bokuaka: pretty first night.

-

“how are you feeling?”

akaashi mendengung puas. kepala mengadah untuk memudahkan kepalanya dipijit oleh kekasihnya. wangi tea tree dari shampoo menguar menyentuh hidung. kakinya mengecipak di air, merasakan sensasi air di bathtub yang menyela masuk di tiap celah jari kaki.

tawaran bokuto soal mandi benar-benar tepat. tegang pada ototnya akibat kesibukan kuliah dan kerjanya luntur begitu saja dibawa air hangat. racikan bau eucalyptus dan chamomile dari bath bomb juga ikut menyugesti tubuhnya untuk tenang dan melupa lelah.

“nah, selesai.” bokuto mengakhiri bagai jentikan jari ditengah hipnotis. seketika akaashi mengedip untuk menegakkan tubuhnya.

“udah?”

“ya, udah.”

akaashi memainkan air yang beriak di sekitar tubuhnya, menyentuh permukaan air di bathtub yang berwarna hijau pastel pekat dengan serbuk keemasan berkat bunga kamomil. mata yang awalnya fokus pada ujung jarinya, bagai pelukis yang berusaha berkarya dengan air sebagai kanvasnya, kini menatap bokuto penuh harap.

“aku masih mau disini.”

bokuto melipat kakinya, lutut sentuh lantai kamar mandi. lelaki itu tersenyum puas, pikirnya berhasil buat akaashi menyukai sesi mandinya malam ini, “does it feel nice?”

“hmmm.” tangan akaashi sibuk dengan air, sedangkan matanya sibuk dengan hal lain; matanya pandangi bokuto penuh minat.

kepalanya memutar ke beberapa bulan lalu, malam pertama kali akaashi ditatap telak di mata oleh si kekasih.

bokuto, si pria kantoran yang nyaris sentuh kepala tiga, yang melepas penat dengan minum-minum di barnya. bokuto yang malam itu dengan kepala dingin menyelamatkannya dari lagi-lagi pelanggan hidung belang yang tak paham apa itu batas dan ruang pribadi. bokuto yang malam itu buat akaashi hampir tak gapai mimpi di tidurnya karena lelaki asing itu tiba-tiba memenuhi kepala akaashi dan muncul bagai mimpi itu sendiri.

masih menempel di kepalanya begitu jelas bagaimana bokuto pada akhirnya buat akaashi tak mau berpaling padahal pria itu memakai jas kantoran layaknya semua karyawan di dalam ruangan waktu itu. bokuto tidak spesial; dasinya bukan dari brand ternama yang seharga berbulan-bulan gajinya, kemeja dan jasnya juga bukan custom tailored yang dibuat khusus untuknya, tapi kain-kain itu dengan mengagumkan menempel pada bokuto, melekat sempurna untuk membanggakan lekuk tubuhnya yang seakan berteriak akan dominasi.

pantas saja, tanpa banyak bicara, bawahannya waktu itu tak berani lagi pandang bokuto. karyawannya itu seakan tahu dimana tempatnya, yang mana, adalah di bawah bokuto.

akaashi meneguk salivanya di detik itu. sama, akaashi merasakan hal yang sama, bedanya ia mau melakukannya dengan sukarela.

akan tetapi, untuk berada di bawah si lelaki yang lebih tua itu, secara harfiah dan metafora, ternyata begitu sulit.

bokuto terlalu banyak berpikir dan penuh ragu.

pikirnya akaashi belum siap menerimanya, ragunya ia tidak dapat memperlakukan akaashi dengan layak.

akaashi kesal. padahal ia sudah jelas menyuarakan kemauannya, sudah jelas ingin diambil alih oleh bokuto. akaashi menaruh kepercayaan yang besar untuk bokuto. akaashi tau pasti, hal terakhir yang akan bokuto lakukan padanya adalah menyakitinya. tapi tetap saja, bokuto terlihat banyak takut untuk maju.

maka dari itu, akaashi pikir, bokuto tak bisa digerakkan hanya dengan lisan. ia harus bergerak, tangannya harus bergerak.

