bokuaka: lemonade rain.

-

puluhan air tanggal beramai-ramai dari langit, menghantam di jendela kamar lantai dua. guruh dibarengi kilat pembelah langit samar-samar menggemuruh.

benar, hujan.

yang bersurai hitam diam tatap kesal titik air yang memilih untuk menempel di kaca yang kemudian meluncur kalah karena titik gravitasi; akaashi merasa diejek.

memang, matanya merah, tapi tak kunjung hujan. kesal, hujan di luar seakan menyemangatinya untuk ikut kalah bersama langit dan menangis.

hatinya resah, rasanya berat untuk ditopang rongga dadanya. kepalanya sakit, entah karena menerobos gerimis atau tidak bisa berhenti mereka banyak adegan.

adegan pertama ini berhubungan dengan kakak kelasnya, bokuto koutarou.

kesan pertamanya pada yang lebih jangkung itu tak begitu baik. gak seburuk itu, hanya saja, kakak kelasnya itu terlalu berbeda. asing di hidup akaashi yang begitu-begitu aja. terlalu berona untuk akaashi yang pucat. terlalu riuh untuk akaashi yang biasa sditemani sunyi di telinga.

waktu itu, akaashi si murid baru, kebingungan cari toilet. jam pelajaran masih berlangsung dan koridor sekolah swastanya begitu sepi.

akaashi ditepuk di pundak, “hai,” sapa bokuto yang menjulang, “kamu mondar-mandir sejak tadi? kelas satu?”

yang ditanya hampir balik bertanya. ah, ada garis merah di lengan seragamnya, tanda akaashi memang anak kelas satu.

“iya, kak,” garis hijau, yang di depannya anak kelas dua, “toiletㅡ aku bingung dimana toilet?”

“dasar anak baru,” punggung akaashi ditepuk agak kasar, si pelaku tersenyum begitu lebar, mengejek, “ada di pojok sana, ruang perkakas belok kiri.”

akaashi mengangguk, kaki mulai berjalan, “oh, oke, kak. terima kasih-”

“bokuto.”

”-ya?”

“nama. bokuto koutarou. nama kamu?”

akaashi yang agak panik karena tinta spidol di tangannya bisa mengering kapan saja menjawab sambil berjalan menjauh, “akaashi, akaashi keiji.”

ia tahu ini bukan sepenuhnya salah si kakak kelas, tapi, sejak saat itu setiap berpapasan, bokuto sering memanggil namanyaㅡ

“akishi!”

ㅡdengan salah.

“ikashi!”

“akaishi!”

akaashi kesal, setiap kali ingin membenarkan, kakak kelasnya itu sudah menghilang entah kemana. maka suatu hari, akaashi yang tak tahan lagi menarik tangannya,

“akaashi, namaku akaashi-”

“oh, ya?”

“iya.”

bokuto tertawa, keras sekali, “tau kok. aku cuma iseng. gak sadar ya?”

akaashi padam di wajah, ternyata si kakak kelas itu menggodanya.

godaan beragam variasi dari otak cemerlang bokuto awalnya mengesalkan, buat akaashi menyumpal telinganya. hari-hari banyak berlalu, akaashi terbiasa, kekesalannya padamㅡ akaashi tertawa.

akaashi menikmati kejutan-kejutan si kakak kelas. penasaran, keisengan macam apa yang dipirkirkan untuknya. akaashi menunggu.

sampai di minggu kedua maret, tiga hari akaashi begitu senyap.

bokuto ternyata sakit. demam 38.5 derajat.

akaashi datang ke rumah untuk pertama kali, satu kantong jeruk di tangan.

“katanya orang bodoh gak akan demam.”

bokuto tertawa di selingi batuk di balik masker, tangannya naik ke pipi si adik kelas untuk mencubit lemak disana.

yang dicubit diam, yang mencubit diam.

bokuto batuk lagi, “kamu bawa apa?”

yang lebih muda pulang setelah satu jam, pipi masih merah. akaashi pikir ini karena cubitan tadi, tapi si pelaku tak mencubit sekeras itu.

akaashi gemetar di tangan. kulitnya masih merasa jelas suhu panas tubuh si kakak kelasnya itu.

jantungnya ribut, akaashi menyadari perasaannya.