lain ya, tapi buat gue sendiri mindset gue waktu kuliah, waktu gue awal duapuluhan, waktu gue umur dua lima dan sekarang gue udah tiga puluh lewat tuh pasti beda-beda.”

Win menyesap coklat panasnya sambil khidmat mendengarkan Bright. Tidak ingin menyela, nanti saja.

“Jaman kuliah, gue pikir fase hidup manusia tuh yaudah standar aja, kuliah, lulus, kerja, nikah. Ternyata setelah gue kerja dan hidup mandiri dari orang tua gue, gue baru sadar dengan bertambahnya usia bertambah pula tanggung jawab kita. Life is not that easy. Dan gue yang saat itu masih menyimpan 'dendam' sama orang tua gue sangat ingin membuktikan pada mereka kalau mereka nggak peduli ama gue, gue juga nggak butuh mereka. Gue mau membuktikan kalau gue bisa mencapai semuanya, sendiri.”

Bright melirik Win sesaat, seakan penasaran reaksi pemuda itu. Tapi Win tampak biasa saja, hanya fokus mendengarkannya.

“Hingga tiba saatnya mbak mantan drop the bomb. Orang tuanya mulai mendesak dia buat nanya ke gue kapan gue akan ngelamar karena ada cowok lain yang dateng minta izin ke orang tuanya buat serius ama si mbak mantan. Gue diultimatum, it's now or never. Kalau gue nggak maju, mbak mantan bakalan dijodohin sama cowok yang udah siap buat meminang dia itu.”

Bright menarik nafas. “Dan disitulah gue melakukan kesalahan. Di dorong oleh rasa takut kehilangan satu-satunya orang yang peduli ama gue, gue mengiyakan untuk segera menikahinya. Long story short, keluarga kedua belah pihak setuju, the date is set, everyone was satisfied.”

“Gue pikir gue akan merasa bahagia. But I was not. Semakin hari gue semakin sadar kalau gue nggak siap. Gue belum siap untuk bertanggung jawab atas hidup orang lain. Gue belum siap untuk commit to something that is forever. Gue bahkan belum bisa tanggung jawab sama diri gue sendiri anjir. Hidup gue masih berantakan. Gue pun belum siap secara finansial. Marriage memang belum masuk kedalam rencana jangka pendek gue waktu itu. Masih banyak yang pengen gue capai sebelum gue settle down.”

And then I realize that I... I was not mentally ready for that big step.” Bright terlihat mengerutkan dahinya, seakan kenangan tentang masa itu masih membuatnya bingung sampai sekarang. “Mungkin... mungkin gue nya aja yang pengecut. Mungkin gue nya aja yang brengsek. Tapi pada saat itu gue merasa gue lebih baik mundur daripada memaksakan sesuatu yang gue belum siap.”

“Gue tau risikonya.” kata Bright lirih.

Pemuda itu diam beberapa saat.

“Gue harus kehilangan dia kalau gue mengambil keputusan itu. Nggak cuma kehilangan, gue bakalan nyakitin dia, teramat sangat. But at that time, I thought that I loved her too much and she deserve better than half asses marriage just because I'm not ready...

So I told her the truth and I called off the wedding about seven or six weeks before the big day. Mumpung belum ngurus ke KUA.”

I.... I... I don't...” Bright terbata-bata. “It's my honest mistake. I know. Gue sadar. She went ballistic, which is understandable. Dia berusaha ngebujuk gue tentu saja, dia dan seluruh keluarga gue. Semua orang, to be honest.”

“Mereka bilang, it just a wedding jitters. Lumrah. Bla bla bla. Lanjut aja. Tapi semakin mereka bujuk gue, semakin gue yakin kalau gue emang belum siap.”

I've hurt her, and I'm so so sorry for that. Tapi gue bakalan lebih nyakitin dia kalau gue tetep lanjut. Sampai sekarang pun gue masih merasa menjadi manusia paling brengsek sedunia. Bisa-bisanya gue sejahat itu ama satu-satunya orang yang peduli ama gue. I'm a trash, right?

Hening.

“Lo, nanggepin apa kek. Jangan diem aja, gue jadi grogi.” kata Bright saat Win masih diam saja.

“Lanjutin dulu aja, gue dengerin.”

“Okeeeeeeey...” kata Bright. Win dapat melihat tangan Bright sedikit gemetar. “Sampai sekarang gue tidak tahu apakah itu sebuah kesalahan atau pilihan yang benar. But I have to live with the choice that I have made, right?

Win mengangguk. “Terus gimana pas itu? Orang tua lo? Orang tua dia?”

“Gue kena maki lah ama orang tuanya. Udah mending gue nggak digebukin, which I deserved, to be honest. Gue ganti semua biaya yang udah terlanjur keluar tapi gue tahu itu nggak bisa ganti sakit hatinya si mbak ama gua.”

“Orang tua gue? Well, kalau dulunya hubungan gue ama mereka tuh nggak deket, setelah kejadian itu jadi lebih buruk. I've been utter disgrace to the family. Bokap nyokap gue sampai nggak keluar rumah sebulanan kayaknya karena malu.”

“Kata bokap, gue nggak laki...” Bright menarik nafas seperti mencari kekuatan untuk terus bercerita. “Gue nggak laki,” Suaranya kini terdengar serak mungkin menahan tangis, “karena gue tidak bertanggung jawab atas keputusan yang udah gue ambil dan memilih untuk mundur. Dia bilang menikah tuh dijalani aja, kalau mau nunggu siap, sampai kapan?”

“Gue sadar gue brengsek kok, nggak perlu diperjelas lagi. Tapi gue nggak mau jadi bokap gue 2.0. Gue nggak mau nikah tapi ternyata nggak mampu ngurusin keluarganya sendiri. Nggak mau. I don't want to create another me.”

“Jadilah gue bertengkar hebat sama bokap. Sempet putus kontak juga.” Mata Bright kini jelas berkaca-kaca. “Sampai akhirnya, lo tau nggak?”

“Nggak tau lah...”

“Gue dapat kabar mbak mantan nikah.”

“Hah?” Win kaget. Buset karma nya kontan nih? “Nggak lama setelah batal ama lo?”


.

.

“Nggak lama?” Bright tertawa getir. “Dia nikah ditanggal seharusnya kami nikah, dengan orang yang sempet dateng mau serius ama dia itu. Dia nikah dengan design undangan yang sama persis yang harusnya kami pakai. Di gedung yang sama. Gaun yang sama. Semua sama. Kecuali mempelai prianya...”

“Anjiiiiiiir....” Win kehilangan kata-kata. Buset dah buseeeeeet.

Bright tersenyum pahit. “Gue... mau sakit hati aja bingung. Layak nggak gue buat sakit hati? Kan itu karena keputusan gue juga. Did I deserve it? Probably, yes. Kan dia saat itu udah bebas mau sama siapa. Hak apa yang gue punya setelah gue nyakitin dia sedahsyat itu, ya kan?”

“Gue sekarang beneran cengoh anjir. Bang... drama bats idup lo!” kata Win heboh.

Bright tertawa melihat reaksi Win. “That's the turning point of my life tho. Gue mau nyesel, mau marah, mau kecewa juga nggak ada gunanya. My life was a mess back than. I was a mess. Antara nyalahin diri sendiri karena udah jadi pengecut dan patah hati karena ternyata segampang itu gue digantikan. Tapi disaat yang sama gue juga sadar, kalau orang yang emang beneran udah siap ya bakalan kaya suami si mbak. Yakin. And I'm anything but that.”

“Terus gimana?”

“Sekarang sih si mbak kayaknya happily married with two beautiful children. And gue ikut bahagia buat dia, because she deserve it.”

“Maksud gue, lo nya. Lo nya gimana saat itu?”

Bright terdiam, agak kaget. “Kayaknya lo orang pertama yang peduli ama keadaan gue saat itu. Haha.”

What?????

“Kebanyakan orang yang kenal ama gue nyalahin gue, dimengerti sih. Gue layak kok dikapokin. Akhirnya saat itu gue memilih buat berusaha memahami diri gue sendiri aja. Masalah mana yang bisa gue selesaikan lebih dulu. Kalau gue terlalu fokus ama yang udah lewat gue nggak akan bergerak maju. Let by gone be by gone.”


“Gue akhirnya berusaha ngobrol baik-baik sama orang tua gue. Gue minta maaf udah bikin malu. Gue jelasin alasan gue yang akhirnya malah berujung jadi deep talk antara kami untuk pertama kalinya.” Kata Bright yang kini senyumnya lebih bahagia.

“Jadi tuh, orang tua gue sama-sama timbuh besar dengan banyak dipaksa oleh orang tua mereka untuk jadi ini itu. Kuliah udah ditentukan, kerja disuruh jadi apa yang orang tua mereka mau, bahkan nikah pun dijodohkan. Mereka merasa dijadikan investasi hari tua oleh orang tua mereka.”

“Dan lo tau nggak, mereka selama ini kerja keras biar gue bisa punya pilihan dalam hidup. Biar gue bisa jadi apapun yang gue mau. Mereka kerja keras sampai lupa waktu agar mereka nggak jadi kaya orang tua mereka. Mereka pengen kalau udah tua besok nggak ngerepotin gue, anaknya.”

“Mereka bilang, mereka bukan nggak peduli sama gue. Niatnya mereka cuma ngasih kebebasan buat gue untuk memilih hidup gue mau jadi kaya gimana. Mereka pengen gue jadi orang yang mandiri. Meski kenyataannya kan tetep aja tidak sesuai idealnya.”

“Saat itu gue sadar, gue terlalu membenci orang tua gue tanpa sadar kalau mereka juga membawa luka dari orang tua mereka. Mereka cuma ingin memperbaiki apa yang menurut mereka salah dari orang tua mereka, meski ternyata belum bisa ketemu titik tengahnya, karena gue merasa mereka cenderung kelewatan ngasih gue kebebasannya.”

“Gue baru sadar, trauma lintas generasi itu nyata. Agaknya kurang adil menyalahkan orang tua gue atas luka batin yang gue miliki sekarang sementara mereka juga punya itu sebagai warisan dari generasi sebelumnya.”

“Saat itu gue pengen memutus rantainya sampai di gue aja. Gue harus belajar menerima. Gue harus belajar melihat sesuatu dari sudut pandang lain. Gue harus bisa berdamai dengan luka masa kecil gue, kalau gue pengen melangkah lebih lanjut.”

I need to heal before having new relationship so my partner don't have to heal from having me as a partner. Akhirnya gue memilih fokus untuk memperbaiki hubungan gue sama orang tua gue. Fokus untuk merasa nyaman dengan diri sendiri dan tidak mencari validasi orang lain. Fokus mengejar apa yang gue cita-citakan. Fokus pada hidup gue.”

I forgive my parent not because what they've done were right, but because there's nothing I can do about it. Itu susah banget sebenernya. Gue udah terbiasa hidup dalam victim mentality dan itu sulit diubah.”

“Privilege yang gue punya sepanjang hidup juga sebenernya hasil pengorbanan masa kecil gue yang ditinggal ortu sibuk kerja. Kalau nyokap nggak bantu kerja, mungkin gue nggak bisa dapet pendidikan terbaik kaya yang gue dapet saat ini. Kalau bokap gue nggak ambis ama kerjaannya mungkin sekarang gue bakalan jadi sandwich generation yang nggak bisa fokus sama hidupnya sendiri. Mereka emang salah, tapi itu adalah pilihan berat yang mereka ambil karena mereka merasa itu yang terbaik untuk masa depan gue. Gila ya, jadi orang tua tuh berat banget, anjir.”

Win termenung mendengar cerita Bright. “Jadi lo udah nggak benci sama mereka?”

Bright menggeleng sambil tersenyum. “Susah banget untuk menyembuhkan luka yang udah terlalu lama ada ama lo. Susah banget. Tapi nggak ada orang yang bisa menyembuhkannya kecuali lo sendiri yang mau. Not even your partner. Mereka mungkin bisa ada, ngesupport dan segala macem, tapi menurut gue bolanya tetep ada ama lo.”

“Gue jadi belajar untuk lebih sabar menghadapi segala sesuatu. Gara-gara pernah jadi bahan gosip orang, gue juga belajar to not giving a fuck about what other people are saying. Gue belajar memaffkan, entah itu diri gue sendiri ataupun orang lain. Semua cerita selalu punya dua sisi. Mbak mantan juga pelajaran hidup buat gue, meski mungkin gue lebih terasa seperti cobaan dihidup dia.”

“Maaf kalau back ground story gue terasa seperti excuse buat keputusan jahat yang gue ambil ke mbak mantan.”

“Kenapa lo minta maaf coba?” tanya Win.

“Nggak tau. Gue selalu merasa orang mengharapkan gue untuk minta maaf setiap kali bahas masalah ini.” kata Bright. “Jadi, gimana Metawin? Apakah gue masih terlihat seperti sempurna?”

