bokusaku: kangen

-

ajakan bokuto soal video call sex awalnya benar-benar gurauan dengan cuma dua puluh persen harapan.

bertahun-tahun dekat dengan label pacaran selama tiga tahun buat mereka hampir gak pernah berjarak. dari kuliah sampai sama profesi, dari satu dorm sampai punya apartemen sendiri, buat kebutuhan platonic dan sexual keduanya selalu terpuasi.

wajar, pisah dua minggu buat mereka berdua agak needy.

bokuto sudah biasa; dia cukup terbuka soal kebutuhan. kalau mau, dia bakal langsung bilang ke pacarnya, tapi, begitu karakternya dibalik, bokuto gelagapan.

bukannya sakusa gak pernah antusias soal aktivitas ranjang, masalahnya bokuto yang biasanya ambil inisiatif. pas di tengah-tengah, baru sakusa kadang ambil alih.

sekarang, lihat sakusa menggesek pipinya di selimut, mengendusi sisa-sisa raksi kekasih yang tertinggal disana, dengan mata masih pandangi bokuto yang menegak minumnya, buat tombol akal sehat bokuto ditekan mati.

“kamu cuma pake bokser aja?”

sakusa menggumam jawaban, hidungnya masih mencari-cari di kain yang biasa jadi selimutnya.

“bo?”

“ya?”

“tell me what to do.”

oh. oh. ini ternyata malam-malam ini; malam dimana sakusa beri kendali penuh untuk dipegang bokuto. malam dimana sakusa gak mau banyak gerak, gak mau banyak berpikir. cuma mau tau nikmat, cuma mau tiba-tiba sudah mengawang di langit tanpa harus susah payah menapak ke atas.

bokuto berdehem, punggung bersandar nyaman di tembok.

“duduk. aku mau lihat badan kamu.”

tanpa basa-basi, yang di seberang menurut, meyamakan diri dengan posisi si pacar. bedanya, bokuto masih lengkap dengan hoodienya sedangkan sakusa nyaris telanjang, bokser menggantung di bawah garis pinggang.

sakusa benar gak bercanda soal dirinya yang lagi butuh; matanya melayu lapar, lihat bokuto seakan si pacar itu daging matang siap makan. tubuhnya yang kurus dengan beberapa gumpalan otot gak bisa diam, kakinya bergerak-gerak resah.

“lepas celana kamu, but don't touch yourself.”

lagi-lagi menurut dan detik kemudian sakusa polos di layar laptopnya, dengan lubrikan tergeletak di sampingnya.

bokuto menegun. bukannya menekuk malu, sakusa malah melebarkan tungkainya, menyajikan diri lebar-lebar di pandangan bokuto.

“fuck, fuck, fuck,” bokuto menjilat bibirnya, “sebegitu maunya? kangen banget?”

“boㅡ”

fuck, siapa sangka sakusa kiyoomi yang ganas di lapangan ternyata anak baik yang banyak mau di ranjang?”

sakusa mengerang malu, tolak pandang bokuto. kejantanannya bergetar saat atensi bokuto fokus di selangkangannya.

“finger yourself.” perintah lagi bokuto. liat pacarnya menuang lubrikannya langsung ke selangkangannya, bokuto menggeram, “gak perlu banyak-banyak, you already wet down there.

di malam biasa, mungkin bokuto sudah kena damprat di kepala. tapi sakusa gak peduli. obrolan kotor bokuto malah buat rasa butuhnya makin melejit.

dua jari lolos. sakusa mengendarai dua jarinya. kaki lebar dengan pinggang menari ke kiri dan ke kanan, mengais nikmat dari jarinya.

“hnㅡ hhㅡ hm,” cicitnya sambil bermain sendiri. matanya gak lepas dari bokuto yang pandanginya dengan ekspresi seakan menilai tiap inci gerak kekasihnya.

“bo, b-baju, lepas.”

yang ditanya menyipit di mata, “gak mau, dingin.”

sakusa mengerang kesal, terdengar begitu manja dan putus asa, masih dengan suaranya yang berat.

“p-please, want to see you.”

serius, bokuto maunya tolak. maunya isengi lagi sakusa yang jarang-jarang beda karakter begini, tapi di sisi lain rasanya gak tega. pacarnya terlihat gak sabar naik turun kini pada tiga jarinya.

bokuto melepas hoodienya, tampilkan tubuh bagian atasnya, celana training masih rapi bungkus kakinya.

cuma begitu. cuma dengan melihat lekuk perut yang diingatnya keras di bawah jarinya, tegas nan licin apabila dibalur peluh, buat intensitas tangan sakusa makin cepat menghunus bagian bawah tubuhnya.

“boㅡ bo mau lihat.”

“apanya? ini udah.”

sakusa menggeleng, matanya pandangi gunung tinggi di tengah kaki bokuto.

“boㅡ bokutoㅡ”

paham sekali gelagat si kekasih yang dekati ejakulasi, bokuto dengan jahat berikan perintah lagi.

“lepas tangan kamu,”

gak mau, sedikit lagi, gak mau.

“sakusa, lepas.”

“lepas or you won't get to see my dick.

terpaksa, sakusa lepas tiba-tiba jarinya dari analnya. kakinya menyeret-nyeret di ranjang karena ejakulasi yang ditinggal dan tak jadi dijemput.

matanya merah mengembun, tatap bokuto memelas. ingin buat si rambut kelabu tarik omongannya dan biarkannya lagi menusuk diri dengan jemarinya lagi.

tapi enggak, bokuto tak peduli.

“ambil dildo kamu.”

sakusa mengedip, “diㅡ apa?”