“tapi, ada yang kurang.” celetuk akaashi.

bokuto yang mengeringkan rambut basah lelaki yang lebih muda dengan handuk mengeryitkan dahinya, “kurang? apanya?”

yang ditanya tersenyum manis. tangannya menyekung ke bawah untuk menggayungi air dari bathtub, kemudian tanpa merasa bersalah menyiramnya pada bokuto; lebih tepatnya, tubuh bagian depan bokuto.

ya, pada bokuto yang hanya mengenakan kaos longgar putih dan celana pendek rumahannya.

“you. you didn't join me.”

tidak berhenti disitu, tangan cantik akaashi tak mau pergi. jari-jarinya merenggang di tubuh bokuto, menyeplakkan air lebih banyak pada kaos bokuto, buat apa yang berada di balik kaos itu menerawang begitu saja.

diraba begitu, bokuto memperingati, “'kaashi-”

akaashi menarik nafas, tangannya tak mau berhenti. telapak tangannya menelusuri tubuh bokuto yang jelas di indra penglihatan dan perabanya. kain yang basah di bawah tangannya memudahkannya meraba-raba apa dan bagaimana bokuto di bawahnya.

keras. kulit bokuto terasa keras pada kulit telapak tangannya, buat akaashi tak sabar.

“kaashi?”

“pak-” akaashi berbisik, menekan nafsunya untuk tak meledak, “i want you.”

-

bokuto kini mengukung akaashi. tangan kirinya berpegangan dengan sisi bathtub, sedangkan tangan kanannya menyelam masuk air, melakukan sihir; jari-jarinya merenggangkan akaashi di bawah, bibir sambil repot mengimbangi ciuman akaashi.

ini bukan pertama kalinya untuk akaashi disentuh di titik itu. akaashi juga lelaki, juga punya dorongan seksual yang sama besar seperti apa yang orang bilang soal kaum adam.

tapi, mungkin caranya memuaskan diri tidak dilakukan semua orang itu. akaashi lebih banyak ingin tahunya, lebih banyak bereksperimen pada dirinya sendiri.

maka, di malam yang penuh butuh, akaashi bukan hanya bermain dengan penisnya, tapi juga dengan pintu belakangnya. tontonan porno di tangan untuk membantu imajinasinya, tiga puluh menit kemudian akaashi baru keluar.

malam kemarin, saat bokuto menolak menyentuhnya lebih dengan alasan pekerjaan, akaashi sampai di kostannya dengan rasa butuh yang berat. kepalanya tak bisa berhenti membayangkan apa yang bisa bokuto lakukan padanya di mobil yang sempit itu. tangan besarnya. abdomennya yang terasa kesat dibalik kain. kakinya yang begitu keras di bawah bokongnya.

dua jari bokuto masuk. lubrikan yang terasa berlendir dibarengi air mandinya yang masuk ke dalam buat kaki akaashi meremang. kedua kakinya terbuka lebih lebar untuk menerima lebih dari jari bokuto.

bokuto menggeram, gigit ujung bibirnya, “kamu tidak serapat yang aku kira?”

“it's your doing,” akaashi membalas jujur, menggigit balik bokuto, “aku main sendiri kemarin pas kamu tinggal.”

“main... sendiri?”

“iya, pak.”

“pakai apa?”

“hmm, jari?”

“jari. cuma jari?”

“ya,” tangan akaashi mencengkram leher bokuto keras saat dirasa jari ketiga masuk, merenggangnya lebih lebar, yang juga buat lebih banyak air masuk ke dalam dirinya, “cuma jari.”

