bokuaka: mommae warnings: nsfw, explicit sexual scene.

-

“Akaashi.” gumamnya pada diri sendiri, kemudian tertawa kecil mengejek; antara pada Akaashi yang tidak main-main dengan janjinya dan juga mengejek dirinya sendiri yang ternyata minim akal sehat.

Bagaimana bisa pakai akal sehat apabila yang paling didamba terbaring tanpa sekat di atas seprai beludru kelabunya? Nafas halus dari lelaki yang nyenyak terlena oleh mimpinya berirama dengan air purifier, buat perut Bokuto mengaduk.

Tapi Bokuto tidak kurang ajar.

Memang, Akaashi luar biasa cantik; kimono merah pekat dengan obi hitam melekat pada tubuhnya yang melekuk di bagian favoritnya, rias wajah samar menjejak pada wajahnya, bibirnya— bagian kedua favoritnya setelah pinggulnya, katanya, merekah merah dengan spasi kecil untuknya bernafas.

Semua pada Akaashi buat Bokuto begitu mendamba.

Tapi Akaashi yang tak sabar ditemuinya itu tertidur pulas.

Bokuto tersenyum. Tangan besarnya bergerak, menyapu helai rambut Akaashi yang terlihat menganggu keningnya... atau memang hanya alasan Bokuto untuk membelai kepala yang dicinta. Tangan yang satu meloloskan dasi yang menjuntai pada lehernya; agak sesak karena dadanya penuh dengan kasih untuk yang lebih muda.

Akaashi pasti lelah dengan kelasnya dan pekerjaan yang baru dilepasnya. Berhenti dari kerja part time memang buat Akaashi pulang jauh lebih awal, tapi emosinya pasti lelah; aktivitas yang biasa ditekuni dan teman yang biasa ditemui disana harus dilepasnya. Ditambah Bokuto, si mental supporter, tidak ada saat paling dibutuhkan. Latihan pengembangan SDM yang rutin diikuti Bokuto dilaksanakan saat begini dengan memakan waktu seminggu, pula.

Akaashi dinilai tidak bergantung; mandiri, jadi Bokuto sejujurnya kaget dengan sisi manja Akaashi yang baru diperlihatkan sejak mereka jelas dengan status mereka. Yang lebih muda banyak memikul beban sendiri, tidak begitu banyak bicara soal apa yang dilakukannya, tapi Akaashi terlihat butuh dukungan, butuh Bokuto saat terlalu lelah dengan macam-macam aktivitasnya, butuh Bokuto memanjakannya dengan caranya sendiri; entah membelikan dessert favoritnya yang menyokong mood baiknya atau hal kecil seperti pelukan dengan kecupan di kepala saat Akaashi pulang lebih malam dan Bokuto mampir di kosannya.

“Loh—” gumam Akaashi, menyadarkan Bokuto dari pikiran panjangnya, “kamu udah pulang?”

Bokuto tertawa kecil, bawa tangan Akaashi dekati bibirnya untuk dikecup, “bukan, aku hantu.”

Yang ingin dibodohi menyipit mata, tubuhnya masih meremang hangat karena tidur singkatnya. Tapi reflek yang lebih muda bawa leher Bokuto mendekat untuk dipeluk erat, “welcome home?”

Bibirnya tertarik, ciumi apa yang digapainya— telinga Akaashi.

Dengar kata rumah yang punya banyak arti—yang pasti bukan tentang apartemennya—buat hatinya membuncah karena terlalu penuh dengan bahagia dan suka, sadar bahwa ia menemukan rumahnya. Ia kini punya tempat untuk menyamankan diri, untuk berbagi keluh kesah dan senangnya, punya rangka yang bisa menawarkan hangat saat tubuhnya tercabik dingin udara luar saat berjuang pada kehidupannya.

Pelukan Akaashi adalah rumahnya, Akaashi adalah rumahnya.

“I'm home.”

-

Beda dari malam-malam rindu yang lain, kedua jiwa yang tak peduli pada ramai kendaraan yang lalu lalang di malam minggu, yang berlagak anggap dunia hanya milik berdua, memadu kecap begitu halus, penuh sabar walau tamak. Memoles saliva pada bibir lawannya untuk kemudian dilahap, layaknya mengerikit beri merah yang kaya dengan sarinya. Tangan bergerak lembut walau penuh penasaran, penuh gelisah ingin merasa kulit telanjang masing-masing di bawah jemari.

Kancing Bokuto kini habis, yang lebih tua menggumam diujung tenggorokannya, “aku belum mandi.”