“kamu kira aku gak tau kamu punya dildo? ambil.”

sakusa masih dengan tubuh bergetar menunduk ke arah laci, cari tiruan penis yang ukurannya hampir setara dengan bokuto.

tapi, beda. karet dingin itu terasa berbeda. punya bokuto terasa panas saat menjorok masuk ke dalam tubuhnya. urat gelap yang kelilingi kulitny kasar menggesek dindingnya. terlebih lagi, karet itu tidak bisa mengisinya dengan ladu yang buat analnya terbakar.

ajaib, bokuto seakan tau apa-apa isi pikirannya. sekembalinya duduk di depan laptop, pacarnya itu sudah menurunkan celananya, pedangnya tegak siap menggorok kewarasan sakusa.

“bokutoㅡ”

“pathetic,” bokuto tertawa kecil, tangannya lumuri penisnya sendiri dengan lubrikan, “kamu mau pake mainan kecil itu buat ganti aku?”

sakusa kesal diejek begitu, tapi bokuto gak salah. bokuto benar. dildo itu jauh gak sebanding dengan miliknya.

memilih tak peduli, tangan basah sakusa ikut bermain pada dildonya, mengikuti gerakan bokuto yang naik turun dan sesekali menggelitik dirinya sendiri dengan jarinya.

“do it.”

one command dan sakusa langsung melebarkan dirinya, menggoda dirinya sendiri dengan bermain di pintunya.

“hhㅡ boㅡ bokutoㅡ”

“yes sweetheart, you are doing great.”

“keep going.”

ingin mengejar kembali puncak yang sempat dituruni, sakusa kembali mempenetrasi analnya, memasuki dirinya sendiri sejauh mungkin, memaksakan dildonya mencapai titik yang biasanya mudah dipijat bokuto.

pinggul naik turun lagi, sakusa mendesah lagi. kakinya merangsek ribut kala dildonya menyundul di tempat yang tepat.

matanya yang berat ingin menggelap dipaksakan menyala; ada bokuto di depannya, ada bokuto yang sama-sama terbuka kakinya.

bokuto memijat kejantanannya, menjepitnya kuat dengan jari-jarinya yang besar. kepala bayangkan sakusa yang memberi tekanan disana-sini, bayangkan kepalanya yang menubruk sakusa sampai dalam, bayangkan dildo yang dikudap oleh anal sakusa adalahnya miliknya.

“boㅡ bo, tell meㅡ tell me something.”

yang diminta langsung paham maksudnya. tangannya makin mengerat di kulitnya.

“what do you want me to tell you, hm?”

“is it about your hole eating it good? or is it about your cock gets wet just from a mere fake dick?”

pergelangan sakusa makin gusar, makin frustasi membolak-balikkan dildo di analnya.

“you know i'm better at it right? fucking you.”

“you can't come unless you are dicked down to the brim and i can do that easy.”

“inget gak? kamu nangis pas aku terlalu dalam? pas kamu bilang kamu terlalu penuh? pas kamu rasa penis aku rasanya ada di perut kamu? hm?”

ingat. ingat sekali.

waktu itu kemenangan timnya, dengan bokuto yang cetak skor pemenang. “aku mau menangi kamu di ranjang.” bisiknya disela sorak sorai penonton. benar, bokuto bawanya buru-buru ke apartemen, abaikan makan malam perayaan. mereka tak sentuh kamar mandi. masih dengan tubuh lengket, sakusa dibuat makin basah semalaman.

sakusa dekat, dekat sekali. gairah mereka malam itu kembali meraba ingatannya, meraba tubuhnya. ditambah tangan bokuto yang masih aktif di penisnya buat perutnya makin tercekik karena ingin.

seandainya bukan karet ini.

seandainya bokuto yang ada di dalamnya.

seandainya bokuto ada di ranjangnya, memanja analnya, menyumbunya sampai ibu jari kaki, menjilatinya sampai telinga, membisikinya dengan janji-janji kotor soal apa yang ingin dilakukannya padanya yang cantikㅡ paling cantik, katanya. menyaingi dewi yang bersinar cantik di atas langit malam.

tangannya dengan sulit ingin gapai penisnya; ingin keluar, ingin keluar sekarang juga.

“janganㅡ sa, kamu bisa keluar tanpa pegang penis kamu. don't

dilecehkan begitu buat kepalanya berputar, buatnya begitu terhina karena ia tahu sendiri ia menyukainya. ia menyukai kebenaran bahwa ia memang di bawah kendali bokuto.

“boㅡ akuㅡ akuㅡ”

“yes, pretty, yesㅡ keep going,”

sakusa menggeleng, “canㅡ canㅡ iㅡ ahnnㅡ”

“ya, sayangㅡ ya. keluar, sayang.”

sakusa memejam, tangannya menggali sampai dalam, dalam, dalam. penisnya dibiarkan naik turun. leher mendaki naik, mencari ruang bernafas di udara.

sakusa keluar dengan hebat. tubuhnya melonjak bagai dikejut listrik sampai ujung kakinya. erang dan denguknya keras menggema tak tahu malu dari speaker laptop bokuto, buat si penonton solo ikut menyinggahi puncak.

bokuto meracau puas liat sakusa jinak di atas kasurnya. rambutnya yang bergelombang bagai air laut di malam hari menutupi setengah wajahnya. lelaki kesayangannya lemas dengan nafas tersenggal, menciumi kain di bawahnya.

sakusa begitu cantik, cantik sekali dengan segala anasir laki-laki padanya. kekasihnya tersenyum, pandangi bokuto yang tak mau berkedip dan kehilangan sedetikpun kesempatan untuk memuja sakusa.

-