“you will be the death of me,” bokuto terkekeh, tangannya maju mundur di bawah lebih cepat, buat air di sekitar selangkangan akaashi berkecipak ribut, “kamu harus siap sama apa yang bakal aku kasih kalo gitu.”

akaashi menarik nafasnya sebelum mengecup bibir di depannya, “terus apalagi yang kamu tunggu?”

dan tiba-tiba saja akaashi dibawa naik tinggalkan air, terkesiap dipangkuan bokuto bagaikan duyung yang dibawa lari dari habitatnya.

akaashi mengalungkan tangannya di leher bokuto.

kalau ya memang dia adalah duyung dan bokuto adalah pangeran yang dicintainya saat ia menengok daratan, akaashi rela menukar ekor duyungnya untuk sepasang kaki. rela meninggalkan habitat amannya untuk berpetualang menelusuri dunia yang baru.

dan ranjang bokuto yang kini ditujunya adalah dunia barunya untuk malam ini, dengan bokuto sebagai pemandunya.

akaashi yang polos tanpa kain dibaringkan begitu halus di atas ranjang yang berbalut sprei beige. baru saja ingin merasakan bagaimana helaian kain itu menyentuh punggungnya, akaashi langsung diberikan pemandangan bokuto di atasnya, mengukungnya setelah melepas kaosnya yang kuyup karena ulah akaashi.

akaashi tertegun melihat lelaki yang didambanya kini akhirnya berada di atasnya, akhirnya ia berada di tempat yang diinginkannya.

kehilangan kata, akaashi menggigit bibirnya. tangannya, sekali lagi, menelusuri tubuh bokuto, yang kini bernafas terlalu keras untuk di dengar di kamar yang minim bunyi. tangannya menggores di kulit tegas bokuto dengan mesra. dimulai dari dadanya yang bidang dan coklat, turun ke perut yang bergariskan otot-otot, sampai ke bagian pinggangnya yang melekuk. bokuto menakjubkan di nayamnya, luar biasa di ujung jarinya.

akaashi menatap bokuto penuh ingin, penuh damba, penuh permohonan; akaashi begitu menginginkannya.

dan ternyata bokuto memandangnya dengan tatap yang sama.

hasil dari pantulan cermin dan apa kata orang, akaashi sadar bahwa ia juga banyak dikagumi rupanya. tubuhnya yang ramping dengan otot tak berlebih, pinggang sempitnya yang berhubung langsung dengan bokongnya yang molek, matanya yang tajam entah kenapa berpadu manis dengan helai rambutnya yang sekelam langit jam 3 pagi, berpatutan dengan pribadinya yang diam tapi tetap sopan.

dan saat ini ia juga menyadari bahwa ia lain dari biasanya; matanya kini menyipit penuh nafsu, rambutnya sedikit basah dan berantakan, kulit tubuhnya yang sebersih porselen sangat kontras dengan bokuto yang agak coklat karena tuntutan aktivitasnya, pipinya panas entah karena air hangat atau karena imajinasi liarnya tentang tubuh bokuto. akaashi tahu tidak ada yang bisa menolak pesonanya saat ini.

perkiraannya tepat karena bokuto tidak berhenti membisikinya betapa akaashi begitu memikat hatinya.

“you are so pretty,” celetuk bokuto, bibirnya turun mencium dan makin membasahi leher akaashi dengan lidahnya, “a beauty,” turun, turun, turun sampai tulang selangkanya, “aku sampai takut sentuh kamu.”

“hhaa-hh.” akaashi mengerang saat bibir bokuto akhirnya sampai di putingnya, menghisap kuat disana dan menjilatnya. punggung akaashi terangkat dari ranjang, tangannya mencengkram rahang bokuto untuk menghentikannya. percuma, akaashi paham sekali. bokuto punya ambisinya sendiri. apabila lelaki itu mau, ia akan memaksakan kehendaknya dan melakukannya dengan sungguh-sungguh.

ya, sungguh-sungguh, karena kini bokuto malah makin liar menghisap putingnya, menggigitnya sesekali diujung yang buat akaashi nyilu bukan main kemudian mendinginkannya dengan menjilatinya begitu basah dengan air liur.

“p-pak, jangan di- hhh disitu-”

“kak, akaashi.” tegurnya, masih bersikeras menolak panggilan 'pak', “tapi kayanya kamu suka disentuh disini?”

bokuto menyesap dalam di putingnya lagi, akaashi mengadahkan kepalanya dan mengerang lagi.

bukannya tak suka, tapi rasanya aneh. asing. akaashi tak pernah menyentuh dirinya disana dan kini ia mengerang keras karenanya. tangannya menjambak kasar di kepala lelaki yang usil bermain di tubuhnya.

