Bokuaka – Kembang api

-

Kalau Bokuto boleh menilai, tempatnya dan Akaashi saat ini adalah tempat terburuk untuk berciuman.

Tapi saat ini, Bokuto tidak ingin memakai akal sehatnya; mana bisa dia pakai akal sehatnya? Akaashi, akaashi yang ini, meminta untuk dicium.

Mereka berdua ada di tempat parkiran mobil yang masih sepi karena Summer Matsuri yang mereka kunjungi memang belum selesai. Sayup-sayup suara berisik dari festival itu bahkan masih terdengar.

Bokuto menolak untuk peduli; hatinya sedang sibuk meledak-ledak. Bokuto yang tertarik pada Akaashi dari pertemuan pertama, mengagumi cantik dan gerak-geriknya, melewati malam-malam kurang tidur karena rasa penasarannya, kini diberi kesempatan untuk mencium laki-laki dalam fantasinya.

Awalnya hanya sekali, kecupan selintas, seperti mencicipi makanan yang masih ragu untuk dimakan karena tak tahu rasanya.

Selanjutnya dua kali, lalu tiga, kemudian empat- dan akhirnya keduanya mulai serakah, ingin lagi, ingin merasa lebih jauh. Akhirnya mulai menikmati rasa pada bibir masing-masing.

Hal ini begitu mudah untuk Bokuto. Bibirnya tanpa sulit meraup bibir tipis Akaashi. Manis. Manisan apel yang dimakan Akaashi juga dicicipi oleh Bokuto dengan cara yang luar biasa.

Akaashi begitu submit, begitu menyerah pada kerakusan Bokuto melumat bibirnya. Matanya menutup, tanpa tahu Bokuto yang sesekali membuka matanya untuk memastikan, mencari tahu apa Akaashi menikmatinya sepertinya.

Pertama kali lidah Bokuto ikut dalam gerak bibirnya, eratan tangan yang lebih muda pada pundak Bokuto bergerak.

Bokuto menjarak begitu sedikit karena khawatir Akaashi tidak menyukainya, deru nafas Akaashi yang terhitung di kepalanya buat Bokuto ingin lebih.

“Akaashi-”

“La-lagi.”

Satu kata dan Bokuto menyelam lagi, mengantuk punggung Akaashi sekali lagi pada pintu mobilnya.

Lagi.

Lagi.

Lagi.

Akaashi menggeram kecil saat gigi mereka terantuk satu sama lain. Bokuto menyeret lidahnya lebih dalam pada mulut Akaashi sebagai permintaan maaf.

Bokuto memang begitu lapar, begitu suka dengan Akaashi yang menyerahkan diri padanya. Tapi Bokuto tidak begitu liar untuk tidak peduli; sesekali lelaki berambut abu itu menjarak dari Akaashi, biarkan yang lebih muda menghirup udara untuk paru-parunya.

Tapi Akaashi juga yang berkali-kali memajukan tubuhnya ke atas, meraih lagi bibir Bokuto untuk diciumnya lagi.

Ya Tuhan. Bokuto merasa gak waras. Akaashi yang menuntut bibirnya dengan wajah yang kewalahan buat fantasi Bokuto makin meliar.

“Aku udah bilang, Pak-” kata Akaashi, tiba-tiba bicara sebelum kembali mengecup ujung bibir Bokuto, “-aku tidak tenang sama sekali.”