Gobak Sodor

Geto Suguru x Gojo Satoru

Warnings: Nsfw for Graphic Sexual Scene, Explicit Sexual Terms

(!) Ditulis dalam bahasa non-eyd dan nyeleneh alias suka-suka.


Biasanya sebelum memulai ritual perkawinan di kos-an, Gojo dan Geto sibuk menata lahan sedemikian rupa; ranjang ditarik menjauh dari tembok biar gak jedag-jedug membentur tembok dan menimbulkan pertanyaan tetangga kos Gojo di sebelah karena ulah Geto yang maju-mundur di atas ranjang.

Mereka gak mau lagi ditegur “Jo, lo lagi ngapain sih anjir ini setengah empat pagi???” di tengah proses keluar-masuk dan akhirnya Geto lemas di selangkangan karena malu dan berakhir Gojo yang ngambek.

Sekarang gak ada lagi ranjang, cuma ada kasur baru yang tebal nan empuk digelar di lantai; sebuah pilihan pintar Gojo yang didukung oleh otak bejat dan bayangan Geto yang ganteng di atasnya. Selain karena males repot, kaki ranjang yang kemarin juga udah reyot.

Gojo gak mau ambil resiko waktu enak-enaknya dirusak lagi. Bayangin, mereka melakukan ritual, ranjangnya gak kuat dan akhirnya menyerah menyangga tumpukan dosa dua adam yang memadu selangkangan dan kasih di atasnya? Cuma kebayang, tapi Gojo malu mampus, gimana pacarnya yang katanya seorang mahasiswa terpandang?

(Terpandang mesum, iya.)

Tanpa kepala ranjang, Geto harus menahan kepalanya agar tak membentur dinding di belakangnya saat Gojo berada di pangkuannya. Pinggangnya luwes, ke kanan dan kiri, menggoda sekali di mata. Tujuan utama sebenarnya bukan cuma menggoda, tetapi permintaan bisu pada Geto untuk masuk lebih dalam atau setidaknya menambah jarinya.

Gimana gak minta nambah? Sekarang yang ada di tengah bokongnya cuma ada jempol Geto yang basah dan lengket, memutari pinggiran pintu masuk agar lebih menganga. Kadang mampir masuk sebentar dengan setengah jari, kemudian mengagetkan Gojo dengan memasuki semua batang jempolnya. Namanya jempol, gak bisa membantu banyak untuk mengeruk lebih dalam mengingat panjangnya yang cuma setengah telunjuk, walau punya pesona sendiri karena tebalnya yang layaknya dua jari.

Gojo menggoyangkan pinggulnya, mengejar jempol pacarnya yang malah mundur-mundur. Tangan mengalung di bahu lebar lelaki di bawahnya. Kadang kalau Geto keterlaluan—

“Ayo lah Gul, lo bilang mau main—”

“Ini lagi mainin lo kan— Aduh?!”

—tangan Gojo akan naik ke pipi Geto yang tirus, mencubit keras kulit wajahnya.

“Tambah jarinya atau jari gue yang masuk ke lo?”

“Wah, gak bisa, sayang. Gak ada pengalaman di pintu belakang. Emang lo tega?”

“Tega. Lo tega sama gue, kenapa gue enggak— SSSUGURU-”

Geto tertawa keras. Kalau paha Gojo gak hampir keram karena bertahan di posisi yang sama sejak tadi, ia bakal betah dengar tawa lelaki favoritnya. 'Suara ketawanya aja ganteng', begitu kesan pertama Gojo saat Geto tertawa kencang tanpa canggung pertama kalinya di awal-awal masa pacaran.

Tetapi gak sekarang, gak saat Geto iseng menarik ulur nafsunya. Gojo inginnya memasukkan jarinya ke mulut pacarnya itu biar diam, biar tawanya yang mengejek gak mencoreng harga dirinya karena Geto yang tiba-tiba mencabut jempolnya dan memasukkan jari, entah yang mana, lurus ke dalam lubang analnya.

Maka ia langsung saja menarik bibir Geto, membukanya lebar dan memasukkan dua jarinya.

Lelaki yang satu mengatupkan bibirnya refleks, menatap Gojo yang sinis dengan hidung yang kembang kempis. Kini impas, ada satu jari di bokong Gojo yang makin menelisik masuk melawan semua otot yang jadi resistensi dan dua jari Gojo bergerak di dalam mulut Geto, menjepit lidah di dalam dan memainkannya.

“Open me up, please?”

Gojo sudah hapal di luar kepala apa-apa aja yang bisa melumpuhkan Geto kalau sifat isengnya di ranjang mulai kumat. Awal sifat Geto yang ini muncul, Gojo gak habis pikir karena asumsinya Geto itu vanilla banget dan gak banyak macam-macam. Straight to the business, sesuai dengan pengalaman pertamanya dengan Geto.

Ternyata Geto jauh dari yang manis-manis. Gak ada vanilla sama sekali. Gojo berani bilang kalau Geto setan di atas ranjang. Lain di kali pertama mereka, kali kedua mereka bergerumul Gojo ingat kepalanya black out beberapa detik karena overstimulasi pada saraf nikmat di dalam tubuhnya.

Hobi pacarnya juga isengi Gojo saat foreplay. Gak mau Gojo semudah itu sampai di ujung. Ia malah bawa Gojo jalan-jalan dulu, naik satu persatu tangga untuk akhirnya sampai di angkasa. Ia juga punya adiksi aneh sama Gojo yang merengek. Gojo mana pernah merengek? partner dan mantan di masa lalunya selalu menuruti maunya tanpa ia banyak meminta.