“udah, pak- kak-, udah-”

“kenapa?”

akaashi menggeleng, tangannya menggaruki kepala bokuto yang masih menjilatinya, “aku takut- takut keluar duluan- hmmh–”

lelaki berambut kelabu itu naik mengecup dagunya, “okay,” kemudian turun kembali, bawa kaki akaashi merenggang dan bersandar di kedua sisi pinggulnya.

akaashi pikir rangsangan di tubuhnya akan mereda karena bokuto kini sudah setengah berdiri di depannya, tangannya hanya berada di kedua betis akaashi yang terbuka. nyatanya, perkiraan akaashi salah.

bokuto diam disana, menatap akaashi dari atas sampai bawah, menjejaki tiap sudutnya sampai berhenti di pusat tubuhnya. mata berwarna logam mulianya fokus menyalang disana, bagai belati yang haus untuk membelah. bokuto hanya menatap, tapi akaashi merasa hangus, terbakar habis oleh semara bokuto yang melejit-lejit hanya lewat pancar matanya.

“kamu bahkan cantik disini kaashi,” bokuto menggumam meredam hawa nafsunya, “i really want to eat you up.”

jari-jari kaki akaashi menguncup memalu mendengar kalimat barusan, kakinya menendang lemah bokuto.

“gak, sayang. lain kali aja, ya? i don't want to make you feel overwhelmed in your first time.”

bokuto melonggarkan celana pendek sekaligus celana dalamnya, menyeimbangi akaashi yang sama polos di bawahnya.

akaashi, jujurnya, lelah. berkali-kali nafasnya terasa diambil oleh bokuto dan bahkan mereka belum sampai inti dari pergerumulan mereka malam ini.

bokutoㅡ penis bokuto berdiri tegak di depan matanya.

si satu-satunya penonton malam ini hampir mendesau vokal. akaashi tau bahwa bokuto tak akan mengecewakan, pernah merasakannya dibalik celana bahwa ukuran bokuto bukan untuk main-main, tapi melihatnya telanjang begini buat imajinasinya tinggi-tinggi. bayangan bagaimana bokuto akan memasukinya, bayangan bagaimana bokuto yang sebesar itu memasukinya buat kepala akaashi pusing setengah mati.

tangannya gatal ingin merasa, lidahnya gemas ingin mencecap bagaimana rasa pilar yang dibungkus kulit yang basah karena precum dengan urat-urat yang menebal itu.

“pa- kak- please.”

“sebentar, kaashi. aku harus yakin kalo kamu siap.”

bokuto menyiram penisnya dengan lubrikan cukup banyak, sampai cairan itu deras rontok di ranjangnya. tangan bokuto aktif naik turun di penisnya sendiri, tangannya dengan telaten membaluri kulitnya sendiri agar mudah memasuki akaashi, sesekali menggoda dirinya sendiri dengan menggaruki pucuknya.

bokuto melakukannya sendiri, tapi akaashi yang merasa kehilangan akalnya.

sedang tangan kirinya bermain sendiri, bokuto agak merendahkan badannya, menggodai lubang akaashi yang akan disinggahi.

akaashi mendesah, jempol bokuto melingkari pintunya, sesekali menusuk masuk untuk kemudian keluar lagi, melingkari, lalu masuk lagi, kadang terlalu dalam sampai jempolnya habis, kadang terlalu dangkal dari yang akaashi mau. kaki akaashi yang menapak di ranjang menggesek gelisah.

tangannya menggapai-gapai bokuto, “p-pak ayo- ayo, masuk-”

bokuto mengangguk, terlihat sama gelisahnya, sama tak sabarannya. tangannya mengocok lebih cepat sambil mendekati tujuannya, “kalau sakit, bilang, ya?”

yang di bawah mengangguk sebelum mengerang kecil saat bokuto memulai perjalanannya merangsek masuk.

kecil sampai erangan akaashi hampir terdengar seperti racauan yang keras.

besar. di mata, bokuto terlihat besar. di dalam, bokuto terasa begitu hebat memenuhi kanalnya. menggapai semua yang tak pernah disentuhnya.

