bokuaka: “wah.”

-

“Kamu bilang mau ada yang diomongin sama aku?”

Tegur Akaashi, kiranya Bokuto melupakan tujuan utamanya bawa yang lebih muda keluar di Kamis malam. Tapi, kini mereka sudah sampai di depan kostan Akaashi pukul 10, tanpa ada obrolan berarti sejak sore bertemu.

Air conditioner yang berhembus dalam mobil rasanya lebih berisik dibandingkan dua lelaki di dalamnya yang tunggu waktu tepat untuk bicara, terutama yang berambut kelabu, terus menerus mengulur cuma untuk tanya,

“Kita mau gimana, sekarang?”

“Maaf, aku gak basa-basi.” lanjutnya.

Oh.

Akaashi gak perlu tiga detik untuk tahu maksud yang satunya.

“Kamu yakin? soal aku?”

“Akaashi—”

“Jawab aja?”

Bokuto menjilat bibirnya yang terasa begitu kering, dalam hati mengutuk gaya hidupnya yang terbiasa dengan pendingin ruangan.

“Iya,” pukul Bokuto telak, “aku yakin soal kamu, soal perasaan aku ke kamu, soal kita dengan status, soal aku yang—”

“—yang mau lanjut sama kamu, lanjut lebih serius. Aku mau kamu, Akaashi.”

Jari Bokuto mengetuk di kemudi mobilnya tak berirama, bagai cerminan jantungnya yang berdebum keras tak karuan. Mata bulatnya pandang kaca mobil di depannya, pusatkan perhatiannya pada tiang listrik jauh di depan yang lebih menarik dari lelaki di sampingnya.

Bohong, kepalanya sedari tapi menyugestinya untuk jangan tengok samping karena tidak siap lihat bagaimana wajah Akaashi saat mendengarkannya.

“Tapi, Akaashi, ini bukan cuma soal aku. Kita nantinya bareng— kamu sama aku— paham gak?”

“Iya, aku mau kamu, tapi... kamu? Kalau kamu nyaman sama aku, kamu suka sama aku yang tiap hari ajak kamu bicara dan main begini— kalau... kalau kamu ada rasa sama aku— oh kalo itu kecepetan kayanya ya?”

Bokuto berdehem, “aku gak mau paksa kamu— serius! Cuma— cuma aku gak mau nyerah soal kamu kalau memang ada kesempatan. Kalau aku bisa sedikit gerakkin perasaan kamu, aku mau.” Bokuto mengedip, statusnya yang diagungkan sebagai presentator genius rasanya harus dicoret sekarang juga; nyatanya otaknya begitu buntu hanya untuk bicara dengan lelaki yang jauh lebih muda.

“Aku gak tau mau janjiin kamu apa— biasanya orang yang ngejar status buat janji macam-macam, 'kan? Akaashi— aku cuma mau... mau kamu bahagia? sama aku.”

Imajinasi Bokuto secara reflek menggambarkan dirinya yang terjun keluar lewat jendela mobilnya untuk kemudian mengantuk kepalanya pada jalanan yang cukup keras karena kalimat yang akan diucap selanjutnya—

“Akaashi, aku— aku suka kamu— i really, for real, adore you so much tau? Aku—”

Ketukan jarinya, yang tidak disadarinya makin menghentak keras, dihentikan oleh yang di sampingnya. Akaashi, dengan jari lembutnya, menggenggam Bokuto, rebut pandangan Bokuto yang awalnya pada perumahan yang sepi untuk menatap yang lebih muda— yang balik menatapnya, senyum lebar di wajahnya.

“Akaashi—”

“Aku bukan atasan kamu, 'kan? Kenapa kamu gemetar?”

Bokuto lagi-lagi mengedip, pandang lelaki di sampingnya yang dengan santainya menyandar lagi pada tempat duduknya.

Yang lebih tua baru saja bermonolog panjang, yang untuk pertama kalinya, hanya untuk mengambil hati seseorang. Kepalanya bisa jadi dipenuhi asap imajiner karena berusaha mencari kata yang tepat agar berkesan baik, tapi Akaashi, si pendengar utama dan memang satu-satunya, seperti tidak mendapat efek apapun. Apa—

“Iya, Pak.”

Begitu katanya. Memecahkan kemungkinan-kemungkinan yang menggunung di kepala yang lebih tua.

Iya. Iya katanya. Iya, apa?

“Aku mau— apapun status yang kamu maksud, aku mau. Sama janji kamu... buat aku bahagia? aku mau.”

Kali ini punggung yang lebih muda menyandar pada pintu di sisinya, pandang Bokuto dengan raut wajah berbeda. Kali ini lebih sungguh-sungguh dengan suara yang jauh dari main-main.

“I like you too, Pak Bokuto. Perasaan kamu gak berat sebelah.”

Bukan, ini bukan helaan nafas pertama untuk Bokuto malam ini, tapi, dengan ketegangan yang sedari tadi selimuti diri sendiri, rasanya Bokuto akhirnya baru bisa bernafas lagi.

“Serius?”

Anggukan.

“Benar, Akaashi?”

“Iya, Pak.”

Dan satu tanggapan terbodoh Bokuto yang keluar dari bibirnya karena reflek hanya,

”...Wah”

Akaashi, yang sebenarnya sama, yang sama tegang sampai ujung kakinya yang berbalut converse, tertawa terbahak-bahak.

“Iya, wah.” ejek yang lebih muda.

Bokuto melempar tubuhnya ke kursi, mengistirahatkan punggungnya yang sedari tadi menegak, tangannya bergerak usap wajahnya, “Akaashi—”

Yang lebih muda mendengus, sekali lagi mengejek, “aku malu jawab pidato panjang kamu dan kamu cuma... wah.”

“Reflek! dan yang tadi bukan pidato—”

Erangan malu yang lebih tua terhenti karena bunyi klik di telinga kirinya.

Pemandangan yang dilihatnya terasa begitu lambat diproses otaknya untuk Bokuto memahami apa yang sebenarnya terjadi saat ini.

Oh, tadi itu suara seatbelt

Tekanan pada pahanya baru sadarkan Bokuto sepenuhnya, dengan Akaashi yang— sumpah, apa Akaashi memang secantik ini dari jarak kurang dari sepuluh senti?

—Akaashi yang mengukung tubuh yang lebih besar, menyelipkan kakinya untuk muat di kursi kemudi.

“Can we kiss— right now?”

Bokuto mematung pada sandaran kepalanya, memandang Akaashi di atasnya. Memastikan pendengarannya tidak tuli karena volume debar jantungnya yang makin tak karuan.

“Kiss...”

“Kiss.”

“Right... now?”

“Right now.”