“Lebih terasa manusiawi sih jatohnya.” jawab Win. “Tapi semua itu tidak menjawab kenapa lo masih single. Trauma kah?”

“Hmmmm... nggak juga sih. Gue sebenernya udah nyoba pacaran lagi setelah itu. Dua kali dan dua-dua nya nggak ada yang bertahan lama. Kaya gue udah makin tua, udah males kalau pacaran yang ribet-ribet gitu. Nggak masok bagi gue kalau disuruh berada dalam sebuah hubungan yang apa dikit dibawa ribut. Hidup gue sekarang udah nyaman, kalau pacaran cuma nambahin pikiran aja, gue mending skip. Ngapain?”

“Sadis bener.”

“Hahaha... nggak juga sih. Asli nggak bisa banget gue kalau disuruh pacaran kaya anak muda yang banyak berantem cuma biar hubungannya lebih... apa ya? Berwarna? Biar nggak hambar? Nggak masuk di logika gua. Gue udah melewati fase itu gitu lho dan nggak punya waktu untuk ngulang. Kriteria gue neko-neko kok, cuma pengen seseorang yang nyaman dan nyambung aja. Makanya gue bilang, gue ini aslinya boring.”

“Justru itu yang susah Pak, nyari yang nyaman dan nyambung.” kata Win. “Terus lo males pacaran lagi?”

“Bukan males sih, lebih ke jalanin aja. Kalau ketemu yang nyaman ya bakalan gue usahakan, apalagi kalau prinsipnya sejalan. Sama-sama mau berkembang dan dewasa bersama.”

“Emang mantan lo ngapain sih?”

“Hahaha... Gue selalu pihak yang diputusin tau. Karena gue membosankan. Nggak pernah menunjukan kalau gue jealous, nggak pernah ngelarang-ngelarang dia pergi kemana-mana, ngabarin seperlunya aja nggak harus terus-terusan.”

“Lah? Enak lah itu mah.”

“Ya kan orang beda-beda Win. Gue juga tidak menyalahkan kalau mereka mengharapkan itu. Kalau masalahnya adalah mereka merasa gue kurang ekspresif jadi mereka ga tau gue sayang, gue nggak keberatan buat lebih menunjukan rasa sayang gue. Tapi kalau apa-apa harus dibikin berantem, hadeeeeeh I'm too old for that.

“Standar lo udah mbak mantan terindah sih. Lo udah pernah ngerasain nyamannya sebuah hubungan yang nggak ribet, makanya jadi males.”

“Tapi gue udah move on kok dari dia.” Jawab Bright pasti. “Maybe I'm just too boring for their liking aja. Nggak fleksibel? Nggak seru? Mungkin ini juga hasil didikan orang tua gue yang terlalu membebaskan gue jadi gue nggak biasa sama hubungan yang suka saling melarang pasangannya gitu. Nggak masok.”

“Hmmmm gue jadi penasaran lo kalau pacaran kaya gimane ampe diputusin mulu.”

“Mau ngerasain pacaran ama gue? Tapi gue kalau pacaran udah nggak mau putus sih sekarang.”

Win hanya memandang Bright dengan malas. Becandanya begitu mulu. Kalau Win lama-lama baper gimana?

Terima kasih buat kalian semua yang mau baca sampai tamat. Dari yang awalnya one shot akhirnya malah jadi long au gini, terima kasih ya kalian semua yang udah sabar. Maaf juga sekarang makin bacot tapi tetap nggak rajin jbjb. Maaf banget hehehe.

Semoga kalian semua, orang-orang baik nan sabar yang udah mau baca, komen, pesan manis-manis dan kadang ngerekomendasiin au ini selalu sehat-sehat ya! Nggak bisa bales kebaikan kalian satu-satu, semoga yang bales yang di atas.

Kalian baik banget. Semoga kalian senantiasa dikelilingi orang-orang baik juga!

Hail Hydra

  • Ran

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

hehehe

.

.

.

.

.

.

miaw

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

. . . .

Udah gitu aja! Wle

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Untuk yang sabar mau scroll sampai sini, hehehe. Here you go, a little present for you. Terima kasih udah mau baca sejauh ini.

Please, diem aja kalau kalian nemu ini. Jangan ribut di komen ya, jangan bahas, jangan bilang apa-apa pokoknya. Jujur aku tuh beneran nggak pede nulis beginian, makanya setiap kali privatter ada yang ngelike rasanya grogi sendiri. So please, please, diem-diem aja. Biar yang nggak baca ini nggak tau. Hehehe.

Tapi kalau tetep ketauan, yaudah

Much love – Ran

Hint tambahan: xxxxxx (g pake spasi)

https://privatter.net/p/7298272

Win tersenyum lebar saat matanya mengenali bangunan tempatnya rutin berenang setahun lalu. Tempatnya berkenalan dengan orang yang kini ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Their memorable swimming pool.

Seperti biasa, tidak ada orang lain yang menggunakan kolam renang itu dimalam hari selain mereka. Nostalgia yang kini memenuhi dada Win terasa syahdu. Terakhir kali ia kemari, satu-satunya hal yang ia rasakan adalah perasaan kosong dan hampa. Sepi. Ia ingat saat itu ia baru saja menyadari perasaannya kepada Bright dan berpikir jika ia tidak akan punya kesempatan berjumpa dengan pria itu lagi.

Win tahu Bright sudah merencanakan segalanya ketika ia melihat Bright membawakan perlengkapan renang sekaligus baju ganti untuknya. Tak membuang banyak waktu, keduanya segera masuk ke kolam setelah selesai berganti baju.

Ternyata setahun tidak berlatih membuat stamina Win tidak sebagus dulu. Belum apa-apa ia sudah ngos-ngosan dan lebih memilih untuk sekedar bermain air daripada serius berenang.

“Lo pernah bilang, bagaimanapun juga hubungan kita dimulai dengan cara yang salah. Jadi gue mau ngajakin lo buat memulai lagi dari awal.”

“Apaan sihhhhh...” komentar Win sambil tersenyum. Seharian ini sepertinya senyum hampir tidak pernah lepas dari bibirnya. Indah. Bright ingin melihat Win selalu seperti ini.

“Kok malah apaan sih,” protes Bright kemudian berenang mendekati Win. “Kan dulu pertama kali kita ketemu di sini. Inget nggak dulu lo hobi ngambang-ngambang kaya tai?”

Bright merasa ia terlalu jumawa berpikir ia akan biasa saja melihat Win hanya dengan celana renang sementara badannya basah berkilauan dibawah cahaya lampu. Beda sekali rasanya dengan dulu saat Win adalah seseorang yang diluar jangkauannya, kini Win tak lagi milik siapa-siapa dan pemandangan di depan mata Bright ini terlalu menggoda.

Bright hanya bisa menelan ludah, berusaha menahan diri. Since yesterday, he has to give everything in his power to restrain himself from jumping on Win. Gila. Lama-lama Bright bisa gila. Tapi Bright ingin mengormati Win. Bright tidak tahu seberapa jauh batas yang diizinkan Win untuknya dan ia segan bertanya because he doesn't want to rush him. They promised to take everything slow, right? Bright hanya ingin Win merasa aman dan nyaman bersamanya.

“Bright! Jiblek??? Lo dengerin gue ngomong nggak sih? Kok malah ngelamun?” Panggil Win. Bright pun tersadar dari lamunannya. Loh kok Win sudah sedekat ini?

Sorry sorry... ngomong apa lo tadi?”

“Lo mikirin apaan sih?” tanya Win dengan dahi berkerut. Mata Bright otomatis turun memperhatikan bibir Win yang memerah karena dingin.

Ya Tuhaaaaaaan... cobaan mu. ratap Bright.

Win mengikuti pandangan mata Bright dan menyadari Bright memperhatikan bibirnya. Jantung Win berdegup kencang tanpa terkendali. This place is their sanctuary. Hanya ada mereka berdua disini. Tanpa sadar Win menggigit bibirnya, nervous. Namun, dimata seorang Bright hal itu justru membuat Win terlihat semakin menggoda.

Shit. Shit. Shit.

Win mendekat. Tangannya menyentuh bisep Bright dengan pelan. Dingin jemari Win seakan membakar kulit Bright. He's too sensitive and too alert. Mata Win beralih dari tubuh Bright, memandang mata Bright dalam-dalam. Bright hanya bisa diam mematung, membiarkan Win melakukan apapun yang ia mau.

Tangan Win yang satunya mulai meraba abs Bright, seperti sedang menghitungnya satu persatu di dalam air. Tanpa sadar Bright menahan nafasnya, berusaha keras untuk tidak mendesah hanya karena sentuhan seperti ini.

Shit.

Tahan. Tahan. Tahan. Batin Bright berusaha menguatkan imannya. Ini pasti pembalasan dari Win karena sudah menggda pria itu tadi siang di dapur.

Tangan Win naik mengelus leher Bright sementara wajahnya semakin mendekat.

Bright tercekat.

Damn.

Now he can't focus on anything else except the shape of Win's lips. How perfect it is. The way they slightly parted, the way Win's hands keep touching him so slowly raising goosebumps all over his skin and the way Win's eyes never leave his while doing so almost destroy Bright's sanity.

This man in front of him definitely not as innocent as he may look.

He's a foxy one.

Bright want to kiss him breathless, messing his pristine facade.

And when his lips is just one breath away from Win's,

*”Fiuuuuuuuuuuuh“* Win meniup bibir Bright membuat pria itu berjengit kaget. Win segera berenang menjauh dan Bright bisa membayangkan senyum usil penuh kemenangan yang pasti menghiasi wajah manis Win.

Frustrated, Bright dips to the water try to calm his hormones.

Di dalam air Bright iseng membuka matanya dalam air dan melihat Win melakukan hal yang sama di sebrang sana. Bedanya, Win tersenyum kesenangan melihat Bright kesal.

An eye for an eye.

Win senang melihat ternyata tidak hanya dia yang terpengaruh. Melihat reaksi Bright, bisa dipastikan lelaki itu juga menginginkannya.

Win melihat Bright melakukan sign language di seberang sana lalu mengartikannya dalam hati.

F

U

C

K

Y

O

U

Win tidak sanggup lagi, ia menghilang dari pandangan Bright menuju kepermukaan. Bright bisa mendengar suara renyah tawa Win menggema kepenjuru ruangan.

Malah diketawain.

“Mas, Minggu ada acara nggak? Ibu udah nagih-nagih mulu minta kita berdua main ke rumah. Tapi kalau kamu ngerasa belum nyaman, aku ngerti.” kata Win pada suami yang tidur di sebelahnya. Win sadar Neng sedari tadi memandanginya, namun memilih pura-pura sibuk memainkan hp.

Perhatian Neng belakangan ini membuat Win semakin merasa berdosa. Semakin Neng baik kepadanya semakin tersiksa pula batin Win.

“Hmmmm... ok.” kata Neng.

“Hah?” Win kaget. “Beneran mau?”

Neng mengangguk, masih memandangi Win. “Win...”

“Hmmm?”

You know I love you right?

Win menelan ludah. “Hu uh. Kamu beneran udah nggak papa ketemu sama orang tua aku?”

“Kan udah pernah ke sana juga, pas kamu pergi dari rumah. Lagian ada yang mau aku omongin ke orang tua kamu.”

“Apaan?” Tanya Win tidak mengerti. Kok dia nggak tahu.

“Win...”

“Apaaaaa? Dari tadi manggil-manggil terus.”

Neng hanya diam mengelusi rambut Win dengan sayang, masih menatap Win dengan pandangan yang tidak Win mengerti. “Mas?”

Neng menelan ludah dan menutup matanya sebentar, mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Aku mau minta maaf sama keluarga kamu. Minta maaf karena nggak bisa memenuhi janji aku untuk bikin kamu bahagia.”

Win diam saja. Ia masih mengira Neng mau minta maaf atas apa yang sudah terjadi.

“Aku mau minta maaf karena ternyata mereka bener dan aku... aku nggak bisa jagain kamu lagi.” kata Neng terbata-bata.

“Maksudnya gimana itu?”

“Aku udah masukin gugatan cerai ke pengadilan. Mungkin dalam waktu dekat kamu bakalan dapet panggilan sidang pertama.” kata Neng kini tak lagi mau memandang Win.

Win hanya membuka bibirnya, ingin mengatakan sesuatu tapi tak ada kata yang terucap. Rasanya seperti ada petir yang menyambar di siang bolong.

Apa-apaan?

“Aku minta maaf nggak ngomongin dulu sama kamu, I know, itu salah tapi aku takut kalau aku bakalan mundur kalau kamu bujuk.”

Why? Apa-apaan ini?” Win bangun dari tidurnya. “Aku salah apa?”