“hmn- ahh-hn- pa- pak bokuto-”

bokuto menarik ulur nafasnya, dahinya berkerut dengan serius melihat ke bawah, ke bagian dimana ia dan akaashi bersatu.

sakit. bohong kalau akaashi bilang hanya nikmat yang dirasanya. perenggangan paksa yang dilakukan oleh penis bokuto pada analnya sedikit menyakitkan.

akaashi tak berkata, tapi tangan akaashi diraih untuk menyentuh bantal di kepalanya. dahinya diciumi sebegitu rupa, dengan bokuto yang merapal 'it's okay, i won't break you', 'you are doing great, sweetheart'.

bokuto mengambil lubrikan lagi dan menuangnya tanpa ragu di antara mereka berdua, membasahi penisnya berikut lubang akaashi. yang lebih tua mencoba lagi memaju-mundurkan tubuhnya dengan perlahan, buat akaashi terbiasa dengan apa yang ada di tubuhnya.

akaashi mendesah kala kepala bokuto menemukan sebuah titik bantalan di dalamnya yang berikannya kejut sampai ujung rambutnya.

lelaki di atasnya mengaung rendah, tangannya mengerat di telapak akaashi, sedangkan yang satu menggenggam paha belakang akaashi. bokuto maju lebih dalam, menggali lebih dalam kanal akaashi, buat tulang panggulnya menabrak akaashi.

suara kulit bertabrakan makin nyaring, menggema terlontar di kiri-kanan pendengaran. begitu pula suara bokuto yang berat di pangkal lehernya, menikmati bagaimana akaashi memeluk penisnya.

akaashi bahkan tak bisa mendengar suara dari tenggorokannya karena beradu keras dengan apa yang berdebar di dada kirinya. bokuto sedemikian memenuhinya, menjangkau apa yang tak pernah disentuhnya, menyapa tempat yang tak pernah disinggahi siapapun.

“p-pak bo- bokuto- bokuto hhmnnn- pak-”

leher bokuto dipeluk, dibawa mendekat dan menempel pada tubuhnya. ingin merasa panas tubuh bokuto lebih banyak, ingin merasakan debar jantung bokuto di atas tubuhnya, ingin bokuto, ingin bokuto, ingin bokuto.

tapi, nafsu yang bergolak setara itu tidak diperlakukan semena-mena oleh bokuto; akaashi tetap diperlakukan bagai kaca yang rentan. berkali-kali akaashi dikecup dimanapun yang bisa digapai bibir yang lebih tebal, berbagai pujian tak henti-hentinya terngiang di telinga, bahkan akaashi yang menggigit bibirnya karena malu dengan suaranya diberi pundaknya, “b-bite my shoulder, hhh- don't hurt yourself.”

dan semua itu dilakukan bokuto dengan masih menggerakan pinggulnya dengan rajin, dengan dorongan yang hati-hati namun begitu dalam, memuaskan akaashi sampai kenikmatan menyelimuti akalnya, sampai akaashi tak punya kemampuan berpikir lagi, seakan seumur hidupnya hanya dilatih untuk mengeja nama bokuto.

“akaashi? feeling good? fuck- how is it? are you feeling good?”

akaashi mengangguk ditengah ketidakmampuannya dalam berkata, bibirnya menggigit lebih keras kala bokuto menyenggol titik yang itu-itu saja di dalamnya.

“p-pak- aku- aku-”

“ya?” bokuto mencium pipinya, memberi semangat untuknya menyelesaikan kalimatnya.

akaashi menggeleng, pipinya merah karena perutnya yang terasa diaduk, “k- hhhn keluar- mau- mhh– keluar-”

bokuto mengangguk, mengiyakan, “sure, baby. you can come.”

setelah beberapa tumbukan yang menggerus telak prostatnya, akaashi mengadah ke atas, keluar. keluar begitu deras di antara tubuhnya dan bokuto. suara dengukan keluar bersama matanya yang hampir berputar masuk ke kepalanya. listrik kejut terasa mengalir sampai ujung jari kakinya.

berbeda, memuaskan diri dengan dipuaskan betul-betul jauh berbeda. akaashi biasa harus bersusah payah capai puncaknya. kali ini, dengan pemandunya, akaashi hanya harus berbaring dan menerima apa yang si pemandu berikan padanya, yang akhirnya terasa bukan lagi hanya puncak, tetapi bahkan menembus suaka di langit, buatnya sekilas melihat putih yang ia yakini adalah awan yang dibenturnya.

akaashi menghela nafas keras, pandangi bokuto yang menciumi lehernya.