Geto si kurang ajar malah, “biasa dimanjain ya? pretty little thing kaya kamu gak usah minta tapi orang-orang bakal kasih semuanya ke kamu? Iya? Minta coba sama aku.”

Gojo gatal ingin memberi Geto tamparan sebagai ganjaran dari mulutnya yang kurang ajar, tapi tubuhnya mengkhianatinya; kejantanannya makin keras dan perutnya seakan diremas karena Gojo malah makin pengen.

Dengar Gojo memohon begitu, mana mungkin Geto menolak?

Geto tersenyum, kemudian lidahnya bergerak menyambut ajakan bermain jari pacarnya di mulut.

Lelaki berambut hitam menambah dua jari lagi; total ada tiga jari yang mengeruk Gojo di bawah.

Hmnh— Suguru—”

“Kurang dalem?”

“Cukup. Pas. Begitu— hmmh begitu aja terus.”

“Begini terus?” Geto mengecup pipi di jangkauannya, “pake jari aja nih?”

“Gue pukul lo ya,” satu tamparan melayang di pundak, “ya enggak— hhhh— mana puas— fuuuck jari lo kenapa sih.”

“Enak?”

“Hmmmh.”

Jari Geto telaten mengeruk dalam tubuhnya, buat paru-parunya sesekali meraup oksigen lebih banyak dari normalnya karena kejutan-kejutan yang diberikan ujung jari Geto di analnya.

Gojo percaya bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dengan alasan dan maksud tertentu. Khusus untuk pacarnya, Gojo pikir jari-jari Geto memang dimaksudkan untuk ini; diberi keahlian untuk menciptakan magis di tengah kaki partner di ranjangnya, untuk menjari dalam-dalam tubuh yang berada di bawah kuasanya untuk ditemukan spot-spot manis yang menghantarkan kejut rasa listrik sampai keujung kepala dan buatnya setengah buta.

“Ayo Suguru— ayo cepet langsung aja masuk— hmmmh—”

“Sayang?”

Gojo menatap bengis, pasti mau apa-apa, “apa?”

“Basahin aku pake mulut kamu boleh?”

Gojo gak jadi protes.

Emang ada orang waras yang mau tolak kalau ditawarin makanan favorit?

Tanpa basa-basi lagi, juga karena luapan semangat dan hawa nafsu, Gojo melepas jari Geto dari analnya untuk merunduk di tengah selangkangan Geto. Sweatpants panjang Geto yang sudah melorot dan menyisakan celana dalam hitam yang menggantung berbahaya di bawah garis pinggulnya (ya, ulah Gojo) ditarik mundur oleh Gojo.

Baru aja bebas, kejantanan Geto membentur dagu Gojo. Menerima tantangan yang diletuskan, Gojo menggenggam erat penis di depannya. Ringisan yang terdengar dari atas buat Gojo tersenyum kecil. Ia kemudian menggesekkan kepala penis kesayangannya pada permukaan bibir, memberinya jilatan kecil, berusaha terlihat seperti kucing jinak yang menikmati pelan-pelan hadiah dari tuannya.

Geto menggeram, menarik pelan belakang kepala pacar di tengah kakinya, memintanya menelan langsung segalanya ke dalam mulutnya.

Menurut, penis Geto langsung meluncur masuk ke dalam terowongan gelap yang menjanjikan kenikmatan dunia.

Ini gak berlebihan. Honest review dari pelanggan VVIP alias pacar. Entah kenapa Gojo jago soal makan. Tenggorokannya menyambut dengan baik apa saja yang melewatinya. Rakus. Berkontraksi dengan baik memijat sedemikian rupa sampai Geto tak punya pilihan lain selain memuntahkan apa yang dibawanya sebagai bayaran karena nikmat yang diberikan lelaki di tengah kakinya.

Sinting. Betapa Gojo terlihat menikmati apa yang dikulumnya. Gojo yang semangat mengulum tiap inci batangnya terlihat akan mengantongi uang milyaran setelahnya. Matanya sesekali mengerling ke arahnya, memperlihatkan dirinya menyapu aliran precum yang tak dibiarkan lulus melewati pucuknya.

Geto menghela nafas, menarik keras Gojo di kepala.

“Udah— sayang, udah.”

Bunyi mwah nyaring di telinga. Gojo menjulurkan lidahnya panjang-panjang, menampar penis di tangannya ke permukaan indra pengecapnya.

“Gak mau kayak kemarin?”

“Kemarin apa?”

“Itu loh, keluar di mulut aku?”

Geto menarik nafasnya lagi. Yang benar saja kalau Gojo mau melakukannya lagi; Gojo yang memakan penisnya sampai ia keluar di mulutnya dan tak langsung ditelannya, tapi ia biarkan menggenang di mulutnya untuk ditunjukkan pada Geto. Ia menganga lebar dengan polosnya, menyombongkan hasil kerjanya, hasil dari memeras Geto. Kemudian menelan semuanya dengan tatapan Geto yang memecing ke arahnya.

Pemandangan yang dipikirnya hanya bisa dilihat di layar laptop lewat website porno bisa-bisanya ditonton secara langsung di depannya, dengan penisnya sebagai perkakas utama aktornya.

Gojo didorongnya sampai terlentang, kepalanya di bagian kaki kasur.

“Gausah banyak acara,” tangan kurus Gojo yang sering mampir main-main di pipinya kini ada di genggaman, di atas kepala; Geto menghentikan ruang gerak Gojo, “giliran kamu yang makan enak ya— makan dari bawah.”

Entah teman kos kamar sebelahnya tak dengar atau pura-pura tak dengar, adalah keajaiban malam itu Gojo gak disamper karena berisik menusuk telinga.