Bokuaka – Selesai

-

“Buat apa kesini? Sadar jauhnya gimana?”

Adalah kalimat pemecah sunyi pertama setelah berdiam entah berapa lamanya, biarkan bunyi kipas yang berputar di langit-langit tengah ruangan yang berisik menjadi pengisi suara. Yang berambut abu terdiam, sadar akan langkah impulsif gilanya yang langsung memesan tiket ke kampung halamannya, bermodal alamat yang tidak pernah didatanginya.

Kedua kepala sama-sama menatap lantai di bawah kaki telanjang, sibuk dengan ribut di kepala masing-masing.

Kaki panjang Akaashi rasanya tidak sekurus itu di ingatan Bokuto. Yang lebih tua tau voli yang berhenti adalah salah satu pengaruhnya, tapi dengar keadaan Akaashi, Bokuto yakin bukan itu masalah utamanya.

“Aku… minta maaf—“

“Apa gak capek? Aku capek dengernya.” Potong Akaashi buru-buru—putus asa. Ruang yang sunyi buat Bokuto dengar jelas suara Akaashi yang menelan ucapannya—kata yang lebih dari berat dari ‘capek’, lebih dari keluhannya atas permintaan Bokuto yang itu-itu aja, yang diucapkan beribu kali tidak akan mengubah tali mereka, janji bersama yang teringkari, hari-hari yang diyakini selamanya menjadi kenangan—tidak akan mengubah kenyataan bahwa yang satu masih duduk mendamba, sedang yang satu sudah berdiri untuk pergi.

Akaashi menahan tangisnya.

Bokuto meringis melihatnya, mengingat tekadnya di zaman sekolah untuk buat Akaashi bahagia, kini ia adalah perangsang utama air mata yang muda untuk menyungai di pipinya yang kehilangan warna merah mudanya—merah muda yang muncul saat pipi Akaashi naik karena tertawa.

“Akaashi—“ tangan besar Bokuto meraih tangan yang selalu familiar didekapnya, suhu kulit dan gesekan tiap porinya yang buatnya melintasi masa lalu, “aku sakit liat kamu begini.”

Genggaman pada tangannya mengerat, bukan—Akaashi tahu tangannya digenggam bukan karena yang lebih tua ingin, bukan karena Bokuto ingin meraihnya, melainkan gerak antisipasi. Yang lebih tua pasti ingat kebiasaan buruknya yang mengupas kulit kukunya saat ia merasa frustasi.

Akaashi menangis.

Bokutonya benar-benar bukan miliknya lagi. Bokuto benar-benar tidak ada niat untuk menggapainya lagi, tidak ada lagi rasa yang sama, tidak ada lagi keinginan untuk kembali.

Akaashi menggeser diri keras untuk merengkuh tubuh kesukaannya; tubuh yang di hari-hari bahagianya adalah tempatnya menumpahkan kegembiraan yang berlebihan atau tempatnya lari dari ekspektasi orang tuanya. Tubuh yang begitu hangat, selimut favoritnya saat udara terlalu dingin untuk tubuh telanjangnya. Tubuh penuh aroma penenang di kala gusarnya—garam dan kayu manis; keringat kemenangan dan parfum murah pilihannya.

Akaashi menangis lebih keras.

Akaashi hanya ingin digenggam dengan perasaan yang sama, tapi Bokuto sudah begitu jauh, jauh bukan miliknya.

Suaranya putus-putus di telinga yang lebih tua, tangisnya terseret-seret melewati tenggorokannya, nafasnya frustasi terpompa dari paru-parunya.

“Maaf, Kak. Maaf—“

Bokuto menangis.

Akaashi sudah dilepasnya; teman pertamanya, kemenangan pertamanya, genggaman pertamanya, pelukan pertamanya, ciuman pertamanya, puncak ekstasi pertamanya, cinta pertamanya.

“Bahagia. Aku mau liat kamu bahagia.”

“Bukan untuk aku, aku mau kamu bahagia untuk kamu sendiri.”