“fuck, you are so- fuck- how are you so pretty- fuck-”

perutnya yang bergetar diraba halus untuk dibawa tenang. akaashi mengecupi dahi bokuto yang menyandar di pipinya.

terus begitu sampai akaashi mengeryit karena menyadari sesuatu,

“kamu gak keluar... pak?” akaashi menatap bokuto yang mengecupi dadanya, “pak? kamu gak keluar...”

lelaki yang menahan setengah beratnya di siku itu mengedip, tersenyum layaknya tidak ada yang salah, layaknya keringat yang mengalir dari kepalanya bukan apa-apa, “gak apa-apa, aku bisa terusin di kamar mandi.”

akaashi menggeleng, benci dengan ide barusan, “gak mau, kenapa harus sendiri?”

“akaashi... kamu capek. udah ya? bisa besok lagi-”

“gak, pak,” jari lentiknya meraba halus pipi si dominan, menghantarkan ketidaksetujuannya dan juga meyakininya bahwa-, “aku masih bisa, kita lanjut lagi?”

yang keras kepala menggeleng, menjauhkan diri dari akaashi, “no, akaashi-”

malas berdebat, malas dengar kata tidak lagi, akaashi mendorong pelan bahu bokuto, buatnya terduduk, kakinya lebar terbuka di depan akaashi.

akaashi, tentunya, masih lemas dengan kejutan tadi. tubuhnya masih meremang karena semua tenaga yang keluar berikut cairan orgasmenya tadi, pun juga rasionalitasnya yang sepertinya ikut terbuang jauh.

karena saat ini akaashi memilih untuk merendahkan tubuhnya, berlutut di depan selangkangan bokuto, kemudian menciumi pahanya.

yang di atasnya menggenggam rahang akaashi untuk menghentikannya. déjà vu. akaashi juga punya keinginan kuat yang tak sembarangan bisa dihentikan bahkan oleh bokuto.

“a- akaashi-”

peringatan itu diabaikan, akaashi bergerak naik, membaui tubuh bokuto untuk kemudian menggigitinya, mengecupinya dan sesekali menghisapnya, buat bercak merah terbit di kulit bokuto.

“aku mau kasih tau kamu rahasia,” bibir akaashi sampai di perutnya, menjilat disana, “kamu bilang, kamu jatuh cinta pada pandangan pertama, kan? sama aku?”

bokuto mengangguk layak boneka yang ditarik benangnya untuk bergerak. matanya membulat lihat perlakuan akaashi pada tubuhnya.

akaashi bergerak naik, naik, naik, sampai di leher bokuto. tangannya sekali lagi mengelus rahang bokuto, memutar jempolnya di garis tajam disana, “it's not only you,” bisik akaashi kemudian menggigiti leher bokuto, menyesapnya penuh gigih, penuh tekad untuk buatnya memerah sama seperti apa yang ia lakukan pada pahanya, “i found you amazing that night, too.”

“k-kamu apa?” bokuto terkesiap, leher meninggi memberi ruang.

“you heard me,” tegas akaashi, tangannya sekarang turun, menyentuh di kulit bokuto yang paling tegang. yang satu-satunya masih berdiri.

“ya? kita lanjut lagi?” “mau aku yang bergerak sekarang?”

bokuto menelan salivanya yang menyungai, mengangguk turuti mau akaashi.

malam itu, bukan hanya bokuto yang bawa akaashi berpetualang di dunia baru. akaashi pun perlihatkan jati dirinya yang baru dilihat bokuto.

-