bokuaka: pakaian malam minggu

-

Bokuto masih ngambek, helm ditutup penuh biar wajahnya gak keliatan. Alasannya? Siapa lagi kalau bukan si pacar yang statusnya masih seminggu.

“Udah dong jangan ngambek, Kak.”

“Kaca helm kamu gelap, nanti kalo kamu nabrak tukang sempol aku gak mau tau.”

“Udah dong, ganteng kok. Aku kan tadi gak bilang apa-apa.”

ㅡadalah beberapa rayuan lebih muda agar si pacar berhenti memanyun. Sepanjang jalan banyak pemuda-pemudi sibuk pacaran; motor yang digas pelan biar waktu berdua terasa lebih lama, tubuh dua pengendara yang terlalu menempel dari yang seharusnya, ketawa-ketawa di tengah macet.

Jujurnya Akaashi gak begitu iri soal gaya pacaran yang disebut tadi. Bukan tipenya. Agak berlebihan juga, 'kan dunia bukan punya berdua.

Tapi kelakuan si rambut abu di kencan pertama ini bikin kesal. Dia merasa hitam sendiri di tengah pasangan yang merah muda.

Naik motor cari kulineran jalanan memang hal yang rutin dilakukan, minimal seminggu sekali pas weekend, tapi 'kan sekarang ada status baru di antara mereka; yang bukan cuma tetangga, yang bukan kakak-adek kelas, yang bukan cuma teman doang lagi.

Kalau gak mesra, apa bedanya malam ini sama malam kemarin-kemarin?

“Kamu kalo diem aja nanti gak ada ciumㅡ”

“Iya iya iya iya ini aku ngomong nih, aku buka nih helm aku.” Potong Bokuto ketus dan terburu-buru.

Akaashi mendengus. Giliran diancam soal rated R ke atas baru kalang kabut.

“Ini katanya malam pacaran pertama, malah ngambek.”

“Justru karena pacaran,” Bokuto memutar bola matanya malas, “aku harus beda dari kemarin. Masa ngajak jalan pacar pake kolor sama kaos doang? Harus ganteng lah?”

“Iya kan aku bilang gantengㅡ”

“Coba ini liat kamuㅡ” iya, mereka masih dalam perjalanan, motor digas gak terlalu cepat dan tangan Bokuto melayang ke belakang untuk pukul paha telanjang rambut hitam gulita, “ㅡini kan celana yang kamu pake tadi pagi? Kok gak dandan?”

“Buat apa sih 'kan ketemu kamu doang? Emang mau ketemu presiden?”

“Aku pacar kamu sekarang, Akaashi,” Katanya setengah teriak karena laju motor dipercepat. Makin ramainya kendaraan yang lalu lalang buat mereka gak bisa seleluasa tadi, “lebih penting seribu kali lipat.”

“Males. Kita kan mau beli baso bakar sama mie goreng doang.”

“Loh, kok gitu?”

Protesannya tak berbuah jawaban, Bokuto melirik pada kaca spionnya. Dilihatnya Akaashi yang menengok samping, berusaha terlihat cuek.

Cuma lampu-lampu kendaraan dan jalanan yang jadi penerang untuk mata Bokuto, tapi dia sumpah bisa lihat pipi si pacar bersemu.

”... baru.”

Bokuto mengeryit tak mendengar, “Hah?”

“Ini sweater baru!” Balas yang lebih muda gusar, kali ini lebih kencang tepat di telinga si pemegang kemudi, “Kamunya aja yang gak peka. Aku juga dandan kok! tapi gak seheboh kamu.”

Yang dicela membulatkan bibirnya berlebihan, “tuhkan ngejek lagi?!”

“Ya emang kan? Buat apa pake pomade begini? Wangi shampoo kamu gak kecium jadinya. Gak suka.”

“Cuma gara-gara shampoo doang kamu marah? Serius?”

“Terserah aku lah? Males, udah turunin aja aku disini.”

“Bener ya? Aku turunin disini?”

“Tega?”

“Ya enggak,” Bokuto menghela nafas, mulai lelah karena perseteruan yang dilakukan sambil melawan angin malam begini, “udah ah aku laper, berantemnya terusin lagi kalo udah makan.”

Ini malam pertama pacaran mereka, malam pertama makan baso bakar pake status baru, tapi kenyataannya mereka berantem sambil pukul-pukulan paha; untuk Akaashi, tangannya iseng tarik-tarik benang gak jelas yang menyembul dari jeans robek yang melekat pada kaki Bokuto.

Tapi, mereka akhirnya baikan kok. Soalnya mie goreng depan Perumahan Puri yang jadi langganan masih enak seperti biasa.

-

“Terus, jadi boleh cium gak?”

“Sana cium pomade kamu aja.”

-