bottomi + suna

(warning: nsfw, bahasa suka-suka)


“katanya mau nemenin nugas? kok malah ganggu?”

sakusa di depannya mengulum bibir, “m-maafㅡ”

bohong. sakusa tak mengganggu sama sekali.

sakusa yang mengangkang di atas meja belajarnya dengan muka merah padam? gangguan?

jauh. jauh. jaaauh lebih baik daripada lihat jurnal tebalnya yang mengangkang di atas meja.

suna terkekeh, menyenggol penis sakusa yang berdiri di tengah kaki dengan pulpennya.

“aku mau lanjut baca, nih. kamu gak mau minggir?”

capek-capek memindahkan semua barang yang ada di atas meja untuk duduk disana, sakusa gak mau menyerah gitu aja.

tapi, namanya 'kan sakusa kiyoomi. mana punya muka untuk minta itu?

sakusa menggeleng, “r-rin-”

yang dipanggil tersenyum jahil, kursi menggeser lebih dekat ke mejanya, memotong jaraknya dengan selangkangan sakusa yang tersaji lebar di depan mata. five course meal lewat pokoknya.

“apa, sayang?” “omi mau apa?”

mau dilanjut lagi.

mau dimasuki.

masuki aku yang udah banjir karena kamu nyiram lubrikan kebanyakan.

mau menyerah, mau utarakan saja maunya, tapi bibirnya gemetar. yang pasti bukan karena pendingin ruangan.

padahal, sakusa tinggal sebut dan boom, suna the witch akan kabulkan permintaannya, kok. cuma-cuma. paling minta bayaran desahan sakusa yang merdu, serak panggil nama yang lebih tua.

“hm? omi mau apa? ayo bilang?”

matanya menyipit. suna tahu maunya. tahu jelas kenapa jari kakinya mengerucut dan kedua lututnya menyatu, butuh sentuhan di tengah kakinya.

“loh, jangan ditutup,” suna ketawa lebih renyah, tangannya membuka lebar kaki pacarnya, “aku mau lihat.”

sakusa mengigit bibirnya malu. malu berat. mata suna memicing bagai binatang buas yang tenang perhatikan mangsa sebelum bergerak menerkam.

suna menganggap kaki terbukanya dengan remeh. sedangkan harga diri sakusa berkumpul disana semua.

bangsat, bangsat, bangsat.

“mau ini? omi mau ini?”

tanpa peringatan, suna memasukkan jarinya ke dalam sakusa yang basah. cuma satu jari, tapi jarinya begitu lihai mengeruknya.

“hmmh- rin- rintarou-”

“ini? tadi 'kan kamu ngejahilin aku karena liat aku nulis?” suna tersenyum manis ke arah si pacar, jarinya kini masuk dua, “ini, jari kesukaan kamu. udah masuk ke dalam kamu.”

yang dijahili menggeleng, bahasa yang artinya bukan.

jari suna tambah tiga.

“oh bukan? masa, sih? kayanya kamu suka?”

mau gimana gak bilang sakusa suka? pinggulnya menggeser-geser di atas meja belajar yang putih. bergoyang pelan tanpa niat menggoda, cuma mau jari suna menyentuhnya masuk jauh lebih dalam. mau gesekkan hangatnya jari suna baluri dinding analnya.

suna menjilat bibirnya, “gila kamu, suka ya? ayo ngaku?”

sakusa menggeleng.

masih ngotot menggeleng.

menolak mengaku.

padahal sesekali mengaduh kecil kala suna menyenggol terlalu dalam, menyentuh bundaran terintimnya.

suna mimpi apa semalam? pacarnya yang judes itu mau-maunya duduk pasrah diisengi olehnya di siang bolong begini? cahaya matahari dari jendela tepat di belakang punggung si rambut ikal buat perbuatan mereka pulang kuliah ini makin bahaya. makin berdosa.

kalau ada tetangganya yang lewat dan iseng nengok ke lantai dua rumahnya, gimana? mereka bakal liat punggung berkaos putih sakusa basah, kerepotan kasih pertunjukkan solo buat anak sulung keluarganya, begitu?

“terus, omi maunya apa? aku bingung.”

tak tahan lagi, kaki sakusa yang panjang gemetar naik ke atas pundak si pacar. jemari kecil kakinya meremas suna.

