bokuaka: feel loved

-

Pertama pintu terbuka, Akaashi tidak mengharapkan sebuah pelukan yang akan menyambutnya.

Tarikan nafas Bokuto terdengar begitu berat di pendengarannya; penuh beban, penyesalan, dan kecemasan, dibarengi dengan pelukan sesak afeksi.

Sia-sia matanya diusap sampai panas untuk mengeringkan air matanya. Rasanya malu bila Bokuto menemukannya begitu menderita, tapi sesaat jari yang lebih tua menemukan pinggangnya, mata Akaashi kembali perih, air mata kembali berlomba-lomba menjejak di pipinya.

Akaashi akhirnya menyerah, mengusak pada leher Bokuto dan menangis disana, ikut mendaratkan nadi pada tangannya untuk menggesek kemeja bagian belakang Bokuto.

Jarinya mengerat kala Bokuto makin menenggelamkannya dalam tubuhnya yang hangat.

Pintunya terbanting tertutup, ulah kaki yang berambut pirau.

Desisan Bokuto, yang artinya udah nangisnya, udah malah berbalas sebaliknya; Akaashi menangis lebih bebas. Suhu tubuh Bokuto rasanya berfungsi sebagai penghangat yang begitu panas sampai melelehkan tiimbunan es yang dingin; buat air matanya terus menyungai.

“Masih mau nangis?”

Akaashi mengangguk, rambutnya yang lembab karena shampoo menggesek di pundak yang lebar.

“Iya, iya gak apa-apaㅡ” Akaashi merasakan pinggangnya yang disapu lembut, yang juga terasa begitu besar, terasa begitu menenangkan, terasa begitu padat dan kuat untuk menjadi sandarannya, dan Akaashi kini tau Bokuto bermaksud begituㅡ menjadikan dirinya sebagai tempatnya untuk menumpu rapuhnya, “ㅡada aku, ya?”

Kecupan di pelipisnya terasa seperti tarikan yang mengangkatnya dari air keruh yang selama seminggu ini diselami.

Ada; Ada Bokuto disini.