bokuaka: matahari.

-

akaashi bangun karena panas dimana-mana.

kelopak matanya terlipat perlahan, buat sepasang bola mata hitam berandangnya mulai bekerja, menelisik apa yang buat tidurnya terganggu paksa.

bias cahaya menyusup di antara kain abu, lurus membentuk garis sampai menikam akaashi tepat di wajah.

hatinya meringis, ia tidak menutup sepenuhnya kain jendela semalam.

akaashi menggeram vokal, menutup wajahnya yang panas akibat matahari pagi. niatnya ingin memundurkan tubuhnya, menghindari tusukan cahaya yang mengganggu di mata, tapi tubuhnya tak bisa bergerak; ada gumpalan di belakangnya yang buat spasi geraknya begitu minim, ditambah tangan besar melilit di perutnya.

ia menengok ke balik pundaknya.

oh, ini. selain panas matahari di luar, akaashi ternyata merasakan panas matahari dari atas ranjangnya yang memanggang punggungnya.

bokuto, kekasihnya, tertidur. semalam menerobos masuk apartemennya entah jam berapa karena late night flightnya.

“aku malas pulang ke rumah, shi. sepi, gak ada kamu,” rengeknya di telepon sebelum naik pesawat, “aku janji gak akan ganggu tidur kamu, oke?”

setidaknya si lelaki berambut abu itu menepati janjinya; akaashi tetap terlelap nyenyak sampai tak menyadari bokuto yang masuk ke dalam selimutnya.

si kekasih benar gapai mimpi SMA-nya untuk menjadi atlet nasional, mengharumkan nama negaranya lewat bakatnya dalam olahraga voli, yang juga berarti bokuto harus rajin bolak-balik wisata ke negara lain, baik karena pertandingan resmi atau latihan tanding sekaligus kunjungan ke negara tetangga.

makanya, terbangun dengan bokuto di sampingnya adalah pemandangan asing sejak keduanya lulus universitas dan terjun di dunia yang lebih dewasa.

akaashi diam tatapi yang mendengkur. kelopak mata si kekasih dengan bulu mata lentik disentuhnya, begitu hati-hati, memperlakukannya bagai kupu-kupu yang bisa terbang meninggalkannya kapan saja.

bibirnya yang sedikit terbuka tak luput dari kejahilannya. ujung kukunya menekan ringan disana. alis akaashi mengerut, merasakan kulit bibir yang kasar. dalam hati mencatat untuk membeli pelembab bibir karena jelas, ciuman bokuto paling membuai saat bibirnya sehat merekah dan basah.

akaashi tersenyum, tak sabar ingin mencium sang bidadara hati. dua minggu tak merasakan bibirnya dikudap oleh yang lebih tua buatnya resah.

tubuhnya mendekati bokuto, kekesalan karena tubuhnya yang panas akibat dekapan bokuto dilupakan.

akaashi ternyata ingin lebih dekat lagi; akaashi begitu rindu.

inginnya menjadi egois. ingin sekali selamanya melengket di ranjang bersama yang paling didamba. ingin sekarang juga melepas baterai dari semua jam di apartemennya agar mereka lupa waktu.

inginnya, bokuto tetap bersamanya.

akaashi begitu rindu, pikirnya terbakar karena panas tubuh bokuto pun tak masalah, asal ia bisa senantiasa merasakan tubuhnya meletup-letup bahagia karena keberadaan bokuto di sisinya.

“shi?”

akaashi merasa bagai pintu yang diketuk. kepalanya yang berisik seketika senyap saat suara bokuto masuk diproses otaknya. matanya ditatap oleh mata yang masih layu karena kantuk.

bokuto terbangun, lengannya memeluk si surai jelaga lebih erat.

“hey, you okay sweetheart?”

akaashi menyelam lebih jauh dipelukan bokuto, tangan bergerak melingkar di lehernya.

yang lebih muda mengangguk, gelitiki bokuto di pipi.

“kangen?”

akaashi mendesau malu karena ditembak tepat di titik tengah. pasti tadi ia melamun sampai tak menyadari bokuto yang bangun dan melihatnya yang tak fokus karena kepalanya yang ribut.

ia menyerah, mengangguk untuk mengiyakan bokuto.

yang dikangeni tertawa rendah sekali. suaranya berat dan serak karena baru dipakai setelah tidur semalam.

akaashi dikecup di dahi, “siapa yang semalem bilang gak mau aku kesini?”

yang diejek diam, mengecupi balik pundak telanjang di bawah dagunya, “aku gak tahu, ternyata sekangen ini sama kamu.”

“sibuk kerja?”

“hmm.”

“terus?”

“apanya?”

“aku 'kan disini, kamu mau apa?”

akaashi menatap bokuto di mata, biarkan retina keemasan milik kekasih bersua dengan retina arangnya.

“first, can we kiss?”

tanyanya dijawab senyum lebar di wajah.

bokuto merendah gapai dirinya untuk mencium lembut ranumnya. ia mengecapnya penuh manja, terasa ingin bawanya terlena dengan sesekali tinggalkan gigitan.

akaashi kemudian dikecup di kedua pipinya.

“udah?”

dahinya mengerut, rindunya masih bergejolak, “begitu aja?”

“akaashi,” pipinya digesek halus oleh ibu jari, “aku mau lanjut, tapi aku laper?”

bokuto dicubit di perutnya, buat tawa keduanya menggema di kamarnya.

“mau ke bawah? cari sarapan?”

satu kecup penuh diberikan sebelum bokuto meloncat keluar dari selimutnya, “sure.”

-

fin.