“Kamu nggak salah apa-apa. Aku cuma sadar kalau aku udah gagal buat bahagiain kamu.” aku Neng.

“Aku bilang kan aku udah maafin Mas buat yang kemaren. Kenapa tiba-tiba ngambil keputusan tanpa diskusi sama aku dulu sih? Kamu tuh namanya nggak menghargai pendapatku. Ini hubungan bukan tentang kamu aja, ini hubungan kita berdua!”

Win! I've tried!” Neng mulai berkaca-kaca. Suaranya serak menahan perasaan sedih. “I try to be a better person for you. Aku udah nyoba buat nggak takut, tapi aku nggak bisa. Apa kamu tahu aku belakangan ini nguntit kamu pergi kemana-mana? Karena aku nggak bisa tenang liat kamu pergi. Aku sadar itu nggak sehat, tapi aku nggak bisa nahan. Aku takut dan aku capek takut terus Win. Aku capek.”

Win memandang Neng tidak percaya. “Aku harus apa Mas, aku bisa bantu apa?” tanya Win panik. “Ini pasti masih bisa dibicarain.”

Win... please... look at you.” kata Neng memohon, air matanya menitik. “Look at me. Look at us. Aku baru sadar apa yang aku lakuin ke kamu selama kita nikah ini adalah salah. Apa yang aku pikir itu cinta ternyata nyakitin kamu. I've mistaken my obsession to you as love.

Please...jangan ngomong gitu Mas... kita pasti bisa ngelewatin semua ini.”

“Win, aku sayang sama kamu. Kalau aku cuma nggak bisa bikin kamu bahagia mungkin aku masih bisa usaha. Tapi kenyataannya adalah aku nyakitin kamu, tanpa sadar. Dan nggak ada jaminan aku nggak bakalan ngelakuin itu lagi kedepannya. I need help, and it's not from you. Aku nggak bisa tiap hari hidup dalam kekhawatiran berlebihan yang aku sendiri nggak bisa ngontrol.”

“Mas...” ratap Win. Jadi ini alasan Neng bersikap aneh belakangan ini? Karena Neng ingin berpisah darinya? Karena ini merupakan akhir dari perjalanan mereka?

“Win... Please, let just be honest shall we? Kita udah nyoba buat perbaikin semuanya beberapa bulan belakangan ini kan, but it's not working, you know it too. You still as unhappy as you were. Me too.

Win menangis, karena ia sadar ketidakbahagiaannya kini bukan semata karena salah suaminya tapi kesalahannya sendiri juga.

So please, Sayang, please ngertiin keputusan aku ya, this is my last bit of love for you... I set you free. And I'm so so sorry that I hurt you. I'm sorry that I've failed my vow to make you happy. I'm sorry.

“Apa udah nggak ada jalan lain?” tanya Win lirih. Kini ia dilema untuk mengaku saja kalau ia juga sejujurnya sama salahnya dengan Neng atau tidak.

But some matter better left unsaid.

“Win kita dari awal tuh udah salah tapi kita pura-pura nggak liat. I'm a vet, I love animals. Tapi aku nggak bisa punya peliharaan karena kamu kalau nggak takut, ya alergi sama hewan. Kamu pengen banget punya anak tapi aku enggak, makanya kita nggak pernah adopsi karena aku nggak suka. We're so stupid to think that we can over look this matter. Itu baru satu.” Neng berusaha membuat Win memahami keputusannya.

“Kita terlalu buta, terlalu pengen membuktikan ke orang lain kalau mereka salah dan kita yang bener. Dan aku harusnya sebagai yang lebih tua di sini bisa lebih dewasa, tapi apa? Aku malah ngotot memaksakan hubungan ini. Let just stop before we turn to be the couple we used to hate.” Bujuk Neng. “Yang bertahan namun saling membenci. Yang bertahan hanya karena saling menghormati.”

“Mas... maafin aku...” Win tidak tahu ia harus gimana menghadapi semua ini. Masalahnya, Win juga sadar apa yang Neng katakan adalah benar.

“Mas juga minta maaf ya?” kata Neng. “Maafin Mas yang udah nggak sanggup hidup dikungkung rasa takut lebih lama. Sekarang Mas semakin takut kalau tanpa sadar nyakitin kamu lagi. Dan hidup dalam ketakutan itu capek banget Win, maafin Mas karena harus nyerah ya?” bujuk Neng dengan muka sedih.

Win tak bisa berkata-kata... hanya air mata yang terus mengalir. Meski sejujurnya hatinya telah berpindah, namun tidak ada perpisahan yang mudah. Ia tentu sedikit banyak masih ada rasa kepada suaminya, meski tak sama lagi. Melihat Neng sekacau ini membuatnya sedih. Oh the mess they've made!

“Mas boleh minta peluk nggak? Yang terakhir? Boleh nggak kalau buat malam ini aja kita pura-pura baik-baik aja?” pinta Neng. “Malam ini aja, karena setelah besok aku ketemu orang tua kamu, aku udah harus ngelepas kamu.”

Win langsung memeluk Neng erat-erat tanpa ragu, mungkin untuk yang terakhir kalinya diatas ranjang mereka ini.

“Janji, abis ini kamu harus bahagia ya?” bisik Neng.

“Apa yang salah ya Mas?” tanya Win dengan suara serak menahan tangis. “Di mana mulai salahnya? Apa ini hukuman buat kita karena udah nyakitin banyak orang demi apa yang kita yakini adalah cinta?”

“Salahnya adalah aku sibuk pengen buktiin ke dunia kalau aku mampu bikin kamu bahagia sampai lupa kamulah yang harusnya aku buktiin.” kata Neng berusaha berbesar hati dan mengakui kesalahnnya. “Win Metawin, kamu bukan kesalahan. Hubungan kita bukan kesalahan. Apa yang udah terjadi bukan kesalahan, on my part mungkin iya, tapi selebihnya... I'm still grateful I've met you.

“Kenapa Mas bisa berani banget mengakui kesalahan Mas?” tanya Win malu. Malu pada dirinya sendiri yang selama ini memilih menjadi pengecut. Orang yang pernah Win anggap sebagai orang jahat dalam kehidupan pernikahan mereka ternyata sanggup mengakui kesalahannya, tidak sekali, namun berkali-kali. Win malu.

“Berani kamu bilang? Butuh orang yang aku sayang hancur” kata Neng mentoel hidung Win sambil tersenyum sedih, “buat aku sadar apa yang aku lakuin itu salah, so the least I can do is owning my mistakes.”

Win kembali dilema, it's only fair if he confess. But what good it will bring?

“Is it really the end for us?”

“Mas tahu kamu juga sadar kalau ini yang terbaik. Selagi kita masih punya kesempatan untuk memulai lembaran baru. Win, meski nggak sama-sama, kita masih bisa bahagia. Pasti bisa. So please, be happy.

You too, be happy. And get help for your...fear...or anxiety? Please! Aku nggak pernah tahu kalau ternyata kamu separah itu...”

Of course.” Neng berusaha bercanda. “I'm lucky enough to realize I've got problems.”

Win terdiam berusaha memahami hidupnya kini. Apa yang mati-matian ia pertahankan karena ia merasa itulah yang benar ternyata menyiksa keduanya. Mungkin memang inilah yang terbaik. Mungkin, Neng hanya menjadi orang yang lebih berani diantara mereka berdua untuk mengakuinya.

Hubungan yang mereka mulai dengan banyak keributan dan luka nyatanya bisa mereka akhiri dengan sebaik-baiknya. Dengan kepala dingin. Hubungan ini bukanlah sebuah kesalahan, karena pada akhirnya keduanya belajar bertumbuh menjadi lebih dewasa.

A lesson lived is a lesson learned.

Win baru saja selesai berkunjung ke panti saat melihat mobil suaminya terparkir tak jauh dari sana. Meskipun malas, Win memutuskan untuk menghampiri suaminya itu.

Bahkan sebelum Win sampai, suaminya sudah turun dari mobil duluan. Sepertinya memang sengaja menunggu dirinya.

“Mas, ngapain di sini?” tanya Win dengan nada dingin yang tidak familiar di telinga Neng.

“Kita perlu ngomong.” Bujuk Neng.

“Aku udah bilang, aku males ngomong kalau kamu masih belum sadar masalahnya di mana.”

“Iya...iya... makanya kita omongin dulu baik-baik ya?” ajak suaminya itu.

“Jangan di sini.” Akhirnya Win memilih untuk mengalah. Cepat atau lambat mereka memang harus membicarakan masalah ini.

“Ok... terserah kamu mau di mana.”


Akhirnya mereka pergi ke salah satu taman kota dan mencari tempat sepi untuk berbicara.

“Win pulang ya? Pulang ke aku ya.” pinta suaminya itu. Wajah Neng tidak seperti biasanya, kantung mata terlihat jelas menandakan bahwa pria itu kurang tidur.

“Aku baru sadar aku akhir-akhir ini nggak perhatian sama kamu saat aku mau nyari kamu dan aku nggak tahu apa-apa tentang kamu sekarang. Aku tahu kamu sekarang tinggal sama temen kamu, tapi aku nggak tahu temen kamu tinggal di mana.” sambung Neng. “Aku sampai harus ngecek tagihan CC dulu-dulu buat nyari tempat kamu biasa renang dan untungnya ketemu.”

Deg.

Apakah Neng berjumpa dengan Bright? Semoga tidak terjadi apa-apa, batin Win.

“Tapi katanya kamu akhir-akhir ini udah nggak pernah renang.” kata Neng sambil memperhatikan rumput di bawahnya. “Aku juga ke rumah kamu tapi ternyata kamu nggak ada di sana.”

“Mas ke rumah?” tanya Win kaget. Neng yang ia kenal adalah Neng yang tidak akan sudi menginjakkan kaki ke rumah orang tuanya.

“Aku udah nggak tahu harus nyari kamu kemana lagi, Win. Kamu aku ajakin ketemuan nggak pernah mau. Kayaknya orang tua kamu belum tahu ya masalah kita?”

“Kamu bilang ke mereka?” Win langsung panik.

“Enggaklah, I just play along.” Neng menenangkan Win. Oh... untunglah “Aku mau nyari kamu di panti, tapi aku juga nggak tahu panti yang sering kamu datengin yang mana. Untung aku inget kamu pernah nyumbang ke panti jadi aku cek tagihan CC lagi, transaksi keluar dari rekening kita dan syukurlah ketemu. Aku jadi sadar, aku bener-bener nggak tahu apa-apa tentang kamu.”

“Kamu mau apa Mas sebenernya?” Tanya Win yang bingung ke mana arah pembicaraan ini.

“Aku pengen kamu balik.” kata Neng.

“Buat apa, kalau kamu aja sampai sekarang kayaknya nggak sadar salahnya dimana.” kata Win dingin.

“Kalau aku nggak sadar, aku nggak akan ada disini nyariin kamu, minta kamu buat pulang. Maaf kalau butuh waktu lama buat aku sadar. Kamu nggak pernah bilang apa-apa sebelumnya jadi aku nggak tahu kalau selama ini aku nyakitin kamu. Kemaren pun pas aku tanya kamu maunya aku gimana, kamu nggak mau jawab. Aku kira kamu cuma ngambek biasa karena nggak diturutin.”

“Waaaaaw. You seem to think it is my job to talk to you out of your misunderstanding of the point I was making.” kata Win tidak percaya. Bisa-bisanya suaminya masih menyalahkan dia. “It is not.

“Iya...iya.... maksud aku bukan gitu...maaf aku salah ngomong lagi.” kata Neng segera. Neng yang ada di hadapan Win sekarang bukan suami yang dikenalnya. Neng yang ini terlihat cemas dan tidak percaya diri.

“Emangnya kamu udah sadar masalahnya di mana?” Win akhirnya memancing lagi.

I'm sorry I hurt you, I didn't mean it.” kata Neng sambil menatap Win, seakan meyakinkan Win kalau apa yang ia katakan adalah sejujur-jujurnya.

You only sorry because for the first time, I finally voicing my opinion! Kalau aku nggak sampai kaya gini kamu nggak akan pernah ngaku salah kan? Apa kamu sadar kamu selama ini nyakitin aku Mas? Saat aku minta kamu buat ngertiin aku, kamu malah ngatain aku apa aja kemaren? Kamu nggak mau dengerin aku.”

I know... aku sekarang sadar... aku minta maaf, Win.” Neng mengambil nafas dalam-dalam “It is me who won't make it without you.” suaranya terdengar agak bergetar seperti orang menahan tangis. “Aku yang nggak bisa tanpa kamu. Maafin aku yang harus kamu tinggal dulu baru sadar kalau aku salah.” kata Neng sambil mengambil tangan Win. “Nggak ada sedetikpun dalam hidup aku yang aku nggak cinta sama kamu.”

