bokuaka – practice kissing

-

akaashi dipangku di paha. biar leluasa, kata bokuto.

tangan akaashi dituntun peluk longgar lehernya. yang berambut abu mengelus tangannya pada pipi si pacar, tenangkannya dengan sentuhan ibu jari.

akaashi mulai rileks dipangkuan, tangannya mulai nyaman menyandar pada pundak bokuto.

rambut jelaga memejam mata sekejap, merasakan panas dari kulit telapak tangan rambut kelabu. matanya terbuka, pandang bokuto dan itulah sinyal maju untuk si pemimpin.

bokuto mengecup bibir akaashi. yang ini rasa paling familiar. kecupan yang biasanya dilakukan gak peduli tempat; sudut koridor saat jam istirahat atau depan pagar habis pulang sekolah.

kecupan kini jadi pagutan. bokuto beri tekanan lebih pada bibirnya, terbuka untuk mengulum bibir akaashi di antara bibirnya. yang ini pernah, tapi cuma sekali, makanya akaashi masih kaku. pulang sekolah siang hari, terik matahari begitu panas dan mereka berhenti buat beli es kelapa. bokuto menarik akaashi ke pinggir jalan, masih dengan tangan pegang plastik es.

bokuto memisahkan diri, perhatikan akaashi yang mengatur nafas halus dari hidungnya. wajahnya makin memadam tiap detiknya.

tersenyum, pipi akaashi kembali diusap, “pinter, lagi ya?”

akaashi mencubit paha yang dinaikinya, kesal karena diperlakukan seperti anak kecil.

bokuto memajukan badan lagi, mencium akaashi lagi.

kali ini harus upgrade, pikirnya. makanya bokuto melebarkan bibirnya, keluarkan lidah untuk menjilat pada bibir akaashi.

remasan pada pundak, bibir akaashi yang mengatup, buat bokuto melerai lagi pagutannya.

“akaashi?”

akaashi menatapnya kebingungan, “iya?”

“yang ini...harus pakai lidah, ya? jadiㅡ oh, sebentar.”

bokuto menggenggam rahang akaashi dengan satu telapak, ibu jari bersemayam di bibir yang lebih muda.

dengan lembut, bokuto menarik terbuka bibir akaashi, menggesek bibirnya perlahan, menyeret-nyeret ibu jarinya pada kulit yang kenyal dan basah disana.

akaashi memejam sekilas, tangan mengeruk pada pundak yang lebih tua.

malu, malu sekali diperlakukan begini. kamar bokuto jam 11 malam begitu sepi karena orang tua dan adiknya yang sudah terlelap. rasanya debukan jantung pada rongga dadanya sangat menerawang di pendengaran.

“shi? lidah kamu... coba jilat jempol aku?”

dengan ragu, lidah berwarna jambu itu keluar dari tempat tinggalnya, menyapu kecil jempol besar bokuto, seperti kucing yang meminum susunya.

akaashi diam-diam menyukai ini, suka sekali bokuto yang menatapnya dengan mata menyayu. scene di film tadi berputar-putar di kepalanya dan akaashi tak sabar.

“iya, begitu,” puji bokuto, “tapi jangan selembut itu, coba langsung aja ya?”

akaashi mengangguk, bokuto mendekatkan kuncupnya lagi.

kali ini lidah bokuto menekan bibir akaashi yang sudah buat spasi, memasukkan lidahnya masuk, bertamu dan menyapa lidah akaashi di rumahnya.

bertamu, menyapa sebentar untuk kemudian bergelut disana.

akaashi agak kewalahan. bokuto yang awalnya lembut kini giat bermain karena dicampuri hasratnya. rasanya ia ingin sekali melumuri akaashi dengan madunya.

tangan bokuto yang naik di pahanya, membelai disana, buat kulit yang lebih muda meremang sampai ujung kaki.

tiga detik terlepas, bokuto dan akaashi kembali memadu bibir. kali ini benar-benar hanya lidah yang bertemu. saliva yang berjatuhan, dahaga yang bukannya makin terpenuhi malah makin berapi-api.

tak diduga, tapi bokuto yang lebih dulu mundur. dikecupnya bibir ranum sang pacar, lalu menjatuhkan kepalanya di pundak akaashi.

tensi panas agak reda, akaashi bertanya, “kenapa?”

bokuto mengerang, “kamu gak rasain apa-apa emang?”

yang ditanya berkedip, “apanya?”

“bawah, lihat.”

iya, di bawah.

ada gelembung.

akaashi hampir tertawa, tapi sebenarnya kondisinya nyaris sama.

mereka berdua tahu, malam ini gak boleh lebih dari ini. pelan-pelan. jalan masih panjang.