“m-mauㅡ” “aku- aku mau-” sakusa menggeleng, “ak- aku mau kamu-” “ri-rintarou, mau kamu di dalam-”

“iya, sayang. ini kan jari aku di dalam. mau apalagi?”

sakusa mau memprotes kalimat jahil barusan, tapi suna malah memasukinya dengan jari keempat.

“ri-riiin-”

“hm?”

sakusa hampir terisak, pinggulnya maju mundur mengejar suna yang besar di dalamnya. iya, jari suna besar di dalam. tapi kurang, sakusa masih kurang. belum puas cuma dengan jari.

“m-mau- mau-”

“iya?”

“mau- penis kamu- p-penis kamu-”

“oh, penis? mau penis aku?”

kecil, tapi akhirnya anggukan pertama sakusa diterima si pacar yang sekarang berdiri menjulang, kelihatan sama tak sabar.

“c-cepetㅡ”

suna tertawa begitu lantang. ibunya di lantai bawah pasti akan mengira anak kesayangannya dan pacarnya yang kalem sedang sibuk nonton film komedi.

wah, jadi sakusa yang hampir menangis karena mau penis suna itu film komedi, ya?

erotis mampus kalo ini.

suna menyeret resleting celananya ke bawah, melorotkan jeansnya. pegang gulungan kulit yang paling ditunggu-tunggu si pacar.

“siap-siap tuan putri.”

si tuan putri membuka kakinya lebih lebar, perhatikan penis suna yang dibasahi lubrikan begitu takjub.

dari semua deretan mantan sakusa, ukuran suna yang paling besar bukan main. kesukaan sakusa.

oh, bukan kok. sakusa gak pacaran sama suna karena barangnya, ya. jangan salah. suna anak baik, kok. prestasinya lumayan di kampus.

“tuan putri, pangeran masuk ya?”

tapi bangsat.

kalau sakusa gak panas berat, kepala suna pasti sudah dijegalnya. tapi, mau gimana? sakusa mau sekali. mau jadi tuan putri kalau artinya dimasuki penis pangeran kesukaannya.

sakusa mengangguk, mengangkat pinggulnya, menawarkan sarung untuk penis si pacar.

lagi, suna tertawa. tapi, dengan nafas terengah. liat pacarnya gak sabaran begini buat suna pusing kepala.

“bajingan,” suna bergerak masuk, hati-hati, begini-begini cinta sekali sama pacarnya, gak mau pacarnya merasa sakit.

“emang ada tuan putri yang kayak jalang begini?”

cinta, tapi mulut tetap kurang ajar.

akhirnya dimasuki total, sakusa gak protes. denguk kemenangan mendengung di telinga suna.

“sayang, sempit banget? 'kan baru main dua hari yang lalu?”

yang disayang menggeleng. mana tahu? sekarang yang penting suna harus bergerak.

kakinya menekan pinggang suna untuk lebih maju, untuk lebih masuk, masuk, masuk.

suna memasuki sakusa gak begitu kasar. sesuai dengan gerak kesukaan si rambut hitam. maju mundur tapi dengan ikut menekan dinding bagian atas dan bawahnya, memastikan si pacarnya mengerang puas, mengerang karena suna berhasil menyundul semua tempat favoritnya.

pandangan pemuda yang dominan lurus ke bawah, ke wajah si pacar. yang berpeluh, yang bersemu sampai telinga karena ledakan nafsunya, yang matanya agak berair karena nikmat, yang bibirnya membulat dan kadang tergigit karena desauan.

“cantik, anjing. lo cantik merah begini. sesuka itu ya?”

sakusa yang awalnya perhatikan persatuan di bawah kini memandang suna.

suna yang mengigit bibirnya karena dijepit, yang sama berkeringatnya, yang matanya sipit perhatikan lamat-lamat dirinya.

“hmmh- hng-”

diperhatikan begitu buat birahinya melejit naik, kakinya sekali lagi menguncup.

“kenapa, sayang? mau keluar?”

gelengan lagi.

bukan karena bukan, tapi sakusa gak mau.

gak mau keluar secepat ini. gak mau sudahi sesi bercintanya siang ini.

“gak apa-apa, keluar aja? kita main sampe sore.”

“i-ibu hhh ibu kamu-”

“udah aku kunci, paling- hh mikirnya kita tidur siang,” suna mengecup dahinya, “ya gak bohong juga, 'kan? aku nidurin kamu.”

sakusa mengadah, kepalanya menjeduk kecil jendela bening di belakangnya.

suna tersenyum licik, “kamu kayaknya mau dipergokin ya?”

gelengan lagi. samar bibirnya mengerucut.

sakusa tahu benar suna akan mulai lagi dengan mulut kotornya.