Lelaki di bawahnya menggeleng, gapai bibir yang lebih kental untuk jangan bicara, untuk ikuti lajunya, untuk menurutinya, untuk diam saja dan cium lagi dan lagi.

“Aku gak pernah masalah soal itu.”

“You always smell amazing.”

“Your perfume and just... your scent.”

Kecup, kecup, kecup.

“I like it.”

Dengan geram frustasi dengar si penggoda yang mengaruh birahinya, Bokuto turun, ciumi tulang selangka yang di bawah, mengecap penuh ingin kulit yang terlihat suci untuk ternoda oleh ulahnya; kotor oleh bercak kasihnya, ingin yang melihatnya tahu bahwa Akaashi Keiji tidak sesuci yang dikira.

“Kamu ngantuk kan? Serius gak apa-apa?”

Yang ditanya merengek kesal; kesal dengan yang lebih tua yang tak mengerti posisinya, yang tidak bisa lihat betapa putus asanya Akaashi, tidak lihat tali logikanya sudah putus sejak Bokuto diciumnya masih dengan pakaian kerjanya.

Akaashi membelai pada abdomen sang kekasih, bagian tubuh yang paling disukainya. Bokuto dengan setelan kerjanya memang begitu memikat perhatiannya sekaligus nafsunya, tapi dengan kancing yang berburai, daya tariknya jauh dari akal. Si rambut abu bilang pernah rutin dengan voli di masa remajanya dan saat ini ia menjaga agar kebiasaan olahraga paginya tidak dilewatkan. Yang lebih muda yakin lekukan berbahaya pada kulitnya adalah hasilnya.

“Aku gak apa—”

“Mata kamu setengah terpejam, Akaashi.”

Tuhan, Bokuto yang sok tahu memang menyebalkan. Itu adalah Akaashi memandangnya dengan sayu, bukan sepenuhnya karena kantuk.

Tapi Akaashi terlalu malu untuk menampik.

“Ini—”

“A quick release and we sleep, ya?”

Bibir yang terpoles lipbalm merah muda terbuka ingin protes, tapi Bokuto mendahuluinya, mengecupnya untuk tak membantah.

“Besok Minggu, sayang. Kita bisa seharian—”

“Aku kangennya sekarang—”

“Sama,” potong si dominan, tangan besarnya mengelus halus tekuk kaki yang kurus, “but i don't want to overwork you.”

Mendesah menyerah, si rambut jelaga mengangguk, bawa tubuhnya sendiri untuk duduk nyaman di pangkuan Bokuto. Mengerti, yang diduduki memundurkan tubuhnya, menyandar pada headboard, tarik Akaashi lebih mendekat.

Cumbuan mereka dimulai lagi, tapi dengan tangan yang jauh lebih memburu, membelai tiap sudut tubuh masing-masing.

“Akaashi—” Bokuto meneguk saliva, pandang Akaashi yang lebih tinggi dari jajar matanya, “—kamu gak pake... apa-apa.” katanya mengonfirmasi.

“Just... feel like not wearing it?”

Bohong, yang lebih muda pasti tau apa pengaruhnya pada Bokuto. Tubuh molek dengan jangat seputih salju kemudian dibalut kain satin dengan tanpa apapun lagi dibaliknya... Akaashi terdengar porno yang menjadi kenyataan.

Akaashi mengadah, lepas kecupnya saat tangan Bokuto dengan tidak sopannya langsung mencengkram pipi bokongnya, menguleni dan mencubiti kulit disana.

“Masukin—”

“Jari dulu ya? Pelan-pelan.”

Menurut, yang di atas menggapai pelumas di meja nakas. Pelumas dengan wangi favoritnya— antara campuran vanila dan bunga.

Akaashi menumpu tubuhnya pada lutut, peluk erat kepala Bokuto dengan begitu mengharap pada apa yang akan datang.

Jari Bokuto; jari yang biasa dipakainya mengetik sibuk pada laptopnya, untuk melipat lembaran roti panggang di pagi hari, untuk mengubah arah kemudi saat mengendarai mobilnya. Jarinya yang begitu tebal dan kokoh, dengan bulu halus pada belakang buku jarinya.

“Ha—nh,” yang dimasuki mendesis. Suka sekali dengan jari yang lebih tua, yang basah dan lengket mengaduk dalamnya. Mengendurkan otot resistensi Akaashi, bersamaan dengan kewarasannya yang kian melonggar tiap titiknya dipijat.

“Sakit?” tanya suara berat dengan perhatian.

Menggeleng, Akaashi kembali mendesis, “suka—”

“Suka? Suka jari aku?”

Akaashi mengangguk, jemarinya menggaruk rambut halus di belakang leher Bokuto.

