atsukita: fabric.

-

“muka kamu merah, miya.”

tanpa diberi tahu, miya sudah sadar diri. tahu betul keadaan wajahnya saat ini. merah menyala-nyala warnai pipinya sampai leher, bukti nyata miya benar-benar terbakar sampai dalam.

penyebabnya tidak lain adalah si pacarnya, yang katanya main-main memakai rok yang jadi dalang penyebab miya kini duduk memojok di atas ranjangnya, kita shinsuke di atas tubuhnya, bermain dengan kuping miya.

yang berambut pirang mengangguk, tangannya berdiam di pinggang kita.

“k- kamu gak apa-apa pakai ini? nyaman?”

tawa gugup mengalun di telinga, kita di atasnya menggeleng. wajahnya setenang biasanya, tapi penuh fokus, menatap miya seperti mengukur tiap inci kanvas yang siap digarit oleh kuasnya.

“o-oh, mau aku bantu lepas?”

“please.”

kain ditanggalkan, begitu pula nafas miya. walau begitu tangannya tetap gigih merayap naik, sentuh kita di pahanya dengan mata rajin mencari ekspresi tak nyaman di parasnya. inginnya perjalanan pertama ini milik berdua, tanpa kita yang tak nyaman.

di detik berikutnya, miya dikagetkan dengan kepalanya yang tiba-tiba direngkuh, pelipisnya dikecup banyak penuh sayang.

“miya, you can do more. please.”

bisikan tersebut terasa berisik untuk miya. oh, artinya ia bisa melakukan lebih dari ini.

miya menyekal erat kita di pahanya, tangan yang satu melonggarkan kita dimana-mana; dimulai dari celana dalamnya sampai bagian terdalam kita, dengan sebelumnya membasahi banyak jarinya dengan lubrikan yang dibelinya mendadak.

miya mendongak, memburu ranum kita yang disambut hangat oleh sang mangsa. kita membalas cumbunya sama antusias, mencium miya tanpa kesulitan. buah dari rutinitas selama seminggu ini menyandang status yang bukan lagi sekedar teman sekamar.

“hn-nnh mi- miya-”

“sakit?” “dua jari lagi dan kamu siap, oke?” tanggap miya terlalu tenang, bagai tak tersiksa sama sekali, bagai celananya tidak menggunung di tengah, bagai tenggorokannya tidak kesat karena kita yang terlihat indah di atas tubuhnya, menari-nari mengikuti ritme jari-jari di dalamnya, penisnya yang basah dipermainkan tangan miya yang menganggur.

kita yang meracau makin tak karuan buat miya yakin untuk menghempaskan kita di atas kain ranjangnya. miya mengukung kita, masih dengan tiga jari merenggangkannya, meniru lingkaran di lubangnya.

si rambut abu yang bersimbah peluh dengan pipi merona dikecup miya, “aku mulai, ya?”

miya membawa penisnya terbenam masuk ke dalam tubuh kita, melahirkan dua desah yang berbeda namun dengan sarat nikmat yang sama. yang di atas merengkuh yang di bawah. leher kita diendusi untuk kemudian dikecupi lagi.

“ahh- m-miya- miyamiya- miya-”

miya membisik, “gimana?” “kita, rasanya gimana?”

pundak dengan kaus hitam miya dikoyak, kita bernafas keras-keras ditengah desau halusnya.

“hmmh- kita?”

“it- it- feels- mhh- good, mi- miya-”

“is it good? is it that good?”

kita mengangguk asal, tubuh miya didekapnya makin dekat, buatnya dengan si pujaan hati tak berjarak.

miya bergerak lebih cepat, pinggang maju lebih dalam dan mundur lebih jauh. kejantanan miya mengantuk tepat di sumbu nikmat kita, buat kita makin dimanja di dalam. sesekali, dengan ahli si perancang memutar pinggulnya, melonggarkan kita lebih lebar, membuat ruangnya sendiri di dalam tubuh kita untuk mengingatkannya siapa yang berhasil menyentuhnya sedalam ini.

“sama, kita- hhm-” “you feel so good- fuck- you feel so good around me- oh my god-”

kita mendenguk puas, kaki mengayuh di atas ranjangnya, tanpa sadar menyekik miya lebih keras.

“kamu dekat? k-kita kamu dekat? mau keluar?”

kita mengangguk, suara basah karena tenggorokannya terlalu banyak dibalur saliva, “k-keluar- miya- keluar-”

miya mengangguk, menikam lebih cepat, terburu-buru, ingin hinggapi surga bersama yang paling dicintanya.

“miyamiyamiya- hh- miya-”

miya menanggapi desah kita dengan erangan dalam, jari mengerat di pinggul kita; pelepasan memukulnya begitu keras.

miya keluar terjelak penuhi kita di dalamnya, disusuli kita yang buyar karena kenikmatan, merasakan hangat dan basah sampai sedalam-dalamnya.

tubuh miya lebih dulu reda dari gemetar. si pemuda yang lebih tinggi melepas lebih dulu cumbuan malas yang dibagi keduanya, tubuhnya hampir menegak kala tungkai kita memeluknya, mengunci geraknya.

“mau kemana?”

miya mengedip, “aku mau cari kain, mau bersihin kamu?”

kita menggeleng tak setuju, memeluk miya lebih erat, kepalanya mengusak lebih jauh pada bahunya, “nanti aja.”

“tapi, ta-”

“temenin aku tidur dulu?”

miya tertawa kecil, mengecup kita di pipi yang merahnya mulai memadam.

“okay.”

-