“kamu bayangin, kalau tetangga aku lewat, terus liat kamu lagi dijahilin sama aku? gimana?”

“laki-laki rambut ikal di perumahan kita 'kan kamu doang? nanti langsung jadi bahan gosip satu komplek.”

“kiyoomi yang rambut ikal anak blok F siang bolong diisengin sama rintarou.”

tangan sakusa keras-keras mencengkram pundak suna.

kesal. sakusa kesal. deretan kalimat jahil begitu disukai tubuhnya. bukannya nafsu persetubuhannya mengendur, pinggulnya malah ikut naik, kejar dorongan kuat suna di dalamnya.

“gimana? semuanya bakal tahu dong?”

“r-rin- rintarou-” “r-rintarou a-aku mau-”

suna menurunkan tubuhnya, menjilati bibir sakusa yang berisik. air liur yang lolos dengan cuek dihirupnya.

“keluar, sayang.”

sakusa meledak dengan bibir suna yang menghisap di rahangnya.

“hmmn-”

tahu sakusa selalu berisik di tengah ejakulasinya, suna memasukkan jarinya ke dalam mulut pacarnya. menekan lidahnya untuk menekan suaranya.

dan sakusa yang hilang akal karena pelepasannya malah menghisap jari-jari di mulutnya, lidah dengan lemas ikut andil membasahi tiga buku jari suna.

suna mana tahan? ejakulasi juga masih jauh di mata.

“maaf sayang, aku juga mau keluar. gak tahan liat kamu.”

yang lebih tua bergerak lagi, gak peduli sakusa yang belum turun pijaki kesadaran lagi.

sakusa bisa saja teriak dan mengalahkan suara tv di lantai bawah kalau saja bibirnya masih tak tersumpal.

“ngggh- ss- r- rhinm-”

pinggul sakusa digenggamnya, dibuatnya diam untuk memudahkan penisnya masuk dengan tepat.

suna memang gak niat ejakulasi sendiri. mau bawa lagi pacarnya jalan-jalan sampai tak sadarkan diri.

“hmn- you are so tight, baby,” suna menggapai penis sakusa untuk diremat-remat, untuk memaksa ejakulasi kedua keluar, “kesayangan aku, emang.”

dimanja dimana-mana, sakusa makin gak karuan. tubuhnya bergetar dan ribut di atas meja. kakinya menyeret-nyeret di pinggang suna.

kenangan yang bagus, ya. mulai sekarang, tiap kali suna ada tugas essay lima ribu kata, pasti yang diingat cuma kaki cantik sakusa yang kelimpungan karena penisnya.

“k- keluar, ya? sama aku?”

sakusa menurut, walau bibirnya dipermainkan sedemikian rupa dan air liurnya banyak menetes dimana-mana, sakusa menurut kata pacarnya. sayang, mau bagaimana?

suna bergerak makin kuat, tangannya memijat di penis sakusa makin cepat.

sampai akhirnya keduanya mengerang berat karena orgasme.

lahar panas suna menyelimuti analnya sampai dalam, buat si submisif memejam mata. puas, tapi gak mau bilang sama si pacar.

suna membanting dirinya ke tempat duduknya. tangannya menyugar rambutnya yang lepek, perhatikan pacarnya yang masih meremang di atas mejanya. kaki lemas masih terbuka.

dengan jahil, suna memasukkan jempolnya ke dalam sakusa. melebarkan lubangnya dan tak peduli cairannya keluar mengotori mejanya.

“r-rin u-udah.”

“mau aku bersihin,” suna bergerak menggeser lagi kursinya mendekat, tangannya menggenggam kedua paha sekal si pacar, “kamar mandi 'kan di bawah.”

lidah suna dengan santai menjilati sakusa di bawah, meneguk apa yang keluar dari analnya dengan senang tanpa rasa jijik karena meminum cairannya sendiri.

“a-ah, r-rin-” sakusa menggenggam kepalanya, kukunya menggesek di kulit kepala si pacar.

suna mengecup lubangnya seakan itu adalah bibir sakusa.

senyumnya cerah, biasanya senyum begini suna mau mengajaknya ke tempat makan favoritnya.

“pindah ke kasur, yuk?”

bukan, ternyata.

tapi, kasur emang tempat favorit makan suna dengan sakusa sebagai hidangannya, sih.

.

fin

.