“Kalau kamu cinta Mas, kenapa kamu kaya gitu? Kenapa kamu ngelarang aku untuk punya kehidupan di luar rumah tangga kita? Can you see how unhealthy it was?

Neng diam beberapa saat.

Because I was afraid...” kata Neng lirih. “I was afraid if you meet them, you'll finally see what they saw in me. That I was unworthy of you. And you'll leave me...” Air matanya menitik.

“Mungkin karena sejak awal aku tahu mereka nggak setuju kamu sama aku bikin aku selalu ketakutan. Gimana kalau mereka benar? Gimana kalau akhirnya kamu sadar dan ninggalin aku?” suara Neng serak. Win can feel the vulnerability in them. “Aku... aku selalu ketakutan, sampai akhirnya aku nggak bisa liat kamu sama orang lain. Aku mau kamu cuma liat aku doang, fokus ke aku doang. Ketakutanku bikin aku lupa kalau itu ternyata nyakitin kamu. Dan aku nggak pernah sadar kalau aku udah nyakitin kamu...sampai akhirnya kamu kecewa sama aku.” Kata Neng dengan air mata berlinang, masih tidak sanggup memandang Win karena rasa bersalahnya.

“Bahkan saat kamu ninggalin aku, aku masih jadi orang brengsek yang omongannya cuma nyakitin kamu...” Neng kini menangis sesenggukan. “Aku pikir dengan begitu kamu bakalan takut dan balik ke aku. Tapi aku salah. Yang bikin kamu pergi itu... salahku sendiri...”

“Karena salahku sendiri apa yang aku takutkan selama ini jadi kenyataan... kamu ninggalin aku. Maafin aku Win, ” Akhirnya Neng menatap Win lagi, dengan tatapan yang syarat akan penyesalan, “aku yang nggak bisa kalau nggak ada kamu! Aku yang nggak mampu kalau nggak sama kamu... “

I'm sorry that I failed to understand for so long. I'm sorry I failed you. I'm sorry for hurting you that much, I'm sorry... But please, please believe me that I love you. So much that it's hurt. I'm sorry for everything. I'm sorry for making you living like hell when I vowed to make you happy. I'm sorry...for not being the man that you think I am.

Untuk pertama kalinya Win menyaksikan suaminya itu menangis sehebat itu. Lelaki yang selalu terlihat kuat itu menangis, berusaha jujur dengan membuka ketakukannya. Ketakutan yang tidak pernah Win tahu ada pada suaminya. Ternyata pertengkaran dengan keluarganya membawa luka yang merata, kepada setiap insan yang terlibat di dalamnya.

“Win... aku tahu aku udah salah banget sama kamu. Aku tahu aku nggak pantes bilang ini ke kamu, tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa tanpa kamu. Please... comeback to me, please... Aku mohon... Aku janji aku akan berusaha untuk menjadi orang yang kamu mau. Aku janji aku akan berusaha untuk berubah. Please... kasih aku kesempatan ya? Sekali lagi...”

Kepala Win terasa berat sekali. Mengapa pernikahan mereka begitu runyam? Inikah hukuman karena telah menyakiti terlalu banyak orang demi bisa bersama? Apakah ini buah keegoisan mereka berdua?

“Kalau...kalau...masih ada sedikit aja cinta kamu buat aku, please, Win... kasih aku kesempatan ya?” kata Neng memohon dengan sangat.

Win bisa merasakan tangan Neng yang menggenggam tangannya, gemetaran.

“Apakah Mas bakalan ngizinin aku buat ketemu sama siapapun? Keluarga aku? temen-temen aku?”

Neng mengangguk cepat.

“Apa Mas mau bareng-bareng buat memperbaiki hubungan dengan keluargaku?”

“Mau Win... mauuuuu....” jawab Neng penuh harap. “Aku janji buat belajar lebih dengerin kamu, belajar buat memahami kamu. Aku janji buat berusaha melawan ketakutan ku sendiri, belajar buat lebih percaya sama kamu. Oh God, I'm so sorry for everything I've said to you...” Neng menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya yang gemetaran.

Bukankah ini yang diinginkannya selama ini? Suaminya sadar apa permasalahan yang ada diantara mereka, meminta maaf dan berjanji untuk berusaha menjadi lebih baik? Bukankah ini artinya ia tak lagi sendirian dalam berjuang mempertahankan rumah tangga mereka?

Tapi mampukah Win memaafkan suaminya? Mampukah Win melupakan yang telah terjadi dan hanya memandang ke depan?

Setelah semua yang mereka lalui, Win tidak mungkin menyerah disini. Tidak ketika suaminya juga mau berusaha. Tidak jika ia masih melihat harapan untuk pernikahan mereka.

Win harus bisa.

Win harus mampu meninggalkan apa yang sudah terjadi di belakang dan melangkah maju. Tidak ada pernikahan yang tanpa kerikil di dalamnya. Tidak ada pernikahan yang berhasil tanpa usaha.

Win tidak bisa menyerah di sini, tidak setelah apa yang sudah ia korbankan untuk bisa sejauh ini. Tidak setelah ia menyakiti banyak orang untuk bisa bersama lelaki pilihannya. Tidak setelah segala drama yang ia ciptakan dulu. Terlalu banyak yang telah ia berikan demi pernikahan ini untuk menyerah sekarang.

Neng adalah pilihan hidup yang telah diambilnya, dan Win ingin bertanggung jawab atas pilihan hidupnya itu.

“Ok.” Kata Win pada akhirnya.

Neng langsung meraup Win kedalam pelukan. Mengecupi wajah Win seakan Win adalah hal paling berharga dalam hidupnya. Mungkin karena memang begitulah adanya.

Neng selalu mencintai Win, mungkin dengan cara yang salah. Namun kini Neng telah berjanji untuk mencintai dengan benar. To love him right, just like how he deserve it.

“Makasih...makasih...” bisiknya. “Thank you for giving me another chance. Thank you for coming back to me.”

. . . . . .

Inilah yang terbaik, pikir Win.

Win memperhatikan lelaki yang kini sedang makan di hadapannya. Lelaki pilihannya, his moral compass for so long. Win memperhatikan segala gerak-geriknya, apakah ada yang berubah? Apakah lelaki itu masih orang yang sama dengan yang membuatnya jatuh hati lima tahun yang lalu?

Apakah hubungan Win betulan toxic atau tidak, Win ingin membuktikannya malam ini. Dalam hati kecilnya Win masih berharap bahwa suaminya akan membuktikan bahwa tuduhan orang-orang itu salah, namun sebagian lain dari hatinya sadar bahwa mereka mungkin benar.

Kalau memang alasan suaminya melarang Win untuk berjumpa dengan keluarga dan teman-temannya karena tidak mau Win sakit hati, maka ia sudah tidak perlu khawatir. Seharusnya tak lagi ada alasan. Seharusnya Win tidak perlu takut. Tidak ada yang salah dengan bertemu dengan keluarga dan teman sendiri.

Namun Win masih bisa merasakan perutnya mual karena tegang. Kedua tangannya dingin dan gelisah tidak bisa diam. Win dulu bukan penakut, tapi sekarang hal sepele saja bisa membuatnya cemas tak karuan. Win sungguh tidak menyukai versi dirinya yang sekarang.

Win tidak tahu harus bagaimana memulai. Telinganya berdenging lirih, mungkin karena ia terlalu tegang atau terlalu takut, Win tidak bisa memutuskan. Apa yang ia percaya selama empat tahun terakhir bisa hancur karena keputusannya hari ini. Bagaimana jika orang tua dan teman-temannya dulu ternyata benar dan pilihannya yang salah? Bagaiamana Win harus menanggung semua itu? Bagaimana Win harus bertanggungjawab atas keputusannya kelak?

Saat melihat suaminya telah selesai makan dan sedang santai bermain dengan hp-nya, Win memutuskan ia tak bisa menunda lagi.

“Mas?” panggil Win.

“Hmm?” jawab Neng masih sibuk dengan hpnya. Perut Win mencelos, it's now or never.

“Besok kan hari Minggu, Mas libur kan?”

“Hu uh.” Neng masih tidak terlalu menggubris Win.

“Kerumah Ibu yuk.”

“Ok, mau jam berapa?” Sepertinya Neng salah sangka.

“Ibu aku.” jawab Win takut-takut. Jangan takut, batin Win.

Seketika Neng menghentikan kegiatannya bermain hp. “Maksud kamu?”

Jantung Win bergemuruh, hal pertama yang terlintas di kepala Win adalah meminta maaf dan berharap mereka bisa melupakan saja semua ini. Tapi ia tidak bisa, sudah tidak bisa. “Beberapa minggu lalu aku ketemu Ibu, semua udah clear. Ibu dan Ayah udah maafin aku, Mas, maafin kita. Ibu minta kita berdua buat main ke rumah.”

“Maksud kamu apa?” Neng memandang Win dengan tajam. Nyali Win hampir menciut. Kamu nggak salah, jangan takut. Mas pasti ngerti, batin Win.

“Ayo ke rumah, Mas. There's nothing to worry anymore. They're ok with us.

“Kamu ketemu ibu kamu? Kapan? Kenapa nggak pernah bilang?” Neng mengerutkan dahi terlihat mulai emosi.

“Ini kan bilang.”

“Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Ada-ada aja perasaan.” tukas Neng.

Sabar, sabar, batin Win. Pelan-pelan. Harus bisa bicara baik-baik layaknya orang dewasa, jangan pakai emosi. “Apakah aku pengen ketemu keluarga aku itu itungannya ada-ada aja? Bagian mana anehnya? Apakah ada yang salah?” tanya Win sesopan mungkin.

Neng memperhatikan Win. “Kamu nggak bilang ke aku.”

“Apakah kalau aku bilang bakalan diizinin?” tantang Win akhirnya mulai ikut tersulut melihat Neng tidak menanggapi sesuai harapannya.

“Kamu lagi ngajak ribut ya? Kenapa sih Win sehari aja kamu nggak bisa nggak ngajak ribut? Kamu kan tau kenapa aku ngelarang kamu ketemu mereka!” Bentak Neng.

Ngajak ribut bagian mananya sih? Tanya Win dalam hati. “Karena kamu cemas aku bakalan sakit hati lagi? Well, karena udah terbukti itu nggak terjadi, jadi udah nggak ada masalah kan harusnya?”

“Ya kalau sama kamu mah bisa aja nggak ada masalah, kalau sama aku? Aku nggak mau ya kalau cuma nggak dianggep sama keluarga kamu! Win, cuma aku yang sayang sama kamu. Mereka udah ninggalin kamu selama ini dan semudah itu kamu maafin mereka?”

“Apa nggak kebalik tuh? Semudah itu mereka maafin aku yang udah ninggalin mereka? Udah egois dan nyakitin hati mereka? Ibu masih mau maafin aku bahkan minta kita berdua buat main ke rumah, Mas. Temen-temen aku juga maafin aku. Mereka nggak pernah ngehubungin aku karena ngira aku yang nggak mau berteman ama mereka lagi! Semua nggak kaya yang kamu bilang!” Win mulai emosi.

Sabar.

Sabar.

Tarik nafas.

“Kamu ketemuan sama temen-temen kamu juga? WOW!” teriak Neng tidak percaya. “Hebat ya kamu sekarang, aku nggak tau lagi apa yang udah kamu lakuin dibelakang aku.”

“Maksud kamu?”

“Pantes aja kamu akhir-akhir ini berubah, lebih ngerepotin pengen ini itu. Mulai dari tiba-tiba ngotot pengen kerja, terus ngerengek pengen ke panti tiap hari sampai lebay ngambeknya. Persis kaya bocah. Emang susah kalau anak manja mah.” Ejek Neng.

“Gimana aku bisa percaya sama kamu kalau kamu diem-diem di belakang aku ketemu sama orang-orang yang nggak suka sama aku! Orang-orang yang udah nyakitin kita. Siapa tau ternyata kamu juga udah punya yang lain kan, makannya kamu sekarang berani kaya gini!” pandang Neng sinis.

“Maksud kamu ngomong gitu apa?” Win masih mencoba untuk tenang. Ia tidak salah, tidak usah takut.

Namun Win bisa merasakan bagaimana hatinya perlahan retak mendengar perkataan suami yang selama ini senatiasa ia agung-agungkan.

Tarik nafas.

Tenang.

Tenang.

“Kamu berubah Win! Mulai nggak bisa diatur, semaunya sendiri!”

Oh really? Mas, orang-orang bilang hubungan kita tuh nggak sehat tapi aku nggak percaya. Sampai aku sadar kenapa aku susah banget buat cerita tentang ketemu keluarga aku sama kamu. Karena aku takut sama kamu. Kenapa aku jadi takut kaya gini? Karena kamu selama ini udah bikin aku percaya kalau nggak ada orang yang peduli sama aku di luar sana kecuali kamu. Kamu salah! Nggak ada yang sayang sama aku kecuali kamu? News flash, my mom has been loving me for at least two decades longer than you!

