“Geto? ternyata sama kaya yang difoto.”

Komentar barusan menyambut Geto tepat di depan pintu kosan yang tak pernah didatanginya. Pintu yang melebar jadi tanda Geto untuk masuk lebih jauh.

“Tapi lo pake kacamata?” lanjut Gojo.

Geto menurunkan ranselnya di lantai, “minus, gak parah sih.”

Layaknya kosan mahasiswa, kosan Gojo gak spesial. Masuk-masuk langsung disambut ranjang berkaki pendek yang kayanya sempit buat berdua. Di sebelahnya ada meja lesehan dengan buku-buku kuliah menumpuk berantakan disana, bareng sama laptop yang setengah terbuka.

Ada spasi lumayan di lantai, mungkin cukup buat tujuh orang. Bagian ini gak asing buat Geto. Seingatnya, Gojo pernah nge-tweet plus foto soal temen se-gengnya yang ketiduran karena lembur nugas di kosannya.

Begitu aja, tinggal 7 langkah dari tempat tidur, tepatnya di pojok ruangan sebelah lemari baju, ada pintu yang ditebak berisi kamar mandi.

“Gue kira lo bakal ngegas.”

Geto mengedip, baru sadar sedari tadi cuma bengong di deket pintu.

Pemuda yang satu ketawa pelan, tepuk-tepuk ranjang yang didudukinya, perintah duduk.

“Tadi lo dm gue cepet banget, gue mikirnya lo emang lagi pengen.”

“Oh,” Geto cuma ngangguk-ngangguk, gak balik tatap Gojo yang perhatikan langkahnya, “gak juga sih.”

“Ya udah,” Gojo keliatan ingin bertanya jauh, tapi entah kenapa rasa penasarannya digubris. Ia malah menaikkan kaki dan menyilang, mendekati Geto yang baru berani menatapnya, “mau gimana?”

“Lo yang maunya gimana? Gue ikut lo aja.”

“Kok?”

“Disini gue nemenin lo,” Geto melepas kacamatanya, wajah Gojo yang memburam di matanya tetap ditatapi, “bukan gue yang ditemenin lo.”

Gojo menggangguk dengan hela nafas, meraih tangan Geto untuk digenggamnya.

“Break me? make me forget things.”

“Oh, pake lagi kacamata lo, gue mau lo liat.”