“Suka jari aku aja? Mau keluar cuma dengan jari aku?”

Yang dipangkuannya terkesiap saat jari kedua lolos masuk. Jempol Bokuto yang melebarkan lubangnya buat Akaashi malu karena merasa terlalu terbuka.

“Suka— suka jari kamu— suka kamu— suka kamu, Pak.”

Mengerut dahi, Bokuto tak terima dengan panggilan yang dilontarkan yang manis. Jarinya makin intens mengeruk masuk ke dalam.

“Kak, Akaashi. Panggil aku Kakak.”

Yang diminta menggeleng, menggumam 'pak, pak, pak—' tepat di telinga yang ditumpunya.

Bokuto mengeryit, “Akaashi— Akaashi jangan bilang— you have a thing for older man?”

Lubang yang mengetat menjadi jawaban, buat Bokuto terkekeh melecehkan.

“You always surprised me.” ujar Bokuto. Bibirnya mengecup dada lelaki yang lebih muda. Kain satin yang sudah melonggar membuka jalan untuk Bokuto leluasa menjejak pada kulit bagian atasnya.

Bokuto menambah jarinya, kemudian mengecupi puting di depan matanya saat Akaashi terlihat kewalahan dengan tiga jari tebalnya.

Pinggul cantik sang pengendara bergerak bingung; merasa akan robek di bawah tapi mendamba ingin lebih. Akaashi tidak masalah dengan luka akibat pergumulannya dengan yang lebih tua, tapi ia tidak ingin lukanya disebab hanya dengan jari.

Mengerti Akaashi yang gelisah, Bokuto makin rajin menjilati kelopak merah muda pada dada Akaashi dan mengulum di mulutnya untuk mencuri perhatiannya.

“Pak— ayo, ayo masuki.”

Bokuto mengerling, ketidaktegaannya tidak lebih berat dari kejahilannya, “masuki? Masuki apa?”

Kekasihnya itu mendengung kesal, “masuki aku— lubangku—”

“I'm doing it, Akaashi,”

“No, no, no,” protesnya frustasi, “bukan jari—”

“Lalu apa?”

Jengah, Akaashi menggigit leher di depannya, menggeram disana dengan tangan yang bergerak nakal mengelus pada gumpalan yang diinginkannya, yang akan memberinya nikmat yang dinantinya, yang paling dirindunya.

“Kamu— penis kamu— ayo.”

Puas bermain, Bokuto mengecup bagian rusuk sang mahasiswa. Jarinya lepas dari bawah Akaashi untuk melepas celana yang membungkus kakinya.

Bokong Akaashi turun, menggesek pada paha Bokuto yang keras. Kepalanya menyandar pada pundak di depannya untuk menata nafasnya. Bola matanya mendapati Bokuto yang mengurut kejantanannya setelah menyiramnya dengan pelumas.

Akaashi meneguk ludah yang berkumpul pada mulutnya karena dorongan tiba-tiba untuk melahap Bokuto dengan mulutnya. Tapi tidak, tidak mau lagi menunda Bokuto untuk memenuhinya di bawah. Kejantanannya lebih berhasil merangsang semua inderanya daripada porno murahan dengan tag perkasa dan semua kata-kata deskripsi yang berarti besar.

Akaashi gemetar, tau bahwa Bokuto lebih dari sekedar besar.

“Sini,” ajak Bokuto dengan tenang, terdengar tidak seperti mengajak Akaashi untuk duduk pada penisnya.

Dorongan pertama, seperti yang sudah-sudah, menghasilkan rintihan nyeri sarat puas dari Akaashi. Kepala memang bagian yang paling tebal dari semuanya.

Kaki Akaashi yang menekuk pada kasur menyeret-nyeret; bertanding dengan nafsu dan kemampuannya dalam memamah batang yang mencari celah pada dinding-dinding dalam tubuh Akaashi.

“Hn— Pak— Pak Bokuto—”

“Sebentar—” kecupan dijejak pada lengan Akaashi, “—kamu sempit, sedikit lagi.”

Sisanya masuk dan lelaki yang di atas duduk sepenuhnya di pangkuannya.

Bokuto merasakan tubuh di pelukannya gemetar sampai ujung kaki, kulitnya meremang karena merasa terlalu penuh. Mencari pelampiasan, yang berambut gelap menggigiti rahang si rambut mendung.

Saat Bokuto mulai menarikan pinggulnya, Akaashi bernyanyi dengan nafas satu-satu, mengiringi gerakan Bokuto yang naik, naik, naik.