“Itu karena ibu kamu mau ngerebut kamu dari aku, makanya baikin kamu lagi. Karena mau misahin kita! Kenapa kamu lebih percaya sama omongan orang daripada omongan suamimu sendiri?”

“Mas, please, liat hidupku sekarang.” bujuk Win. “Liat aku sekarang. Aku nggak bisa cerita lagi sama kamu karena takut aku cuma bikin salah di mata kamu. You are my husband! Nggak seharusnya aku takut sama kamu. Seharusnya kamu adalah orang yang bisa aku ajak diskusi macem-macem tapi nyatanya apa? Nggak bisa! Buat apa ibu ngerebut aku Mas, aku emang anak Ibu!”

You choose her. Finally you choose her now. Kamu udah nggak sayang lagi sama aku.” kata Neng.

Win memegang kepalanya, frustasi. Kenapa susah sekali bagi suaminya untuk melihat masalah yang sebenarnya? “Nggak seharusnya hidupku selalu berada dalam posisi harus memilih antara kamu atau keluargaku. Nggak seharusnya kamu atau keluargaku menempatkan aku dalam posisi ini. This time I choose myself.

“Maksud kamu?” Neng benar-benar terlihat tidak dapat memahami Win malam ini.

“Mas mau bareng-bareng sama aku memperbaiki hubungan kita dengan keluarga aku, temen-temen aku, apa nggak?” ajak Win sekali lagi. Fokus, Win. fokus.

Neng hanya diam. “Kamu cuma nyari-nyari alasan. Hubungan kita nggak sehat? Bullshit. Kamu berubah. Kamu nggak sayang lagi sama aku dan kamu cuma nyari alasan buat nyalahin aku.”

Fuck.” Win tidak tahu harus berkata apa lagi. Kenapa susah sekali berbicara dengan suaminya ini?

“Kesiniin hp kamu.” kata Neng.

“Buat apa?” tanya Win heran.

“Kamu pasti udah punya orang lain kan sekarang? Pasti. Nggak mungkin kamu berubah tiba-tiba. Kamu pasti udah sayang sama orang lain.”

You don't mean that.” kata Win tidak percaya. “Kamu nuduh aku selingkuh? You don't mean that.” Win menggenggam hpnya erat-erat. “You don't mean that.” Win menggelengkan kepalanya tidak percaya. Inikah suami yang dikenalnya?

“Kesiniin hp kamu!” bentak Neng.

No.

“Kalau emang nggak ada apa-apa, kesiniin hp kamu! Nggak ada yang lagi kamu sembunyiin kan?” tantang Neng.

“Nggak.”

“Kenapa? Takut ya?” ejek Neng.

“Karena ini privasi aku.” Sabar. Sabar. Batin Win.

“Privasi tai anjing.” umpat Neng. “Kamu udah diem-diem melakukan hal-hal dibelakang aku masih aja pake alasan privasi. Bilang aja kamu takut!”

“Hal-hal apa tuh? Ketemu keluarga aku? Temen-temenku? Ada yang salah? Yang salah tuh cara kamu mikir!” bentak Win tak tahan lagi, persetan dengan sabar.

“Kesiniin!” Neng bangkit mendekati Win. Win langsung berdiri menjauh.

“Nggak!”

Keduanya kemudian berebut hp Win hingga akhirnya Neng mendapatkan apa yang diinginkannya. Win kemudian terduduk lemas di lantai. Dunianya hancur. Runtuh sudah apapun yang sudah susah payah dibangunnya selama beberapa tahun terakhir ini.

This is it.

Neng membuka hp Win dan memeriksanya. Hening diantara mereka terasa begitu memekakkan. Tentu saja Neng mengetahui password hp Win, Win tidak pernah merahasiakannya dari Neng. Win hanya memperhatikan Neng, memperhatikan suaminya, melihat duniannya hancur perlahan-lahan.

This is it.

“Gimana? Nemu sesuatu?” tanya Win putus asa sambil memperhatikan lantai dibawahnya, tak sanggup memandang lelaki yang dicintainya ternyata tak lagi seperti yang ia kenal dulu. Ia ingin dunia menelannya sekarang juga hingga ia tidak harus menghadapi kenyataan pahit ini.

“Pasti udah kamu hapus-hapus kan?” tanya Neng setelah mengecek hp Win dan kelihatannya tidak menemukan yang ia cari.

Tentu saja.

Win tertawa tidak percaya. “Apa yang mau aku hapus Mas?” Win berdiri dan merebut hpnya dari genggaman Neng. Neng membiarkannya saja.

Sejenak, Win sempat khawatir Neng akan mempermasalahkan Bright, namun Win yakin hubungannya dengan Bright tidak lebih dari sekedar teman. Ia tidak perlu cemas. Win bahkan tidak memiliki kontak temannya itu.

Win membuka phone booknya dan menunjukannya pada Neng. “Mas liat ini? Ini hidupku empat tahun belakangan. Aku bisa sebutin satu-satu siapa aja mereka karena jumlahnya yang nggak ada lima puluh. Itu hidupku setelah menikah sama kamu.”

Win memandang Neng lekat-lekat, dengan kemarahan yang sudah ia tahan mungkin bertahun-tahun. “You shut the fuck up and listen to me now.” kata Win berapi-api namun dengan nada yang tetap sopan. “You, listen to me*.” kata Win sambil menunjuk Neng, wajah Win tampak tenang namun tidak dengan matanya yang penuh amarah. “Selama ini kamu bikin aku percaya nggak ada yang sayang sama aku selain kamu. Kamu bikin aku percaya kalau aku nggak akan mampu hidup tanpa kamu. Kamu bikin aku percaya I'm not capable of many things. Kamu bikin aku nggak percaya sama diriku sendiri. Kamu nggak ngizinin aku punya kehidupan di luar rumah tangga ini. You robbed my life from me. That's not love. Dan aku percaya kamu. Aku percaya kamu dengan setulusnya hatiku, sampai aku rela menjalani hidup sesepi ini! Kamu udah berkorban banyak buat hubungan kita? Aku juga berkorban segala yang aku punya buat hubungan kita!” teriak Win.

“Orang tua kamu yang selalu nggak suka sama aku, I endured every insult they gave me because I think of them as my own parent. Aku relakan mimpiku buat bisa kerja dan ngikutin mau kamu. *I love you, so so much, I turn blind eye over all this bullshit for so long. I let myself reduced to be a mere trophy husband, your husband! I let myself ruined by you*. Sampai akhirnya ada orang yang cukup peduli dan menyadarkan aku kalau hubungan kita nggak sehat and told me that I should talk to you. I don't believe them at first.” kata Win semakin lirih. Lelah. Win sudah lelah.

“Sampai akhirnya tadi aku beraniin buat ngajak kamu ngomong baik-baik tapi ternyata masih sama aja. Kamu malah nuduh orang tuaku, nuduh aku. But still, I give you the benefit of the doubt.” Win mulai berjalan menuju kamar dan mengemasi barang-barangnya. Neng mengekor dibelakangnya, terlihat bingung melihat tindakan Win yang tidak seperti biasanya.

“Kalau emang nggak ada yang perlu disembunyiin terus kenapa kamu nggak mau langsung ngasih hp kamu tadi?” tanya Neng sepertinya mulai khawatir melihat Win.

“Aku pengen liat apakah kamu percaya sama aku apa enggak. No stop, don't touch me, please.” kata Win saat Neng berusaha menggenggam tangannya. “And you don't. You never had. You don't believe me as a partner. You, don't believe me as human, as a man, in everything I do. In your eyes I'm just a liability.

“Kalau kamu masih belum sadar masalahnya dimana, bahwa hubungan ini nggak sehat, bahwa apa yang kamu lakukan selama ini bukan cinta, I can't do anything about it.” kata Win. This is his last straw. Semua emosi yang tertumpuk bertahun-tahun akhirnya meledak juga dan Win kini sangat lelah. “I want out.

What do you mean you want out? Kamu mau kemana?”

You don't expect me to stay, don't you?” tantang Win sambil mengambil kunci mobilnya. “Setelah apa yang kamu tuduh ke aku, ke orang tua aku. Nggak cuma yang malam ini, tapi yang dulu-dulu juga. Not when I finally can see how wrong our relationship is.

You won't make it out there without me.” kata Neng.

Watch me.

Telapak tangan Bright yang sedang memegang kemudi berair karena grogi. Ia tidak pernah menyangka setelah hampir semingguan tidak mendapatkan jawaban, tahu-tahu Win mengiyakan ajakannya. Maka ini lah mereka semobil bersama untuk pertama kalinya. Bright sampai mengambil cuti setengah hari demi menyesuaikan jadwalnya dengan Win.

Sepanjang perjalanan mereka mengobrol dengan santai. Tak lama ketika mereka telah sampai di daerah pinggiran kota, Bright menghentikan mobilnya.

“Sebelumnya, gue mau ngasih lo heads up dulu. Kita bakalan ketemu temen gue. Temen gue yang satu ini agak unik ya karena umurnya baru enam tahunan. Hehehe. Namanya Nawal dan dia pemilik asli Jiblek.” Kata Bright.

Win mengangkat alisnya heran. Lah bocah?

“Kita bakalan dateng ke panti asuhan, rumahnya Nawal untuk saat ini. Gue ketemu Nawal pertama kali sekitar tiga-empat tahun yang lalu, saat dia baru masuk ke panti itu. Sama Bu Ami, kepala panti, gue dikasih tahu kalau Nawal ini deaf and mute. Gue pertama kali liat dia lagi duduk sendirian ngeliatin bebek, ga mau gabung sama temen-temennya.” Kata Bright sambil tersenyum mengingat kenangan lama itu. “Karena tahu Nawal ga bisa denger atau ngomong, gue jadi bingung mau ngapain. Akhirnya gue cuma duduk nemenin dia. Dan dicuekin dong ama dia hahaha. Dia cuma sibuk ngeliatin bebek sambil mainan Jiblek.”

“Pas udah makin sore, gue kan mau balik tuh. Tapi Nawal megangin baju gue terus. Gue nggak ngerti apa maksud dia. Mungkin karena sebel gue nggak paham, Nawal mulai marah terus gigit gue, berkali-kali. Buset deh ganas banget itu bocah. Akhirnya sama Bu Ami kami dipisah. Abis itu Nawal nangis, nangis yang ga ada suaranya sambil ngeliatin gue dan mukanya sedih banget. Dia ngasih Jiblek ke gue dan saat itu gue paham. Dia rela ngasih mainannya ke gue biar gue nggak pergi. Saat itu rasanya campur aduk banget.”

“Padahal gue nggak ngapa-ngapain kan, cuma nemenin dia doang tapi mungkin itu udah berarti banget buat Nawal. Perasaan ketika ada anak kecil yang seneng sama lo tuh bikin lo merasa lo orang paling baik di dunia. Tapi gue juga bingung gimana caranya ngejelasin ke Nawal kalau gue mau kok balik lagi buat dia. Sumpah rasanya hopeless banget nggak bisa komunikasi tuh. Setelah susah payah berusaha ngejelasin dengan bahasa tubuh plus bahasa kalbu akhirnya Nawal mau gue tinggal.”

“Setelah itu gue jadi rutin ke sini. Ketika diperiksain ternyata Nawal bukan tuli bawaan, tapi kemungkinan besar akibat jatuh atau kekerasan yang dia alami pas masih bareng keluarganya. Kata dokter juga, kemungkinan besar Nawal sebelumnya sudah bisa bicara dan paham berkomunikasi. Jadi mungkin dia itu selective mutism karena trauma dan cukup parah karena dia beneran jadi nggak bisa atau nggak mau ngomong, gue juga kurang paham. Lo bisa bayangin nggak sih sepinya dunia Nawal dulu. Dia mainan Jiblek, pencet-pencet Jiblek tapi ga bisa denger suaranya.”

“Sekarang Nawal udah pakai alat bantu dengar jadi dia bisa denger lagi kaya dulu. Cuma masih belum mau ngomong kecuali sama Bu Ami. Sama gue kadang dia mau, kadang nggak, tergantung mood dia aja lagi gimana. Dia masih lebih nyaman pakai bahasa isyarat. Mungkin ini kesalahan kami yang nggak langsung bawa Nawal ke psikolog. Kalau Bu Ami sih nebaknya Nawal dibuang sama keluarganya setelah tau Nawal kehilangan indra pendengarnya itu.”

