bokuaka: kisses

-

Bokuto berkonklusi sejak pertama kali bibirnya dipagut Akaashi, bahwa yang lebih muda punya afinitas khusus pada rambutnya.

Jari yang lebih muda, yang kurus dengan kukunya yang cantik tenggelam pada rambutnya, jauhi helaian rambut Bokuto untuk sentuh dahinya. Akaashi halus membelai-belai kulit kepalanya, ditambah menggaruk beberapa kali, buat sensasi seksi tersendiri ditengah ciuman.

Kaki Akaashi yang awalnya mengukung sudah jatuh sejak dua menit bibir keduanya terpagut; melemah dengan Bokuto yang kerap usili mulutnya, bawa lidahnya menggesek langit mulutnya. Kini yang lebih muda menyamankan diri untuk duduk sambil sesekali menyapu paha Bokuto yang keras terbaluti celana kainnya.

Bokuto menggeram kala salivanya yang lolos lewati bibirnya dihirup Akaashi, bagai madu manis favoritnya.

“Akaashi—”

“Hmn—”

Ya Tuhan, apa-apaan.

Bokuto mengecup halus delima kuncup di depannya berulang kali saat dirasa Akaashi dan dirinya sendiri butuh udara. Akhirnya mereka saling berebut nafas di sekitar satu sama lain sekaligus berebut kesempatan-kesempatan kecil untuk mencium lagi.

Tangan yang lebih besar menggenggam rahang lelaki di atasnya untuk terbuka, untuk bukan lagi meraup bibirnya,

“Lidah, Akaashi.”

—tetapi lidahnya.

Yang diperintah menurut, menjulur lidahnya mendekat untuk diraup, untuk dihisap masuk ke mulut yang satu, untuk dengan lembut menabrakkan sekali lagi bibir masing-masing.

Akaashi kewalahan, lidahnya bagaikan sehelai daging yang dibolak-balikkan semaunya oleh sang koki, untuk kemudian dibakar panas dan dibasahi dengan margarin yang berlebihan.

Yang di atas mengerang karena Bokuto tak sengaja menggigit bibirnya, meninggalkan denyutan yang kemudian dijilat untuk diobati. Saliva Bokuto bagai garam yang menyiram lukanya, buat lukanya meremang bukan karena rasa sakit tapi rasa yang mendebarkan.

Pegal dengan posisi yang bertahan lebih dari sepuluh menit, Bokuto menggeser Akaashi untuk lebih mendekat, buat yang lebih muda memindahkan haluan jarinya pada sisi perut Bokuto untuk pijakan.

Akaashi terkesiap kecil.

Tangannya mencengkram abdomen si rambut abu dengan rasa penasaran; Bokuto di bawah tangannya begitu keras, begitu kukuh dengan permukaan yang mencekung menuju celananya. Harusnya Akaashi sudah menduga, sudah tahu bahwa Bokuto bukan hanya luar biasa pada mulutnya tapi juga apa yang tersimpan di bawah kain pakaiannya.

“Tolong—” desah Akaashi, terdengar seperti manusia yang paling sengsara sedunia, “—lakukan sesuatu,”

Bokuto yang kini sibuk bergantian mengecupi kuping, rahang dan apapun yang tergapai mulutnya begitu paham maksud Akaashi. Kepalanya sudah mengeruh sejak Akaashi terus menggerakkan pinggulnya tanpa disadari. Pinggul Akaashi yang berbalut jeans terlihat molek dipandangannya, Bokuto tidak berani membayangkannya tanpa celana, atau Akaashi bergerak naik-turun di pahanya, atau sambil mengendarai penisnya—

—Bokuto harus berhenti.

“Akaashi— Akaashi, ini Kamis,”

“Aku gak peduli— ayo—”

“Aku— aku ada meeting besok siang, aku gak bisa—”

Tak peduli, Akaashi mengecupi leher tebal di depannya yang entah kenapa berkeringat pada suhu 16 derajat, lanjut menggigitinya kesal.

“Jahat,” desis Akaashi, “kamu mau ninggalin aku begini?”

Satu tarikan nafas yang keras, Bokuto menggenggam dua tangan Akaashi untuk digenggam di depan dadanya, mengukungnya layak borgol.

Bokuto menggigit bibirnya, Akaashi yang tersorot lampu remang entah darimana, terlihat berantakan. Wajah memerah sampai lehernya dan mata yang tak fokus buat pikiran Bokuto memaksakan kehendaknya untuk langsung saja memakan hidangan yang tersedia tak pedulikan pekerjaannya besok. Tapi dia tak bisa tinggalkan tanggung jawabnya.

“Bolos,” pinta yang lebih muda dengan suara yang tersengal.

“Mana bisa— aku serius gak bisa.”

“Pak—”

“Aku mau, Akaashi, serius. Lihat celana aku— ya Tuhan jangan pegang!”

“Konyol. Kita sama—”

“Maaf, aku minta maaf, ya?”

Akaashi menghela nafas keras, kepalanya disandarkan pada jendela kemudi dengan mata tertutup, berusaha menenangkan panasnya, hasratnya, dan mencoba terima kenyataan bahwa pekerjaan yang lebih tua butuh banyak perhatian daripada tubuhnya.

“Besok Jum'at, kita bisa— bisa sampai minggu?” tawar yang lebih tua.

Tatapan sinis menjadi balasan sugesti konyol Bokuto. Apa katanya? Bercinta tiga hari?

Bokuto menggapai tubuh di atasnya untuk dipeluk, kemudian diusap punggungnya, “maaf.”

“You really need to make up for this.” ancam Akaashi.

Bokuto menurut, kecup rambut Akaashi sebagai janji.