Sang karyawan bank terasa begitu keras di dalamnya, memenuhi kanalnya sampai terasa bergetar di bawah perutnya. Kulit panas sang dominan mengeret dinding basah di dalam. Uratnya yang menjengul berikan percik-percik hebat, buat lubang Akaashi mengembang-menguncup rakus pada Bokuto.

“Sayang— sayang banget sama kamu Akaashi.”

Yang tersayang mengangguk, tak kuasa limpahkan perasaan yang sama lewat ucap. Alih-alih ia menjauhkan tubuhnya dari badan yang lebih besar, bergerak pelan-pelan, naik-turun, sesekali memutar pinggul untuk mencari sudut yang tak terjamah. Geraknya buktikan perasaan yang bercermin dengan Bokuto tanpa lewat kata.

“Hng— ha— hmm,”

Takjub, Bokuto menyandarkan dirinya pada headboard, pandangi laki-laki yang secantik bidadari tapi juga liar seperti pendosa yang tak peduli surga. Yang anggap bahwa pelepasan yang diaisnya adalah surga.

Si rambut arang sangat mempesona; terlihat sensual memikat penglihatannya, memanja pendengaran dengan desah mesranya, menjinakkan perasa dengan kecupan basahnya, wangi keringat bercampur pheromone alaminya mengolok penciuman, ditambah jarinya yang mengerat pada perabanya buat Bokuto meliar.

Pinggulnya ikut naik, menantang Akaashi yang bergerak saat melawan gravitasi.

Akaashi mengerang tersedu-sedu, tergopoh-gopoh gapai kaki Bokuto untuk tidak bergerak berlebihan.

“Pak— pelan— kau hn besar—”

“Maaf— aku gak kuat, kamu juga mau lepas kan? Ayo, sayang.”

Akaashi mengangguk, bibirnya terbuka gapai sedikit lagi puncak ekstasi.

Pipinya yang bersih terbercak semu, memerah sampai kulit dadanya. Matanya hilang fokus dengan sungai yang siap menganak. Air liurnya menjejak diujung bibirnya. Semua buat Akaashi bagai bintang utama dalam semua mimpi basahnya.

“Pak, Pak Bokuto—”

“Iya Akaashi, iya. Aku juga— di dalam?”

“Iya— iya—”

Pelepasan setelah dua minggu sibuk dengan urusan masing-masing buat gayang sampai ujung kepala. Jari-jari kaki menukik dan gemetar, merasa melihat putih di balik mata.

Bokuto-lah yang pertama bergerak, mencumbu rahang Akaashi yang bulu kuduknya belum melayu, bisik betapa rindunya pada Akaashi, betapa cintanya pada yang lebih muda tak terbandingi.

Ciuman manis dibagi dan akhirnya Akaashi melemah, sandarkan tubuhnya pada yang lebih bidang di bawahnya.

“Akhirnya aku... gak bisa kontrol.”

Yang lebih muda terkekeh, mengecup kulit di bawahnya, “kayanya kita gak cocok sama slow sex.”

“Kamu Akaashi, goda aku terus.”

“Aku suka godain kamu.”

“Tapi kamu juga yang kewalahan.”

“Gak masalah.”

Bokuto menghela nafas, mencium pucuk kepala lelaki yang satu.

“Kita mandi sebentar terus tidur, ya? Kita lengket begini.”

Mengangguk, Akaashi menggeser tubuhnya, gelung leher Bokuto dengan lengannya.

“Mau gendong?”

“Iya.”

Yang lebih tua terkekeh, bawa pinggul Akaashi untuk dibawa oleh lengannya, “kalau inget pas pertama kali ketemu kamu... aku gak bakal nyangka suatu hari kamu bisa minta gendong ke aku.”

“Gak suka aku begini, ya?”

“Suka kok, aku suka kamu yang manja dan bergantung sama aku.”

Akaashi tersenyum mengecup pipi di depannya, kemudian kening berkerut, “besok aku cukur kamu, ya.”

Kimono satin Akaashi ditinggal di lantai, terberai dengan kemeja Bokuto yang sedari tadi sudah menempel di punggung karena keringat.

”...aku udah cukuran tadi pagi.”

“Gak bersih—” kecup, kecup, kecup “—coba liat siapa yang cukuran aja gak becus?”

“Padahal kamu suka janggut aku.”

“Enggak kok—”

“Aku keliatan jauh lebih dewasa 'kan? Kamu suka laki-laki tua.”

Cubitan di rusuk buat Bokuto mengaduh. Untuk ukuran orang yang kelelahan, cubitan Akaashi terasa perih di kulit, “diem.”

Bokuto mendorong pintu kamar mandi dengan kakinya, masih dengan Akaashi yang menggelung dipeluknya.

“Siap komandan.”

-

fin.