“Nawal belajar bahasa isyarat karena awalnya Bu Ami mikir yang penting Nawal bisa komunikasi dulu ama orang di sekitarnya. Karena keterbatasan panti dan sulitnya nyari psikolog yang bisa bahasa isyarat, Nawal baru belum lama ini mulai konsultasinya. Paling nggak belakangan Nawal udah lebih bisa ngontrol emosinya, kalau marah udah ga pernah gigit orang lagi kecuali ama gue. Kayaknya kalau ini hobi aja sih.”

“Itulah kenapa Jiblek jadi sangat berarti buat gue. Jiblek itu token kepercayaan seorang bocah yang pernah disakiti oleh orang-orang yang paling dia sayang. Mungkin dulu Nawal bisa merasakan koneksi diantara kami karena sama-sama pecinta bebek hahahaha.” canda Bright.

“Nawal itu anaknya pinter banget tau. Dia cepet banget nangkep pelajaran, dia menguasai bahasa isyarat in no time. Dia juga udah bisa baca padahal belum masuk SD.” Kata Bright bangga. “Gue sedih aja dia seakan dipaksa dewasa sebelum waktunya.”

“Lo bisa bayangin nggak, kemungkinan ada yang mau adopsi Nawal tuh kecil banget. Semakin dia gedhe semakin kecil kemungkinannya. Temen-temen dia yang tidak punya kebutuhan khusus aja jarang ada yang mau adopsi. Padahal mungkin aja kalau Nawal ada di dalam keluarga yang sayang ama dia, kondisinya bakalan lebih cepat membaik.”

“Gue nggak paham kenapa Tuhan ngasih anak ke orang-orang yang nggak layak jadi orang tua. Gue nggak paham kenapa banyak orang berlomba-lomba banyak anak banyak rezeki ketika masih banyak anak-anak yang udah terlahir di dunia ini dan butuh pertolongan mereka. Gue nggak paham kenapa Tuhan ngasih cobaan sebesar ini ke anak sekecil itu. Nawal is the strongest little man I ever encountered.” Bright terdiam beberapa saat. Win sedari tadi pun hanya diam, khusyuk mendengarkan cerita Bright.

“Yang gue tau, the only disability is a disability to accept differences.”

Saat Bright menengok ke arah Win, ia menemukan Win sedang menangis. “Loh? Kok lo jadi nangis sih? Gue ngajakin lo kesini bukan buat bikin lo jadi sedih. Gue pengen minta izin ke Nawal kalau Jiblek sekarang lagi nemenin lo.” Bright jadi panik. “Udah dong nangisnya. Gue bingung kalo lo nangis. Kalau Nawal yang nangis tinggal gue sogok eskrim. Palingan abis itu gue kena omel Bu Ami doang.” bujuk Bright. Win pun berusaha menenangkan dirinya. Nggak tahu kenapa rasanya sedih banget.

“Lo nggak usah khawatir, nanti kalau mau ngobrol ama Nawal biar gue yang ngartiin. Oh iya, he is a feisty little fellow. Songong abis, kerjaannya ngomelin gue, jadi lo jangan ngarepin ketemu ama bocah pemalu ya. Tapi dia anteng sih biasanya kalau sama orang asing.” Tambah Bright. “Ih jawab apaan kek, jangan diem aja. Gue jadi berasa lagi ngobrol ama polisi tidur.”

“Kenapa polisi tidur sih! Biarin gue nangis dengan tenang bentar kenapa? Gue jadi ngerasa nggak pantes nih megang Jiblek.” keluh Win.

“Kumat lagi kan penyakit tidak pede-annya. Nawal anak baik, lo bakalan liat sendiri. Nggak usah khawatir.”

“Kenapa lo nggak adopsi Nawal aja sekalian?” tanya Win penasaran. Win bisa merasakan kalau Bright benar-benar sayang dan peduli pada teman kecilnya ini.

“Karena untuk saat ini gue belum pede apakah gue mampu jadi orang tua yang baik buat Nawal. Idup gue masih belangsak. Untuk sementara ini gua akan bertahan jadi Oom favorit Nawal aja dulu.” kata Bright.

“Entah kenapa, gue yakin lo bakalan jadi ayah yang baik buat anak lo besok.” kata Win.

Bright tersenyum mendengarnya. “So, are you ready to meet my little friend?” tanya Bright. Win mengangguk antusias.

disclaimer: cerita ini ditulis tanpa pengetahuan yang memadahi tentang selective mutism, jadi kalau ada kesalahan please notify me!

Life was a willow and it bent right to your wind

Win sedang menikmati pelukan kekasihnya sambil nonton film khas natal. Musim hujan memang paling cocok buat kelonan. Hangat pelukan dari, Bright; kekasihnya selama setahun terakhir, membuatnya merasa bahagia. This is so perfect. They are so perfect.

Saat jemari Bright tiba-tiba menyelipkan sesuatu ke tangan Win, waktu terasa berhenti. Win melirik benda berkilau yang kini ada dalam genggamannya.

Marry me?” bisik Bright lembut, jemarinya mengelus genggaman Win.

Hening.

No.” jawab Win setelah bengong beberapa saat.

Huh?

No.

What do you mean no?” tanya Bright mulai panik, mencari sesuatu dari raut muka Win yang menunjukkan bahwa pemuda itu sedang bercanda. None. Senyum pun memudar dari bibirnya. Win melepaskan pelukan Bright dan buru-buru bangkit, menatap kekasihnya itu lurus-lurus.

“Kenapa kamu nggak nanya dulu, do I want a marriage?” tanya Win penuh emosi. Rasa marah tiba-tiba memenuhi kepalanya. They are so perfect, why change it? Why marriage? They are fine with what they have right now, no?

Because it never crossed my mind that you would say no.” jawab Bight. “Don't you love me?

I do love you. Isn't it all that matter? I love you and you love me and we're together. Bukankah ini semua udah cukup tanpa harus ada...”

You don't believe in marriage institution or you just don't want to get married with me?” tanya Bright sebelum Win menyelesaikan perkataannya. Mungkin karena tak pernah terbayangkan sedikitpun dalam benak Bright kalau Win akan menolak, maka jawaban Win terlalu menyakitkan bagi hatinya.

“Kenapa sih? Kenapa semua orang melihat pernikahan sebagai tujuan? Harus banget kita nikah? Nggak cukupkah kita bahagia seperti ini? I already move in to your place, we're always together, isn't it good enough already? I love you and you love me, isn't it good enough?

“Apa kamu nggak pernah membayangkan ada aku di masa depan kamu?” tanya Bright putus asa. Senyum hangatnya kini terganti dengan kerutan di dahi, mata Bright menatap kosong, persis orang linglung.

“Iyalah! Kaya gini! This is perfect, I'm happy, aren't you happy?” tanya Win tidak percaya. Kenapa apa yang mereka miliki kini ternyata tidak cukup bagi Bright? Kenapa Bright merencanakan masa depan mereka tanpa berkonsultasi dulu padanya? “Kenapa kamu nggak nanya dulu ama aku, apakah aku menginginkan pernikahan? Kamu nggak pernah mengambil keputusan buat kerjaan kamu berdasarkan asumsi, tapi kenapa buat hubungan kita kamu kaya gini?”

Win bangkit, bersiap untuk pergi. Itulah yang selalu ia lakukan jika berantem dengan Bright, menciptakan jarak baginya untuk menenangkan diri. Ia tidak sanggup melihat wajah kecewa Bright akibat keputusannya, namun ia juga terlampau marah. Kenapa harus mengubah sesuatu yang sudah bagus? Why?

Bright menarik tangan Win hingga pemuda itu terduduk kembali. Sebagai gantinya Bright yang bangun seakan berdekatan dengan Win physically hurting him. “You stay, I'm going. I can't watch you leaving. I just can't. Not tonight.” kata Bright sambil menggelengkan kepalanya, menghapus bayangan apapun yang terlintas dalam benaknya. “We need to think through this.

Oh so now we need to think through this?” tanya Win sinis. “Think about what? Your proposal?

Our relationship. Our future.” kata Bright sedikit mengawang, sebelum mengusap wajahnya dengan kasar seakan berusaha getting his senses together. “Mungkin kita butuh waktu buat mikirin ini dulu dengan kepala dingin. Talk to me when you're ready.” said Bright curtly before leaving.

Tinggallah suara televisi semata memenuhi ruangan.

Hening.

Sepi.

Apartemen mereka tiba-tiba terasa dingin. Cincin dalam genggaman Win terasa dingin, meskipun ringan di tangannya namun terasa berat di hati. Win tidak suka ini. He wants to throw the ring away, he wants to throw the burden but somehow he feels like if he did it, it'll be Bright's heart that he throw. He's so angry but guilty at the same time. Dadanya terasa sesak.


Pagi harinya Win bangun kesiangan dengan pegal menyapa seluruh tubuhnya. Ia berakhir tertidur di lantai memeluk tubuhnya sendiri, like a lunatic. Tempat tidur mereka terasa begitu luas, begitu hampa tanpa Bright di sisinya. Win juga tidak bisa tidur di sofa karena tempat itu mengingatkannya atas pertengkaran mereka.

Win mengecek ponselnya, mengabaikan pesan lain kecuali dari Bright yang mengabarkan ia menginap di hotel mana. Hanya itu. Tidak ada lagi pesan dari Bright. Tidak ada telepon. Kemarahan merambat naik hingga tenggorokan, membuatnya merasa gondok lagi. Win masih tak habis pikir, mengapa sekarang rasanya malah Bright yang marah padanya?

Apakah ia salah jika ia menyukai keadaan mereka saat ini dan tidak ingin berubah? Apakah ia salah karena memiliki keinginan yang berbeda dibanding kebanyakan orang? Apakah ia salah jika ia kecewa Bright tidak membicarakan ini lebih dulu dan langsung mengambil keputusan?

Win bangun dan mengecek dapur. Tidak ada kopi yang biasa Bright siapkan tiap pagi, khusus untuknya. Tidak ada ucapan morning sunshine dari Bright. Tidak ada pelukan dari Bright sebelum mereka berebut kamar mandi.

Sepi.

Sepi.

Pagi tersepi dalam enam bulan terakhir hidupnya.

Cerah matahari pagi ini bahkan terasa seperti mengejek hatinya yang mendung.

Baru beberapa jam tanpa kehadirannya, Bright mampu menyiksa Win dengan rasa marah berbaur rindu yang berlomba untuk memenuhi pikiran Win.


Seharian Win tidak bisa konsen bekerja, mungkin karena the lack of caffein intake this morning. Or maybe the lack of his daily dose of affection from a certain someone. Berkali-kali Win mengecek ponselnya, menanti apapun itu dari Bright, entah pesan atau panggilan. None. Bright jika marah bisa lebih keras kepala daripada dirinya.

Makan siang adalah makanan pertama yang masuk ke perut Win hari itu. Win tidak bisa merasakan apa yang ia makan, hambar. Apakah reaksinya semalam berlebihan? Apakah ia salah jika marah karena Bright tidak membicarakan pilihan masa depan mereka dulu? Lalu kenapa sekarang ia malah merasa bersalah karena Bright marah? Win tidak mau Bright mengira ia bisa mendapatkan apapun yang ia mau dengan ngambek seperti anak kecil.

Akhirnya Win menyerah dan tidak melanjutkan makan siangnya. Semua makanan itu hanya membuat perutnya semakin mual.

“Nape lu, tumben amat nggak doyan makan?” tanya Mbak Namtarn, senior Win di kantor yang tiba-tiba ikut nimbrung di meja Win.

“Tauk nih.” jawab Win malas-malasan. Setelah mempertimbangan, sepertinya Mbak Namtarn akan memahami dirinya, maka Win memutuskan untuk bertanya padanya. “Mbak, lo takut buat nikah lagi nggak sih?”

Namtarn memandangi Win heran, nggak biasanya Win menanyakan hal personal begini. “Cuma karena gue pernah gagal bukan berarti gue jadi nggak mau nikah lagi. Tapi ya sekarang jadi lebih hati-hati aja, bakalan banyak pertimbangan kalau suatu hari ada orang yang ngajak gue nikah. Jadi janda anak satu seumur gue tuh nggak mudah, Win. Masih muda udah janda, dah lah tuh para cowok ngeliatnya damsel in distress. Kadang gue ngerasa jadi janda nggak kalah berat dari gay in this society.”

“Kok?” tanya Win nggak ngerti.

“Orang lebih terang-terangan kan kalau nggak suka sama gay gitu, tapi ke janda? Mereka pura-pura nerima padahal aslinya merendahkan. Kalau suami mereka selingkuh, apa predikat selingkuhannya? Pelakor. Perebut laki orang. Kaya laki mereka nggak gatel aja. Gue dandan dikit dikira mau godain lakiknya. Gue sukses dikit dikira pake maen belakang, bukan karena skill gue.” kata Namtarn dengan senyum getir.

“Terus para laki nih, meski jelas nggak semua kaya gini ya, mereka pikir gue lebih vulnerable, lebih gampangan dan akan lebih nerima karena gue punya anak sebagai tanggungan gue. Mereka datang ngasih bantuan yang nggak diminta. Cocok banget kan buat nggosok ego mereka? Mereka nolongin janda anak satu, dah lah mungkin dalam otak mereka macam pahlawan. Tapi siapa yang pasti jadi sasaran kecurigaan para istri? Gue si janda itu.” tambah Namtarn. “Eh, sorry malah jadi curhat. Tapi intinya, ya kalau suatu hari ada orang yang sayang ama gue dan anak gue, gue pasti mau kalau diajak nikah lagi. Gue nggak mau trauma dan kesalahan yang telah lalu menghalangi gue untuk bahagia. Jadi janda berat coy, makanya banyak wanita yang memilih bertahan meskipun pernikahan mereka udah toxic mampus.”

“Duh... sorry ya Mbak, malah jadi bikin lo sedih.” kata Win nggak enak. Dia tidak pernah menyangka Mbak Namtarn harus mengalami stigma itu juga. Selama ini Mbak Namtarn selalu terlihat happy dan percaya diri. Memang kita tidak pernah tahu masalah apa yang dihadapi orang dibalik senyum mereka.

“Lo nanya begini pasti ada alasannya kan. Kenapa? Bright udah mulai ngomongin ke arah sana?” tanya Namtarn.

“Dia ngelamar gue semalem.” kata Win lemas.

Namtarn mengangkat alisnya terkejut. “Melihat sikap lo, kayaknya tidak berakhir seperti yang diharapkan. Lo nolak?” Win mengangguk. “Kenapa?”

“Ya gimana Mbak, kami belum pernah ada pembicaraan kearah sana, tiba-tiba dia ngasih cincin terus ngajakin nikah. Dia nggak pernah nanyain pendapat gue dulu apakah gue pengen nikah? Terus sekarang dia ngambek dan gue udah rungsing merasa bersalah. Kenapa malah jadi dia yang marah? Karena gue jawab nggak mau? Kenapa dia nggak nyiapin diri buat nerima apapun jawaban gue? Kenapa kesannya jadi gue yang salah?” repet Win.

“Sek sek.” Namtan berubah mode menjadi lebih serius. “Sekarang gue tanya, lo nolaknya karena apa? Karena lo belom siap atau karena lo nggak mau? Karena dua alasan itu efeknya bakalan beda banget. Kalau perkaranya gara-gara lo belum siap berarti tinggal kalian bicarain lagi aja, pasti ada jalan keluar. Tapi kalau masalahnya adalah lo nggak mau nikah padahal Bright menginginkan sebuah pernikahan, well, ini bakalan lebih runyam. Pilihannya cuma: one of you has to compromise or you guys have to give this relationship up.” kata Namtarn.

Win hanya diam, memikirkan ucapan Namtarn. “Gue pikir kami sekarang udah bahagia, Mbak, tapi kenapa itu nggak cukup buat Bright?”

“Jadi lo cuma takut buat mengubah yang udah ada, yang menurut lo udah bagus? Gimana kalau ternyata masih bisa lebih bagus lagi? Gimana kalau ternyata lo bisa lebih bahagia lagi? Ya emang sih pernikahan tuh lebih berat dari pada yang lo bisa bayangin, tapi lo tau nggak kenapa meski menakutkan orang-orang masih banyak yang mau nikah?”

“Karena dibrain-wash ama society?”

“Lo emang juara satu kalau perkara negatif thinking. Tapi nggak salah juga sih, hahaha. Gue rasa, alasannya sama kaya kenapa wanita mau punya anak beberapa kali meski taruhannya nyawa saat melahirkan.”

“Apa?”

Contentment. Fulfillment. Punya seseorang yang bisa lo panggil keluarga tuh bisa banget jadi motivasi bertahan hidup dalam dunia yang udah gila ini. Gue tau lo pasti mau protes lo udah punya orang tua sebagai keluarga. Tapi pasangan tuh semacam keluarga yang lo pilih sendiri, Win.” kata Namtarn. “Kadang takut ama perubahan adalah hal yang menghambat lo buat maju. Sekarang lo pikir bener-bener dulu, yang bikin lo nggak pengen nikah tuh apa? Karena lo nggak siap atau karena lo emang nggak pengen? Abis itu omongin baik-baik ama Bright. Komunikasi.”

Win hanya mengangguk.

Kepalanya rasanya mau pecah.


Tidak ada chat atau telpon dari Bright seharian. Tidak ada chat clingy dari kekasihnya itu. Bagaimana Win bisa merasa begitu kesepian padahal ia sedang bersama banyak orang?

Tidak ada yang menjemput Win pulang kerja hari ini.

Tidak ada yang Win tunggu malam ini.

Tidak ada chat yang menanyainya mau makan malam apa.

Sepi.

Sepi.

Begitu sampai apartemen, Win merasa kali ini apartemen mereka terlampau luas, terlalu sepi. Win melihat sekeliling, ia tidak ingat sempat merapikan apapun namun sekarang semuanya rapi seperti hari-hari biasanya.

Bright, pikir Win.

Win bergegas mencari Bright ke kamar. Tidak ada.

Di dapur. Tidak ada.

Di kamar mandi. Tidak ada.

Win membuka lemari pakaian mereka dan terduduk lemas, lega luar biasa ketika menemukan pakaian Bright masih disana.

Bright pulang ke rumah, beres-beres seperti yang biasa ia lakukan, namun memilih saat Win tidak di apartemen. Sebenci itukah Bright sekarang kepadanya, hingga melihat Win saja Bright tidak mau?

Win mengambil satu sweater milik Bright dan memeluknya. Harum khas Bright sedikit membuatnya tenang namun dadanya terasa nyeri. Kenapa Win tidak ingin menikah? Karena ia takut mereka berdua akan berhenti berusaha setelah menikah. Kebanyakan orang mulai taking their partner for granted after marriage. Win takut mereka berubah menjadi pasangan yang ia benci.

Tapi ternyata ada ketakutan yang lebih besar.

Takut kehilangan.

Kenapa Bright tidak ada disisinya dan meyakinkannya saat ini? Kenapa Bright malah pergi?

Win meringkuk di depan lemari pakaian mereka, memeluk sweater milik Bright, berpura-pura ia sedang memeluk kekasihnya. Win rindu. Apakah Win harus menghubungi Bright dulu? Namun Bright bilang untuk menghubunginya jika ia sudah siap untuk berbicara. Apakah Win siap?

Win menangis mengingat wajah kecewa Bright sebelum meninggalkan apartemen ini. Win mengambil cincin dari saku celananya dan memandangi benda itu. Untuk ukuran sekecil itu, benda tersebut mampu membuat masalah begitu besar dalam dunia seorang Metawin.


“I love you” bisik Bright.

Win membuka matanya kaget dan menemukan dirinya tertidur di depan lemari.

Sendirian.

Sepi.

Sepi.

Oh... hanya mimpi. pikir Win. Hanya cahaya bulan temaram dari jendela yang menerangi karena Win tidak menyalakan lampu, membiarkan dirinya dilahap gelap. Gelap membuatnya nyaman. Gelap menyembunyikan kenyataan kalau Bright tidak ada di sisinya malam ini.

Perut Win sangat mual dan kepalanya terasa berputar. Win memejamkan matanya kembali sambil memeluk sweater Bright lebih erat.


. . . . . . . .


Ketika Win terbangun kembali, hari masih gelap. Namun Win berada di ranjang terbungkus selimut dengan nyaman. Apartemennya pun tak lagi gelap. Lampu sudah dinyalakan menerangi setiap sudut ruangan.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Bright masuk membawa mangkuk berbau sedap. Win menatap Bright tidak percaya. Apakah ia bermimpi lagi?

“Kamu udah bangun?” tanya Bright. Win hanya mengangguk lemah.

“Itu beli dimana? Emang masih ada yang buka warungnya malem-malem gini?” tanya Win sambil memandang makanan yang dibawa Bright.

“Ya masih lah, ini baru jam tujuh malem. Kamu tidur dari sore ya makanya jadi bingung?” tanya Bright. “Lagian ngapain tidur di lantai gitu? Aku angkat juga nggak bangun, capek banget apa pingsan kamu tuh?”

“Hah? Jam tujuh?” tanya Win bingung. Seingatnya ketika akhirnya tertidur tadi paling tidak sudah larut malam karena ia menangis cukup lama. Win ingat ia beberapa kali terbangun karena mimpi buruk namun kepalanya terlalu sakit makanya ia memilih tidur lagi. Kini Win merasa tubuhnya lemas sekali. “Nggak mungkin sekarang baru jam tujuh. Aku pulang dari kantor aja jam tujuh.” kata Win sambil mencoba bangkit.

Bright memandangnya kaget. “Win, sekarang hari apa?”

“Hah? Jumat. Kenapa sih?” Win tidak sanggup bangun. Kepalanya terasa berkunang-kunang.

“Kita ke rumah sakit sekarang ya, Sayang.” kata Bright tiba-tiba, segera bangkit mencari-cari kunci mobilnya dengan panik.

“Kenapa sih?” tanya Win kesal karena tidak mengerti. Apa-apaan abis ngambek tau-tau panggil sayang.

“Ini hari Sabtu malam, Sayang. Berarti kamu tidur di lantai dari kemaren malem? Kamu black out? Sayang maafin aku nggak tau kalau kamu sakit, bukannya langsung dibawa ke rumah sakit. Goblok banget aku ya, ya ngapain juga kamu tidur di lantai. Kita ke rumah sakit sekarang ya?” cerocos Bright panik.

“Bright... Bright jangan panik. Aku nggak papa. Kayaknya. Cuma lemes ama pusing aja. Kamu jangan mondar-mandir gitu aku makin pusing ngeliatnya.” kata Win. Bright langsung berhenti dan segera duduk disamping Win.

“Maafin aku.” kata Bright. “Maafin aku. Win, maafin aku. Aku nggak tahu kamu sakit. Maafin aku. Maafin aku.”

Win hanya mengangkat tangannya lemah, meminta Bright untuk memeluknya. Bright segera menghambur kedalam pelukan Win, memeluk pemuda itu erat. “Maafin aku...”


Setelah pelan-pelan memakan bubur yang dibelikan oleh Bright dan minum banyak-banyak air putih, Win merasa agak lebih baik. Masih mual dan pusing, namun lebih baik. Mungkin karena 'obat'nya sudah datang.

“Kamu kapan terakhir kali makan? Sampai black out gitu?” tanya Bright sambil mengelus-elus kepala Win yang kini tiduran dalam pelukannya.

“Jumat siang kayaknya, sedikit. Nggak nafsu makan.” jawab Win. “Stop minta maaf,” kata Win sebelum Bright mengucap kata maaf lagi. “Sebelumnya, aku juga minta maaf kalau kemarin aku jawabnya kurang baik jadi akhirnya malah nyakitin kamu.”

“Kok jadi kamu yang minta maaf? Setelah aku pikir-pikir, aku juga salah nggak pernah nanyain pendapat kamu dulu sebelum ngajak kamu nikah. Maafin juga karena aku malah pergi, aku pikir kita berdua butuh waktu buat mikirin ini tanpa emosi.”

“Iya.... udah ya minta maafnya? Kita berdua sama-sama salah, ok?” kata Win menduselkan kepalanya kedalam ceruk leher Bright dengan nyaman. “Mmmmm... Bright, boleh nanya nggak? Kenapa kamu pengen nikah sama aku? Kenapa nggak kaya gini aja?” tanya Win takut-takut. Tapi dia tidak boleh takut jika ingin masalah ini selesai.

Bright terdiam, hanya mengelus-elus lengan Win. Win jadi takut salah nanya dan malah bikin mereka bertengkar lagi.

Because marriage is another level of commitment and I want that with you only. Pernikahan adalah komitmen tidak hanya ke kita sendiri, tapi juga ke keluarga kita, ke Tuhan, ke orang-orang di sekitar kita. Dan aku pengen itu, sama kamu. Karena aku pengen bisa secara resmi nyebut kamu sebagai keluargaku. My family. Mine.” jawab Bright akhirnya. “Tapi kalau meminta itu ternyata terlalu terburu-buru buat hubungan kita, aku minta maaf.”

“Aku benci sama kamu Bright Vachirawit, benci banget. Baru jadi pacar aja, nggak ada kamu aku sekacau ini. Baru jadi pacar aja aku kaya malfungsi tanpa kamu. Baru jadi pacar aja kamu bikin hati aku sesak. Baru jadi pacar aja pengaruh kamu dihidup aku sebesar ini... gimana kalau kamu jadi suami aku?” tanya Win sambil memukul dada Bright pelan. Air mata mulai menggenangi kelopak matanya.

You...love me.” kata Bright kaget, seperti baru menyadarinya. “So much... it scares you? So you've been holding back all this time?” Bright menatap Win tidak percaya. “Jadi kamu bilang no bukan karena kamu udah nggak cinta lagi sama aku?”

“Dari mana kamu dapet pikiran gila kaya gitu? Kamu liat sendiri aku sekacau apa kamu tinggal. Aku bukan nggak mau nikah sama kamu Bright, aku cuma takut kalau nanti kita nikah, kita bakalan berubah kaya pasangan kebanyakan. Berubah jadi sering bertengkar, saling benci atau bahkan hanya bertahan karena sekedar saling menghargai. Tapi kamu tau nggak apa yang lebih menakutkan buat aku?”

“Apa?”

“Kamu pergi dari hidup aku.” jawab Win. Bright langsung memeluk Win lebih erat. Mengecupi seluruh wajah Win.

“Maafin aku. Maafin aku yang gegabah jadi bikin kamu takut. Aku nggak masalah kalau kita harus pelan-pelan dulu. Maafin aku. Maafin aku yang nggak mikirin perasaan kamu.” bisik Bright. “Pelan-pelan nggak papa, asal kamu sayang terus sama aku ya? Kita buktiin ke diri kita sendiri, we'll make it works. Ok?”

I hate you so much, you know that?” tanya Win sebelum membungkam kekasihnya dengan ciuman penuh rindu. Whatever tomorrow brings, as long as he has Bright beside him it's going to be ok.

-atheiaorithia

Satu hal yang tidak pernah berubah dari seorang Bright Vachirawit sejak dulu adalah sifat ambisiusnya. Datanglah masa dimana pekerjaan Bright menuntut fokus lebih dari biasanya, membuat kesibukannya bekerja mengurangi waktu bersama Win. Sudah dua minggu Bright sibuk luar biasa dan mereka jadi belum ketemu lagi. Seminggu ini pun Bright harus pergi keluar kota untuk pekerjaannya, membuatnya lebih sibuk lagi hingga baru sempat ngabarin Win kalau sudah larut malam atau pagi hari setelah bangun tidur.

Apakah Win kesal? Sebagai orang yang juga bekerja, Win bisa memahami keadaan Bright. Keduanya memiliki kehidupan sebelum mereka bersama dan hubungan mereka seharusnya menjadi nilai tambah, bukan justru mengurangi semua itu. Bohong kalau Win tidak jadi ngerasa sepi, beberapa bulan terbiasa selalu ada teman konyol dalam chattingan lalu tiba-tiba kini hpnya sepi. Namun Win sadar, bekerja keras merupakan bentuk tangung jawab Bright terhadap orang lain yang sudah mempercainya, dan Win menyukai orang yang bertanggung jawab. It's so sexy.

Jadi daripada rewel merasa dinomorduakan atau tidak diperhatikan, Win memilih untuk menikmati waktunya untuk me time. Menikmati waktu dengan diri sendiri, dengan keluarganya, dengan teman-temannya. Memiliki pacar tidak seharusnya membuat dunia kita jadi dipersempit. Win bahkan memilih untuk menanyakan kabar Bright sesekali saja, takut ganggu. Plus, Win menyadari Bright yang notabennya adalah the romantic one in their relationship tidak akan segan untuk mengorbankan waktu luangnya jika Win bilang kangen. Win tau jika ia mau, Bright tidak akan keberatan telponan hingga larut malam demi melepas rindu, namun Win lebih ingin kekasihnya itu beristirahat. Rindunya biarlah ditabung dulu.

Kalau kata Dee 'Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti apabila tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring, bukan digiring.'* Kini Win baru mengerti maksudnya, setelah ia berusia hampir kepala tiga. Dulu, betapa sering ia berantem dengan mantan-mantannya karena tidak bisa saling menghargai bahwa semua pasti butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Setelah hampir tiga minggu mereka tidak berjumpa, akhirnya Bright menelpon Win mengabari tentang kepulangannya.

“Sayang, aku balik hari ini. Nanti sore kayaknya udah nyampe rumah.” kata Bright. “Kamu mau oleh-oleh apa?”

“Waaaah asik. Udah selesai semuanya?” tanya Win excited. Lonely no more bishes!

“Udah, abis ini udah nyantai sih kerjaannya. Aaaaaah lega rasanya.”

“Oleh-olehnya kamu balik sehat dan sayang sama aku aja gapapa. Sama kaya raya. Dah cukup.”

“Yeeee matre.” ejek Bright. Suaranya terdengar gembira, mungkin beneran lega bebannya sudah berkurang. “Kamu kayaknya lupa sesuatu deh?”

“Hah? Lupa apa?”

“Lupa bilang sesuatu.” kata Bright. Beuh banyak kode betul kaya anak pramuka.

“Permisi Kak?” tebak Win. Lah kaya adek kelas lagi diospek.

“Ih bukan....” rengek Bright. Hih manja, nggak pantes ama badannya yang kaya security. Emang badan security hati hello kitty sih, hihihi.

“Yak anda kurang beruntung. Coba lagi. Apa sih?” tanya Win nggak paham.

“Dikata Ale-Ale kali ya, coba lagi.” gerutu Bright. “Kamu beneran nggak mau ngomong sesuatu sama aku?”

“Aku kangen.” kata Win singkat. Teramat singkat, untung saja Bright sempat mendengarnya.

”...” Bright diam. “Sebenernya bukan itu sih maksudku, tapi gapapa. AAAAAA AKU JUGA KANGEN!!! AAAAAA SAYANG METAWIN BANYAK-BANYAK!!!” kata Bright heboh. Anjir, andai orang tahu Bright yang selama ini terlihat jutek bisa sealay ini. Tuhan bersama orang-orang yang pacarnya berubah alay gara-gara bucin.

Tuuuuut....tuuuut...tuuttt.... Tau-tau telpon sudah diputus sepihak oleh Win. Ni bocah palingan lagi salting sih. Bukannya kesal, Bright malah terkekeh geli membayangkan wajah Win yang pasti salting campur eneg. Hahahaha.


Win sebel banget saat Bright berubah jadi heboh hanya gara-gara dia bilang kangen. Sebel tapi tetep senyum-senyum bahagia sih, hehehe. Dulu aja sok jual mahal, sekarang giliran udah bucin ternyata kelakuannya kaca bocah baru mengenal cinta-cintaan. Tapi ketika sore hari tiba-tiba Win seperti mendengar suara familiar di rumahnya, hatinya pun menghangat. Pulang dari luar kota bukannya istirahat malah langsung ke rumah Win, dasar bucin si Vachirawit ini.

“Kok nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanya Win kepada Bright yang lagi ngerusuh ibunya memasak di dapur. Akhir-akhir ini Bright kalau ke rumah Win udah berasa anak ketiga keluarga itu tingkahnya, dan orang tua Win pun senang-senang aja melihatnya.

“Tadi ada yang matiin telpon aku soalnya. Jahat banget.” jawab Bright. “Lagian aku kesini mau mengantarkan upeti kepada ibu negara, biar dikasih izin nyulik anaknya. Ya kan Bu?”

“Ambil aja sana tuh anaknya, ati-ati makannya banyak. Ngabis-ngabisin nasi aja tiap hari.” seloroh ibu Win.

“Kamu nggak capek emangnya? Nggak pengen istirahat dulu? Kan ketemu sama aku besok juga bisa Kak.” kata Win, mengacuhkan ibunya.

“Kalau pacar aku bilang kangen, aku bisa apa?” tanya Bright tidak tahu malu di depan ibu Win.

“Hus hus hus... pergi sana berdua! Nggak betah Ibu liat orang kasmaran gini. Berasa nonton sinetron Tukang Haji Naik Bubur aja nih gombalannya.” canda Ibu Win.

“Tukang Bubur Naik Haji kaleeeeeee!” protes Win kesal dengan ibunya yang nggak jelas. “Lagian emangnya di sinetron itu ada gombalannya? Ibu mah aneh, nggak nyambung pula.” Sekarang Bright tahu kekonyolan Win nurun dari siapa. “Aku ganti baju bentar ya Kak?” tanya Win yang kemudian bergegas untuk bersiap-siap.


“Kakak ngantuk ya? Capek?” bisik Win saat mereka tengah menonton suatu film di bioskop. Malam itu mereka memutuskan untuk nonton karena ada film bagus yang baru tayang. Tapi kelelahan terpampang jelas di wajah Bright.

Bright hanya tersenyum kearah Win yang sedang menyender manja di lengannya. Win ini kalau nggak ada yang liat suka manja kaya gini, seakan-akan cuma Bright yang boleh melihat sisi ini dari seorang Win. “Nggak papa, kangen pacaran sama kamu soalnya.” bisik Bright sambil mengelus kepala Win. Sejujurnya Bright sangat lelah dan suasana bioskop yang gelap dan dingin mengundang kantuknya.

“Mau aku bikin nggak ngantuk nggak?” tanya Win dengan muka polos. Bright memandang Win penuh curiga. Gelap sih, tapi kalau Win aneh-aneh riskan juga.

“Win, Sayang, jangan aneh-aneh ya?” pinta Bright.

“Pede gila.” ejek Win. “Otak kamu mah emang dasarnya ngeres jadi aku apa-apa bawaannya dicurigai mulu.”

“Terus apa dong?”

“Sini deketan” kata Win sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Bright. “Dengerin baik-baik ya.” bisik Win. “I love you, Bright Vachirawit.

Bright menoleh dengan kaget. “Serius kamu?” tanya Bright agak keras membuat orang ber-'sssssssst' ria karena terganggu oleh keberisikannya. “Jahat banget sih ngomongnya disini, aku jadi gabisa ngapa-ngapain takut ganggu yang pada nonton.” bisik Bright kesal. Win kemudian mencuri satu kecupan singkat dari bibir Bright. Terang saja, segala kantuk Bright raib entah kemana.

“Hehehe... abis aku nggak tau mau gimana bilangnya. Aku nggak bisa romatis gitu, ntar jatohnya malah lawak, percaya deh. You know me. Jadi sebisaku aja ya, yang penting aku jujur.” bisik Win. Bright rasanya ingin memeluk Win hingga sesak saking gemasnya.

Akhirnya keduanya tidak bisa konsen dengan jalan cerita film yang mereka tonton, sibuk dengan pikiran masing-masing. Win yang lega akhirnya ia sudah menyatakan perasaanya kepada Bright. Bright's so happy that they're on the same page now. How Win's fingers fit the spaces between his' perfectly. How his eyes twinkling when they locked with Bright's. How everything looks so colorful right now.

“Sayang, malem ini mau nginep di rumahku aja nggak?” bisik Bright ke telinga Win dengan suara yang membuat bulu kuduk Win meremang seketika.


Begitu sampai rumah Bright, mereka langsung bergantian untuk mandi. Ini bukan yang pertama, namun entah mengapa Win malah jauh lebih nervous sekarang dari pada yang dulu itu. Mungkin karena sekarang dia perfectly sober. Or he just perfectly in love.

Namun ketika selesai mandi, Win mendapati kekasihnya tertidur pulas di kasur. Sepertinya Bright benar-benar kecapekan. Dengan sayang Win mengelus-elus kepala kekasihnya itu. Merasakan sentuhan Win, Bright pun membuka matanya. “Capek banget ya, Sayang?” tanya Win.

“Ternyata iya. Maaf ya aku malah ketiduran gini” kata Bright sambil mau bangun, namun Win memaksanya kembali tiduran.

“Mau aku urut nggak?” tanya Win.

“Serius kamu?” Bright tidak percaya. Padahal niatnya mengajak Win pulang bukan untuk itu, namun siapa sangka Tuhan memberinya pacar paling pengertian se-Andromeda gini. Win mengangguk.

“Tengkurep gih, pasti yang pegel-pegel pundak ama pinggangnya kan?” tanya Win. Bright mengangguk dan langsung memposisikan dirinya untuk menerima kebaikan Win. Mimpi apa dia semalam sampai bisa-bisanya capek terus dipijitin Metawin. Yah beginilah realita pacaran di usia yang tidak lagi muda, niatnya mau seru-seruan malah berakhir dengan sesi pijat-urut khas bapak-bapak kecapekan kerja. Duh, namanya juga hidup bos.

“Ahhhh... enak banget pijetan kamu, Yang. Jago ya kamu... Jangan-jangan dikehidupan sebelumnya kamu dukun pijet.” kata Bright yang sudah setengah sadar karena ngantuk dan nyaman. Win hanya geleng-geleng mendengar pacarnya mulai ngelantur.

Tubuh Bright terasa relaks, hatinya terasa hangat.

Inilah rasanya dicintai oleh seorang Metawin.


Tidak mungkin Ran ngepost konten 18+ tanpa privatter wkwkwkwkwkw

*Spasi oleh Dee (Filosofi Kopi)